10 November 2021

Movie Review: Finch (2021)

“I wish I'd done more with the time I had.”

Setelah season kedua SeeApple TV+ langsung menambah daftar serial sci-fi milik mereka dengan Foundation, Invasion dan Dr. Brain, di mana judul terakhir menjadi the first Korean-language show produced for Apple TV+. Dan kurang dari tiga bulan film ini menjadi entri terbaru daftar tersebut, sebuah science fiction drama yang sebelumnya dikenal dengan judul ‘BIOS’, mencoba bercerita tentang sesuatu yang kurang umum di film post-apocalyptic science fiction: humanity, the meaning of life. From the Director of 'Game of Thrones' comes the best "low-key" sci-fi after 'Ex Machina'. ‘Finch’ : a touching science fiction fable. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Sepuluh tahun berlalu sejak solar flare menghancurkan lapisan ozon dan membuat suhu bumi meningkat menjadi 70 derajat Celcius, mengubah bumi menjadi gurun yang sebagian besar tidak lagi dapat dihuni akibat radiasi ultraviolet. Hanya tersisa beberapa manusia salah satunya robotics engineer, Finch Weinberg (Tom Hanks), ia bertahan hidup dengan mengitari kota St. Louis bersama helper-robot, Dewey. Finch sadar bahwa waktunya tidak lama lagi, sadar dengan kondisi tubuhnya yang semakin hari semakin lemah membuat Finch memutuskan untuk membangun robot sebagai pendamping Goodyear, Irish Terrier dog kesayangan Finch.

Robot dengan artificial intelligence yang dibantu data ensiklopedia itu bernama Jeff (Caleb Landry Jones). Jeff diperuntukkan sebagai humanoid robot companion bagi Goodyear tapi sayangnya Goodyear tidak percaya pada Jeff. Akibat sebuah badai yang akan segera tiba di St. Louis data yang berhasil diupload ke Jeff juga tidak 100%, membuatnya jadi tidak sempurna dan memiliki mental layaknya anak kecil. Hal tersebut memaksa Finch untuk harus kembali melatih Jeff beberapa hal dasar, dari mencari makanan, merawat Goodyear, serta beberapa hal pelajaran penting tentang kehidupan di dalam motorhome mereka yang terus melaju.

Senang rasanya melihat Tom Hanks kembali hadir di Apple TV+ paska war film yang lincah berjudul Greyhounditu, tapi menariknya kali ini pendekatannya juga masih serupa. Mungkin hal itu merupakan strategi dari Apple sendiri dalam memutuskan membeli film ini, film yang a bit low-key dari segi cerita namun punya potensi besar untuk bersinar dengan mengandalkan pesona seorang Tom Hanks. Ditulis oleh Ivor Powell dan Craig Luck, di awal ‘Finch’ dijual sebagai post-apocalyptic science fiction yang langsung mengikat atensi penonton lewat penggambaran kondisi kota St. Louis yang tampak kering, penggunaan konflik berupa terjadinya solar flare yang merusak lapisan ozon juga membantu terciptanya kesan “mengerikan” dengan cepat, kamu dibuat mengantisipasi berbagai marabahaya yang mungkin akan menghampiri Finch.


Tapi dari sana ternyata hadir sebuah drama yang tidak biasa, drama yang impresif. Terasa impresif karena dengan durasi 115 menit, hampir dua jam, Sutradara Miguel Sapochnik justru telah berhasil mengunci perhatian saya tidak sampai setengah jam sejak berkenalan dengan karakter utama. Ada runtutan yang terasa kokoh di bagian pembuka, dari bagaimana Sapochnik membangun kondisi terkini bumi yang tampak seperti padang gersang layaknya Mars namun dengan dikelilingi bangunan pencakar langit, kemudian menunjukkan kondisi “kesulitan” yang dialami oleh Finch dampak dari terbatasnya pasokan bahan makanan. Penonton seperti dibawa masuk ke St. Louis, yang tampak berbahaya dan langsung ditempatkan tepat di sisi Finch. Tidak terburu-buru, pondasi utama terbentuk kuat.

Bekal penting bagi sebuah proses yang kemudian melanjutkan baton perkenalan itu, melihat bagaimana Finch membangun humanoid robot yang lantas berkembang jadi lebih dari sekedar robot untuk mengawasi Goodyear. Konflik yang hadir juga sama baiknya, dari cara Finch “mengisi” Jeff dengan menggunakan file dari buku tersisa sebagai database, serta bagaimana massive storm yang diprediksi akan berlangsung lama menjadi titik awal dimulainya sebuah road trip dengan thrill oke. Saya suka dengan tone yang dibentuk Miguel Sapochnik, terutama cara transisi tersaji antara momen yang lucu dengan yang membutuhkan sedikit permainan emosi di dalamnya, tertata dengan baik, tidak saling tumpang tindih namun justru berpadu dan saling menopang satu sama lain. Ya, kamu tidak salah baca, ada permainan emosi di sini.


Itu yang membuat ‘Finch’ terasa sedikit berbeda dari film-film science fiction pada umumnya, tapi membuatnya terasa segar pula, it's purely not about the big spectacle tapi justru menjadi drama tentang hidup. Pertanyaan tentang hidup tidak dikemas eksplisit dan eksposisi yang diterapkan oleh Sapochnik juga membuat ‘Finch’ terasa segmented, destroyed earth bukanlah fokus utama melainkan sebagai arena yang mendorong pertanyaan tentang subject yang eksis di dalamnya, tentang apa artinya menjadi manusia. Ya, tidak original memang dan kerap digunakan pula menjadi bagian dari cerita di film genre fiksi ilmiah, bagaimana kecerdasan buatan kerap menjadi objek untuk “memikirkan” tentang manusia, tapi itu dikemas dengan baik oleh Sapochnik setelah mengandalkan humor di babak pertama.

Sapochnik dan timnya berhasil menciptakan keseimbangan narasi yang oke, yakni hubungan antara ayah dan anak. Jeff memang robot tapi ia ditempatkan seperti bayi yang mencoba belajar berjalan, remaja yang pemberontak dan ingin tahu banyak hal, serta menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dia slapstick tapi juga slowly growing. Humor mendominasi babak pertama yang kemudian diganti dengan emosi yang menguasai babak kedua, bagian di mana Sapochnik menunjukkan kemampuan miliknya dalam mengemas momen-momen kecil yang menyentuh. Diperhitungkan dengan baik memang sehingga naratif ‘Finch’ punya jalinan konflik, isu, dan pesan yang koheren. Saya terkejut bagaimana film ini berbicara tentang hidup, bagaimana di masa paska kiamat sekalipun tetap ada waktu untuk sedikit menikmati hidup.


Penyampaian yang implisit jelas membatasi pencapaian apa yang ingin disampaikan ‘Finch’ sejak awal, dan keputusan untuk tidak pernah benar-benar gets really deep juga membuat film ini berpotensi dinilai sebagai sci-fi kosong dan ompong belaka. Tapi tidak semua hal harus dijelaskan, cukup dirasakan, dan itu yang terjadi di sini, bersanding dengan CGI yang impresif dalam membentuk dan menampilkan gerakan Caleb Landry Jones dengan motion-capture suit. Koneksi antara robot, hewan, dan manusia punya dimensi yang manis, anjing bernama Seamus itu juga menunjukkan akting yang oke tapi bintang utamanya tentu saja tetap Tom Hanks, ekspresi wajah yang Tom Hanks tampilkan adalah perpaduan antara optimis dan realistis, rasa sakit yang Finch rasakan sama kuatnya dengan sisi lain karakternya, warm-hearted, dia juga tampil seperti di 'Cast Away'.

Overall, ‘Finch’ adalah film yang memuaskan. Menunjukkan perjuangan seorang pria di dunia yang sedang berada di ambang kehancuran, ‘Finch’ adalah penggambaran situasi akhir jaman yang mendorong pertanyaan eksistensial dengan balutan humor dan hati yang mumpuni, sebuah kisah tentang hubungan antara manusia, hewan dan robot yang not necessarily innovative but often touching. Ini adalah salah satu film paling mengejutkan tahun ini, sebuah post-apocalyptic science fiction drama yang dengan berani not trying to be a big spectacle tapi justru sebuah drama yang ingin menunjukkan apa arti dari kehidupan. It doesn't matter how hard your life is, the most important thing is how and what you live for. Because there's always something worth fighting and living for. Segmented.






1 comment :