22 December 2018

Movie Review: Bohemian Rhapsody (2018)


"Good thoughts, good words, good deeds."

Membuat sebuah film tentang band legendaris sebesar Queen tentu memberikan banyak keuntungan bagi filmmaker. Contohnya?  Lagu-lagu mereka yang sangat populer dan legendaris itu, dari “Love of My Life”, “I Want to Break Free”, “We Are the Champions”, “We Will Rock You”, hingga tentu saja ”Bohemian Rhapsody”. Tapi di sisi lain juga eksis “bahaya” yang harus menjadi perhatian, dengan catatan utama kembali kepada sosok Queen itu sendiri. Mereka band legendaris yang punya kisah rumit lain di dalam diri sang vokalis, Freddie Mercury. Bohemian Rhapsody: it will rock you.

Bekerja mengawasi bagasi di Heathrow Airport, London, Freddie Bulsara (Rami Malek) memiliki mimpi untuk menjadi seorang penyanyi. Suatu ketika ia pergi ke sebuah clubs di mana Smile, band favoritnya, tampil, dan seperti sebuah takdir pada saat itu penyanyi utama band tersebut keluar dari band. Imigran Parsi dengan perawakan wajah yang konservatif, Freddy menawarkan diri kepada Brian May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy) untuk mengisi posisi vokalis yang sedang lowong tersebut. 

Freddy diterima. Nama band berubah menjadi Queen, begitupula nama Freddy, ia menanggalkan Bulsara dan mengubah nama belakangnya menjadi Mercury. Kualitas vokal Freddy Mercury seperti puzzle yang selama ini dicari Brian dan Roger, bersama dengan bassist John Deacon (Joe Mazzello) mereka berempat dengan cepat meraih popularitas. Semakin tinggi pohon, semakin kuat angin yang menerpa, dan itu terjadi di Queen. Freddy mulai terperangkap dalam sisi gelap ketenaran, dari ego, identitas, hingga narkoba. 


Berbicara tentang pondasi apa yang sutradara Bryan Singer (X-Men: Days of Future Past) letakkan di sini terasa tidak jauh berbeda dengan film biopic pada umumnya. Terlebih dengan musik yang menjadi salah satu materi utama cerita, di sini kita dibawa menyaksikan lahirnya sebuah band hingga mereka sukses, berbagai kreatifitas musikal dibalik popularitas kemudian bahaya dari popularitas itu sendiri, semua diselimuti dengan berbagai choices baik itu yang benar maupun yang salah. Ini terasa basic namun dengan nama besar yang dimiliki ikon utama dalam cerita, Queen, dan lebih spesifik lagi yaitu Freddy Mercury, formula yang generik itu berhasil menampilkan sebuah presentasi yang menarik di bagian awal.

Worth to mention adalah bagaimana Bryan Singer mengemas script yang ditulis oleh Anthony McCarten (The Theory of Everything Darkest Hour) agar detail-detail kecil terkait Queen dan Freddy itu tumbuh secara perlahan. Dengan sangat baik di bagian awal. Tidak hanya pada detail design saja namun juga dari segi cerita, bersama dengan kesan klasik yang berhasil ditampilkan dengan manis kisah perjuangan Queen dan Freddy itu terasa worth to wait. Momen kebersamaan band disuntik dengan berbagai kegembiraan, bergerak layaknya sebuah sirkus atau opera yang energik sebelum momen kelam itu tiba. Hal yang sama juga terasa pada kisah Freddy Mercury, dari hal terkait keluarga hingga kisah cintanya bersama Mary Austin (Lucy Boynton), ada drama yang menarik di sana meskipun menjadi senjata bermata dua.


Ya, seperti yang disinggung di awal tadi, dengan karakter utama yang sangat ikonik dan melegenda tentu ada “bahaya” yang siap mengancam. Itu terjadi di sini. Kisah yang terasa exciting sedari awal itu perlahan mulai sedikit kehilangan intimitas dari cerita yang terus bergerak cepat dan terkadang terasa jumpy. Alur cerita bagus, tampil straightforward berisikan berbagai aktifitas band seperti recording dan performing berbagai konflik di dalam cerita tetap mampu untuk terus berkembang. Yang disayangkan di sini adalah konflik-konflik tadi tidak tumbuh selaras dengan konflik personal dari Freddy Mercury, bersama dengan soundtrack yang ciamik sesi Queen adalah momen yang selalu tampil menarik tapi hal yang sama tidak terasa di sesi Freddy. Ketika cerita berbicara tentang cinta dan keluarga "Bohemian Rhapsody" terasa longgar.

Terasa longgar memang namun untungnya tidak terasa membosankan. Seandainya sisi drama mampu tampil lebih “tajam” warna di dalam cerita pasti akan lebih menarik lagi. Dan itu tentu tidak akan merepotkan Bryan Singer (digantikan oleh Dexter Fletcher di sepertiga akhir produksi) yang menerapkan trik dengan menghadirkan music sequences yang terasa electrifying untuk kembali “memompa” cerita, hingga kita bertemu dengan “copy” dari Live Aid 1985 performance yang memukau itu, staging yang terasa energik dan tentu saja dibantu penampilan yang terasa magnetic dari seorang Rami Malek. Ya, kualitas akting dari Rami Malek yang juga kerap membantu sisi drama cerita agar tidak jatuh terlalu jauh menjadi boring, pria egois namun terperangkap dalam jiwa yang bingung akibat narkoba berhasil ditampilkan dengan sangat baik oleh Rami Malek.


Overall, Bohemian Rhapsody adalah film yang cukup memuaskan. Sedari awal "Bohemian Rhapsody" mencoba untuk menjadi sebuah presentasi yang tidak hanya sebatas tentang musik, ada unsur cerita drama tentang cinta yang bermain di dalamnya, kisah seorang pria muda berstatus “outsider” yang kemudian berhasil meraih mimpinya. Musik dan drama, sayang sekali “Bohemian Rhapsody” hanya benar-benar kuat di satu sisi, kisah Freddy Mercury dan family yang sesungguhnya punya potensi besar untuk meninggalkan penonton dengan hit yang sangat kuat justru terasa generic, sebagai pelengkap dan pemanis music sequences yang terasa sangat magnetic. Not grande, but yeah, it will rock you.








1 comment :

  1. oh my god akhirnya....cayooo min bentar lagi award season.semoga ini awal dari semangat untuk menulis lagi setelah tidur panjang , min minta recommend drama korea dari tahun 2016-2018 yg keren dan ngk ngebosenin :)

    ReplyDelete