12 December 2015

Review: The Danish Girl (2015)


"And it was the strangest thing. It was like kissing myself."

Jika harus digambarkan dengan menggunakan pengandaian, The Danish Girl ibarat sebuah daging kualitas sangat baik yang dapat dimasak hingga matang namun akhirnya disajikan kepada konsumen dalam kondisi setengah matang. Bukan, bukan karena ia tidak punya api untuk memasak daging tersebut hingga matang tapi karena koki yang merasa ragu atau cemas daging menjadi gosong dan memilih bermain aman. Seperti itu The Danish Girl, sama seperti Trumbo ini merupakan sebuah film biografi yang understated, tapi hasil akhirnya membuat penonton bergumam I like it, but I don’t love it.

Ketika temannya yang berprofesi sebagai penari balet bernama Ulla Paulson (Amber Heard) tidak bisa berpose menjadi modelnya, Gerda Wegener (Alicia Vikander), seorang pelukis, meminta suaminya Einar Wegener (Eddie Redmayne) untuk menjadi model. Untuk memenuhi permintaan istrinya tersebut Einar harus “menjadi” wanita dengan menggunakan pakaian wanita. Hasil lukisan Gerda dimana Einar menjadi model tersebut ternyata menperoleh popularitas yang besar sehingga Einar terus menjadi model dalam wujud wanita. Daya tarik Einar terhadap wanita juga tumbuh semakin besar di mana ia memakai Lili Elbe sebagai nama wanitanya. Krisis identitas yang dialami Einar menghadirkan gejolak dalam pernikahannya dengan Gerda. 


The Danish Girl harus diakui merupakan film yang mewah, dari desain kostum yang menawan hingga cara ia menampilkan visual tahun 1920 di Copenhagen juga meninggalkan impresi yang kuat terutama pada cara nuansa memainkan cerita. Dari cara bercerita Tom Hooper juga tidak menciptakan sebuah noda yang besar dan mengganggu, alur cerita bergerak dengan manis dari A ke B lalu ke C dan seterusnya, dan itu dilengkapi dengan score dengan rasa “unik” dari Alexandre Desplat. Tapi sejak awal The Danish Girl telah mengusung sebuah misi khusus, ia ingin menggunakan Einar dan Gerda sebagai media untuk berbicara tentang hak-hak yang manusia miliki, dan disini isu yang digunakan adalah gender. Di situ lemahnya film ini.



Film ini seperti Brokeback Mountain dengan level yang satu atau mungkin dua tingkat lebih rendah. The Danish Girl terasa terlalu aman buat saya, sebuah isu yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengaduk-aduk emosi penonton justru digambarkan seperti seorang ibu sedang membacakan dongeng bagi anaknya yang hendak tidur. Kasarnya, The Danish Girl adalah film standard an tradisional yang diciptakan untuk Oscars. Banyak point yang tepat sasaran dari film ini, seperti yang disebutkan tadi dari segi teknis dengan highlight tentu saja penampilan dua pemeran utamanya, tapi ketika ia berjalan kamu akan merasakan kesan predictable yang kental, dan ketika berakhir film ini juga terasa terlalu normal.



Tidak berhasil memberikan kesan wow yang besar, itu kesalahan terbesar The Danish Girl. Menaruh simpati pada masalah dua karakter utama sangat mudah tapi kemudian kesulitan untuk menaruh investasi emosi pada karakter dan konflik. Isu tentang toleransi dan kebebasan kurang tergali, The Danish Girl lebih seperti drama tentang kasih sayang berisikan perjuangan karakter yang stagnan di titik awal hingga akhir. Tidak buruk, tapi itu terlalu aman jika menilik label kandidat film terbaik yang ia miliki sejak awal. The Danish Girl seperti terbebani untuk menjadi film yang penting tentang fluiditas gender, ia seperti takut jatuh sehingga memilih bermain aman. Hasilnya, penceritaan dengan rutinitas yang oke namun menghasilkan punch yang kurang memukau.



Satu-satu bagian yang memukau dari The Danish Girl adalah penampilan dua pemeran utamanya. Vikander menyajikan kompleksitas emosi yang menyiksa secara menawan, sebuah performa yang cantik. Sebagai istri yang bingung Gerda mencoba bertarung untuk dapat menerima keputusan yang diambil oleh suaminya, dan itu ditampilkan oleh Vikander dengan lincah dan stabil. Vikander bersinar di sini, bahkan walaupun berperan sebagai pendukung ia menghasilkan cahaya yang sama besar dengan apa yang dihasilkan oleh Redmayne. Eddie Redmayne menghadirkan kembali performa seperti yang ia lakukan tahun lalu, menghidupkan karakternya, membuat kamu menaruh simpati pada perjuangan karakternya, lalu dari sudut sempit menghujam kamu dengan sensibilitas rapuh yang menarik.



The Danish Girl merupakan film yang menarik, tapi selain elemen teknis bagian lain yang terasa cantik dari film ini hanya performa dari dua pemeran utamanya. Isu yang ia bawa sebenarnya punya potensi yang besar untuk membawa The Danish Girl ke posisi yang tinggi namun sayangnya Tom Hooper tidak membuat ini berlari, hanya sebatas jalan santai. Apakah karena materi yang terlalu berat? Mungkin, saya bahkan sempat kesal karena terus dibuat menanti kapan akan dibawa untuk “terjebak” lebih dalam bersama mimpi dan emosi karakter. Sangat disayangkan The Danish Girl menjadi biopic yang seperti takut melakukan kesalahan sehingga hasilnya sebuah kisah yang oke namun kurang matang dan kurang menantang. Segmented.















Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment