12 November 2021

Movie Review: The Green Knight (2021)

“Why is goodness not enough?”

Pelaut yang tangguh tidak terbentuk dari ombak laut yang tenang, sebuah kalimat sederhana yang sangat efektif sebagai perumpamaan kehidupan. Karena resiko yang besar dapat memberikan imbalan atau hasil yang besar pula, ketimbang tenggelam dalam rasa takut untuk gagal lebih baik memupuk rasa takut kehilangan kesempatan karena takut mengambil resiko. Cerita tentang bagaimana sulitnya pembuktian diri yang membutuhkan perjuangan tidak mudah coba ditampilkan oleh film ini dalam bentuk sebuah “dongeng” yang tidak biasa, kisah seorang ksatria yang sangat mudah untuk disebut aneh. The Green Knight’: a strange, haunting, and enchanting tales.


Di pagi hari Natal, Gawain (Dev Patel) bangun dari tempat tidur di sebuah brothel, ia dibangunkan oleh kekasihnya, Essel (Alicia Vikander) dan kemudian lekas menuju ke Camelot, di sana ia ditegur oleh Ibunya, Morgan le Fay (Sarita Choudhury) agar segera mempersiapkan diri menghadiri pesta yang diadakan oleh pamannya, King Arthur (Sean Harris). Gawain sendiri mendapat kehormatan diundang King Arthur untuk duduk di sampingnya bersama dengan Queen Guinevere (Kate Dickie). Ketika acara pesta berlangsung di tempat lain, tepatnya di menara kastil sebuah ritual sihir sedang dilakukan oleh Morgan le Fay yang mencoba memanggil Ksatria Hijau yang misterius ke dalam kastil.

Ritual itu berhasil, the Green Knight (Ralph Ineson) berhasil menyela acara pesta dan membuat tamu terdiam, bukan hanya karena perawakannya saja tapi juga tawaran permainan yang dia ajukan. Sembari tetap berada di atas kuda the Green Knight menantang apakah ada di antara para Ksatria yang berani bermain beheading game dengannya, Ksatria tersebut boleh mendaratkan pukulan ke arah the Green Knight dan akan dihadiahi kapak hijau miliknya, namun pada hari natal berikutnya Ksatria tersebut tadi harus melakukan perjalanan jauh ke the Green Chapel untuk menerima pukulan yang sama dari the Green Knight. Sir Gawain menerima tantangan tersebut.

First of all, ‘The Green Knight bukan sebuah film yang “mudah” dengan berbagai jalinan konflik yang dijabarkan secara jelas dan gamblang, yang mencoba menjejali kamu dengan berbagai macam lika-liku masalah untuk kemudian berakhir dengan sebuah konklusi yang mungkin terlihat megah. Mengambil dasar cerita dari sebuah poem di abad ke-14 berjudul Sir Gawain and the Green Knight Sutradara David Lowery membuat semuanya tampak normal, kesan pertama yang timbul adalah ini akan tampil layaknya film perang kolosal dengan tone menyerupai Game of Thrones misal, tapi sejak munculnya tree-like creature itu cerita lebih mengarah ke character study, menyaksikan perjuangan Gawani dalam bertahan hidup dan memenuhi misi yang ia emban. Gawani adalah fokus utama, bersama dengan beheading games.


Beheading games sendiri merupakan kiasan dari romansa abad pertengahan di mana para pemainnya saling bertukar pukulan dan dapat memenggal kepala lawannya. Itu saja sudah tampak aneh tapi justru mengundang rasa penasaran, apalagi Sutradara Ain't Them Bodies Saints’ dan Pete's Dragon’ itu tidak mencoba untuk membuat kisah kepahlawanan tersebut jadi lebih mudah untuk diakses oleh penonton, justru mencampakkanmu ke dalam satu perjalanan yang both strange and fascinating. Tidak butuh waktu lama bagi David Lowery untuk segera menarik masuk penonton ke dalam satu dunia “fantasi” yang tampak mencoba berbicara tentang banyak hal secara bersamaan ini, maskulinitas, lalu godaan dan sikap kepahlawanan, menaruh atmosfir misterius agar menjalankan tugasnya mendampingi narasi sembari terus menghipnotis penonton.

Bukan sebuah classic fantasy adventure, langsung terasa aneh sejak awal, eksposisi menolak terlalu detail, alhasil banyak ruang bagi penonton kemudian berinterpretasi dari hal-hal ganjil yang satu per satu muncul. Di satu titik bahkan imajinasi saya mulai bergerak terlalu liar, mungkin karena setting haunting yang sejak awal telah ditetapkan itu bercampur dengan magical charm milik eksposisi David Lowery yang kembali menunjukkan keahliannya dalam menstimulasi rasa ingin tahu penonton. Tujuan utama seorang Gawani jelas and there's a clear development, namun Lowery tidak menerapkan hubungan sebab dan akibat di dalam narasi, lebih mencoba untuk mengeksploitasi beratnya perjuangan dengan menggunakan “rintangan” aneh, dan halusinasi bagian penting perjalanan Gawani ditemani that maison kitsune, the fox.


Karakternya Alicia Vikander kenapa muncul lagi di tempat berbeda? Apakah mereka punya koneksi satu sama lain? Dari mana asal segala macam hal supernatural yang aneh itu? Fungsi mereka apa? Elemen cerita memang dapat dikenali namun sayang tidak berada di kategori mainstream fantasy, dan penonton mungkin akan kesulitan jika mereka justru mencoba menggali terlalu jauh berbagai macam hal aneh tersebut tadi, trying to understand sesuatu yang sebenarnya merupakan “aksesoris” bagi arus utama cerita. Saya juga sempat merasa “lost” di dalam hutan itu karena dengan tidak adanya action scenes sebagai bumbu, ancaman yang menghampiri Gawain berbentuk perjuangan internal di dalam dirinya sendiri, orang dan makhluk yang hadir justru berperan sebagai rintangan bagi beberapa pesan penting yang coba ditampilkan.

Setelah sadar akan hal itu saya merasa terpukau dengan cara David Lowery, suasana hati yang penuh teka-teki karakter utama merupakan rangkaian kesengsaraan yang menjadi ujian atau pembuktian Gawain sebagai seorang ksatria, ia diburu, ia dirayu, godaan dan ujian terus menggelayuti perjuangan Gawain yang tanpa ia sadari juga perlahan tenggelam di dalam rasa takut akan kematian dari the Green Knight. Yang Gawain rasakan adalah semacam emotional contagion dan Lowery memakai reaksi emosional karakternya untuk membuat penonton ikut berempati pada pahlawan tak sempurna, memahami bahwa Gawain juga manusia di dalam dunia penuh mitos dan legenda itu, ditembak dengan cantik oleh Andrew Droz Palermo menunjang ambisi visual Lowery bersama sokongan sound design yang menghasilkan echo yang cantik.


Sangat mudah untuk berubah mengagumi ‘The Green Knight’ ketika telah klik tapi mudah pula untuk merasa terganggu dengan cara David Lowery bermain di sini, ia bahkan meninggalkan beberapa hal remains unexplained sedangkan hasil akhir dari perjuangan juga seperti “disangkal” begitu saja. Mungkin upaya mempertahankan kesan abstrak yang telah dijual sejak awal dan memang sukses membuat perjuangan Gawani mempermainkan rasa penasaran penontonnya, apalagi ditunjang kinerja oke dari para aktor. Gawani adalah makanan lezat bagi Dev Patel, tipenya serupa dengan Jamal Malik di “Slumdog Millionaire” atau Arjun di "Hotel Mumbai”, a poignant acting performance yang memikat, sama seperti interplay yang ia bentuk bersama Alicia Vikander, sosok yang juga punya peran penting terhadap emosi dan kesan haunting di dalam narasi.

Overall, ‘The Green Knight adalah film yang memuaskan. Dari luar ini akan tampak seperti sebuah “puisi” abstrak namun di dalam David Lowery berhasil membentuk kisah abad ke-14 itu menjadi petualangan yang imajinatif dengan pesona yang unik dan aneh, perpaduan antara thoughtful and saddened drama yang akibat eksposisi menolak tampil terlalu detail membuat pikiran penonton terombang-ambing serta menyisakan banyak ruang bagi berbagai interpretasi ikut bermain bersama Gawani. Bersama berbagai isu dan pesan sederhana tentang hidup yang disajikan bersama emosi dan empati yang manis, ‘The Green Knight’ without a doubt a unique and hypnotic character study, both strange and fascinating, haunting and enchanting. Segmented.





1 comment :