25 April 2016

Review: A Hologram for the King (2016)


"I’ve lost direction I think."

Menggoda penonton dengan masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh karakter yang ia punya merupakan hal yang mudah untuk dilakukan semua film. Yang sulit adalah dengan stabil serta dalam komposisi yang tepat terus menggoda penonton sejak awal hingga akhir. Kegembiraan yang diberikan sebuah film tidak hanya berasal dari seberapa menarik dasar masalah yang ia punya di bagian cerita, tapi bagaimana dasar masalah tadi berubah menjadi banyak hal menarik yang bersifat saling melanjutkan bukan saling menggantikan. From the director of Run Lola Run, Perfume: The Story of a Murderer, Cloud Atlas, and Sense8, here comes A Hologram for the King, an engaging journey which feels like a blank space.

Alan Clay (Tom Hanks) adalah seorang salesman yang sedang memiliki banyak masalah. Tidak hanya di pekerjaan saja di mana ia merupakan seorang pengusaha yang gagal tapi Alan Clay juga telah mengalami sebuah perceraian yang begitu sengit dan gagal menjadi seorang ayah yang baik untuk putri tercintanya, Ruby (Jane Perry). Mencoba bangkit dari depresi Alan terlibat dalam sebuah misi ke Arab Saudi untuk menjual sebuah sistem komunikasi hologram. Celakanya meskipun telah dibantu oleh pria lokal bernama Yousef (Alexander Black), Alan masih belum mudah melepas rasa cemas yang ia alami sebelumnya dan semakin berat karena sesuatu yang ia jual kali ini merupakan sebuah “ilusi”. 



Bagian awal A Hologram for the King banyak mengingatkan pada Cloud Atlas yang juga disutradarai oleh Tom Tykwer. Bukan dari segi cerita tapi cara cerita memberikan impresi awal yang begitu menarik. Lewat karakter Alan di sini Tykwer mencoba menampilkan pria yang sedang berhadapan dengan banyak “penghinaan” dalam hidupnya, semua berasal dari kegagalan yang ia alami. Menghadapi boss, masalah rumah tangga, hingga masalah terkait sang anak, begitu mudah untuk tertarik pada karakter Alan bukan hanya karena ada something wrong saja tapi juga ada something interesting di karakter Alan. Dari kehidupan yang kacau tadi kita diajak untuk menyaksikan Alan mencoba menemukan kembali arah hidupnya, mencoba mencari “jiwanya” yang seolah hilang dalam fantasi dan reality.



Membawa penonton untuk mencoba memahami apa yang sedang terjadi di pikiran Alan adalah satu dari tiga bagian terbaik A Hologram for the King. Alan adalah pria yang sedang dipenuhi keraguan yang berujung pada krisis ketidaknyamanan sehingga cerita memiliki misteri yang menarik. Membuat Alan terus bertanya tanpa memperoleh respon yang nyata juga menarik, cara Tykwer menempatkan Alan di antara masalah bisnis dan masalah pribadi juga menciptakan tekanan yang oke bagi Alan. Tapi sayangnya segala hal positif tadi mulai terasa episodik dan kadang terasa bertele-tele, mereka seperti sebuah lingkaran sehingga daya tarik cerita perlahan pula mulai berkurang. Bukan berarti buruk tapi untuk film tentang “depresi” ini terasa sedikit terlalu tenang, busur dramatis cerita terasa biasa sehingga skenario yang menarik tadi mulai terasa seperti hanya melayang-layang.



Apakah Tykwer punya niat lain dalam cara bercerita yang ia gunakan di sini? Mungkin, karena ia seperti mencoba membuat penonton untuk memposisikan diri mereka sebagai Alan, merasakan rasa tidak nyaman, rasa sakit, hingga depresi. Untuk hal ini A Hologram for the King tampilkan dengan baik tapi itu terasa mengingkari impresi awal yang ia berikan sebelumnya. Awalnya A Hologram for the King tampak seperti akan menjadi sebuah petualangan di mana karakter bermain-main dengan fantasi dan reality, berhasil memang tapi semakin jauh durasi berjalan ia semakin terasa tumpul. Dengan berbagai masalah yang Alan alami uniknya tidak ada sesuatu yang super menarik dari apa ia tinggalkan, makna yang menarik dari apa yang ia lakukan kurang kuat. Di situ masalah film ini, yang hadir di layar mudah terhapus begitu saja ketika hal baru muncul.



A Hologram for the King memiliki konflik yang menarik tapi cara ia berjalan menuju bagian akhir termasuk solusi itu sendiri terasa kurang menarik. Seandainya fokus cerita A Hologram for the King dapat ditampilkan lebih kuat mungkin hasilnya akan lebih baik sehingga subplot dapat membantu plot utama untuk berdiri teguh sampai akhir. Di sini Tykwer coba tutupi fokus yang lemah dengan gerak cepat pada cerita dan pesona karakter utamanya, tapi sayangnya hanya yang terakhir tadi yang sepenuhnya berhasil. Di sini Tom Hanks kembali menunjukkan bahwa ia merupakan aktor yang begitu reliable, cerita yang menarik di sinopsis ia gunakan dengan baik untuk menangkap atensi penonton, dan di balik eksekusi yang tidak begitu tajam ia masih mampu membuat Alan Clay terus menarik hingga akhir, memiliki kepanikan yang tergambar dengan halus, rasa takut dan paranoia membuat penonton tertarik untuk terus memeriksa.



Bersama dengan gambar-gambar yang memberi kesan bersih serta dibantu kinerja akting yang baik dari Tom Hanks, A Hologram for the King berhasil menciptakan sebuah fantasi surealis yang menarik untuk diamati. Tapi masalahnya adalah berbagai potongan hal menarik yang ia punya kurang berhasil digabungkan dengan baik oleh Tykwer, hal menarik kehadirannya bersifat saling menggantikan bukan saling melanjutkan sehingga ketika berakhir A Hologram for the King terasa sedikit tumpul. Bukan sebuah drama dengan sedikit komedi yang buruk, tapi dengan potensi yang ia miliki di awal tadi hasil akhir A Hologram for the King terasa sedikit underwhelming. Segmented. 








0 komentar :

Post a Comment