11 November 2021

Movie Review: Halloween Kills (2021)

“He creeps, he kills, he goes home.”

Sejak terror pertamanya di film ‘Halloween’ tahun 1978 yang lalu, Michael Myers telah mengukuhkan diri sebagai salah satu iconic figure in the horror genre, identik dengan horror slasher di mana aksi pembunuhan massal kejam menggunakan chef's knife telah menjadi signature yang lekat dengannya. Tiga tahun lalu Sutradara film ‘Pineapple Express’ disokong blockbusters for pennies maestro, Jason Blum, sukses menghadirkan retroactive continuity dari film tersebut dan mengubahnya menjadi profit sebanyak 25 kali dari budget, maka tidak heran jika kelanjutannya kemudian muncul, film ke-12 dari Halloween film series. ‘Halloween Kills’: moving sideways with a lot of blood.


Laurie Strode (Jamie Lee Curtis) didampingi putrinya Karen Nelson (Judy Greer) dan sang cucu, Allyson (Andi Matichak) dilanda kepanikan dalam sebuah mobil menuju rumah sakit. Meski harus berjuang menahan rasa sakit tapi ada rasa puas pada wajah Laurie karena mereka bertiga telah berhasil menjebak Michael Myers a.k.a The Shape di dalam rumah yang kemudian telah mereka bakar. Tapi celakanya tanpa mereka sadari Michael Myers berhasil lolos dari kepungan api dan menghabisi para petugas pemadam kebakaran yang telah berada di lokasi kebakaran. Pembunuh berantai itu kembali berhasil lolos dan bergerak pulang menuju Haddonfield.

Tujuan Michael Myers sangat jelas, untuk menemukan lebih banyak korban di sana, dan aksinya tersebut memantik api amarah dari penduduk Haddonfield. Salah satu di antara mereka adalah Tommy Doyle (Anthony Michael Hall), pria yang dulu pernah diasuh oleh Laurie itu mencoba mengumpulkan massa dan rekan dekatnya seperti Lonnie Elam (Robert Longstreet) dan anaknya Cameron Elam (Dylan Arnold) untuk bersama-sama mengkronfontasi langsung Michael Myers, menggunakan perayaan halloween untuk menghentikan dan menghukum sosok yang telah menghantui kota mereka dengan rasa takut selama 40 tahun.

Mari terlebih dahulu sedikit membahas film Halloween rilisan tahun 2018 yang tiga tahun lalu tidak bisa saya review. Berperan sebagai retroactive continuity dari semua film pernah hadir di the Halloween film series kala itu bersama dengan Jeff Fradley dan Danny McBride, Sutradara David Gordon Green berhasil “memperkenalkan” lagi dua sosok penting di film Halloween (1978) yakni the final girl Laurie Strode serta tentu saja villain utama, Michael Myers. Ada tweak yang tidak hanya oke saja namun juga terasa kuat, menempatkan konflik utama pada kembalinya sosok Michael Myers ke jalanan penonton juga bertemu beberapa penyegaran dalam karakter baru yang punya pesona dan koneksi terhadap past story yang terasa oke.


Pondasi kokoh memudahkan David Gordon Green mengeksploitasi sisi keji Michael Myers, trauma masih membekas pada beberapa korban serta kemunculannya ke jalanan kembali menimbulkan paranoia pada situasi “diikuti” oleh the boogeyman. Ditunjang dengan score yang eerie dan aksi pembunuhan yang sadis, David Gordon Green memberikan sebuah fan service dan penghormatan terhadap mitologi yang diciptakan oleh John Carpenter tapi juga disertai dengan peremajaan yang memikat terutama pada thrill and suspense. Tapi ada satu hal yang sebenarnya layak menjadi spotlight utama film tersebut, yakni kinerja akting seorang Jamie Lee Curtis yang mengubah kondisi post-traumatic stress disorder milik Laurie jadi sebuah “senjata” mematikan bagi David.

Itu yang absen di film ini, upaya memperluas cerita yang sayangnya justru membuat blunder akibat sikap percaya diri yang berlebihan atau terlalu tinggi. Danny McBride kembali mendampingi mengolah script, Scott Teems bergabung menjadi kompatriot baru, saya tidak tahu pasti niat utama mereka apa namun yang jelas melepas begitu saja setengah jam pertama dari total durasi 105 menit miliknya tanpa melibatkan Laurie merupakan sebuah kesalahan besar di film ini. Minus terbesar terletak pada kualitas urgensi, trying to make some kind of urgency, but failed, looks so stiff and awkward. Terlalu terburu-buru juga, contohnya perdebatan di dalam rumah sakit, tidak ada energi yang kuat di sana untuk mempertebal pressure dari Michael Myers, yang tersaji justru hanya kepanikan yang dipaksakan.


Cerita menciptakan cukup banyak arena bermain bagi Michael dengan konsep yang diterapkan sejak awal, tapi menggerus urgensi. Saat terjadi kepanikan di rumah sakit kita diberi clue bahwa Michael sedang mencoba masuk ke rumah lamanya yang kini dihuni oleh Big John dan Little John. Hal tersebut membuat situasi di rumah sakit jadi terasa seperti panggung sandiwara yang kurang oke, kecemasan dari karakter sesuatu yang terasa berlebihan meskipun penonton paham maksud dari scene itu apa. Terinfeksi oleh kejahatan, meskipun Michael Myers jelas menjadi musuh utama tapi aksi brutal dan liar pada penduduk kota Haddonfield juga menjadi personifikasi dari evil itu sendiri, mereka menemukan sisi kelam dari diri mereka, mengubah diri mereka menjadi hewan liar yang haus akan darah.

Tapi sebagai sebuah slasher film tentu yang menjadi jualan utamanya adalah aksi massacre dari villain utama, membuat isu di atas tadi tidak dieksplorasi oleh David Gordon Green. Seandainya karakter di luar tiga besar dibekali bobot yang lebih baik lagi mungkin aksi counterattack itu dapat jadi lebih menarik dan lebih meriah tanpa harus terlihat sentimental. Yang hadir di sini justru seperti sebuah keramaian yang tertata tapi terasa kurang penting eksistensinya, sebanyak mungkin karakter harus dibunuh sekejam mungkin, itu saja. Sedikit back and forth ke tahun 1978 memang sukses memoles nilai nostalgic tapi tanpa menghadirkan inovasi yang mumpuni di sektor cerita membuat film ini stuck berputar di familiar elements film sebelumnya.


Saya suka beberapa suguhan kecil lewat kembalinya beberapa karakter dengan peran penting di original film, dan saya juga suka keputusan David Gordon Green untuk tidak “malu” bermain dengan violence, tapi dengan berbagai muncratan darah film ini hanya bergerak ke arah samping, tidak membuat “dunia baru” Halloween menjadi berkembang secara signifikan. Mungkin tidak akan terasa mengecewakan bagi para penonton yang sudah tahu status Halloween Kills sebagai jembatan penghubung ke sekuel berjudul ‘Halloween Ends’ sehingga the finale itu mungkin akan terasa tidak terlalu mengganggu, tapi jangan heran jika ada yang lantas akan menilai film ini meh karena terlepas dari fungsinya untuk mempersiapkan pertarungan besar di sekuel tadi kualitas punch yang dihasilkan ‘Halloween Kills’ memang terasa medioker.

Overall, ‘Halloween Kills adalah film yang kurang memuaskan. Berbeda dengan film ‘Halloween’ rilisan tahun 2018 di mana ia sukses meninggalkan penonton berbagai macam hal menarik dan memorable, film ini hanya punya violence act yang menarik untuk dibahas lebih lanjut karena ada inovasi di sana, tidak seperti cerita yang justru sejak awal ternyata sudah mencoba untuk sekedar berjalan di tempat dan membawa kelanjutan kisah Michael Myers versus Laurie Strode and co. itu sebatas bergerak ke arah samping saja. It's Halloween, when terror's supposed to be fun and everyone's entitled to one good scare. But killed by Halloween Kills.





1 comment :