14 October 2016

Movie Review: Inferno (2016)


"We're a minute to midnight."

Jika berbicara tentang petualangan Professor Robert Langdon baik itu di novel maupun dua film sebelumnya, ‘The Da Vinci Code’ serta ‘Angels & Demons’ maka lukisan dan kanvas kosong merupakan dua hal paling identik dengannya, dari misteri, simbol, dan tentu saja Langdon serta karakter lainnya, mereka ibarat kuas dan warna yang digunakan untuk mencoba memberi “kehidupan” pada kanvas yang kosong tadi. Hal tersebut kembali coba dilakukan Langdon di film ini, ‘Inferno’, sebuah usaha mewarnai kanvas kosong dengan berbagai misteri di mana kali ini dia dihadapkan pada sebuah problema yang dapat menciptakan sebuah malapetaka besar. Inferno: a floating, frenetic, plus fun seek and find.

Professor Robert Langdon (Tom Hanks) mendapati dirinya di sebuah rumah sakit ketika dia terbangun dengan sebuah luka di bagian kepala, merasa kesulitan ketika diminta oleh dokter Sienna Brooks (Felicity Jones) untuk mengingat kembali hal yang terakhir kali ia ketahui sebelum dirinya dilarikan ke rumah sakit. Berusaha melakukan hal tersebut dengan berbagai halusinasi mengerikan yang terus mencoba menyerang pikirannya Langdon justru terkejut ketika ia mendapati bahwa ternyata dirinya kini berada di Florence, Italia, dan tidak lama kemudian dikejutkan oleh kemunculan seorang wanita yang mencoba membunuhnya.

Sienna Brooks mencoba membantu Langdon dengan beberapa informasi kecil sebelum akhirnya mereka berdua melarikan diri dari rumah sakit tersebut. Dalam pelarian tersebut Langdon kemudian menyadari bahwa dirinya kini terjebak di dalam sebuah rencana yang disusun oleh Bertrand Zobrist (Ben Forster), seorang milyuner yang sebelumnya telah mengalami peristiwa tragis di Florence. Bertrand Zobrist telah menyusun sebuah rencana besar yaitu ingin “menyelamatkan” bumi dengan menggunakan virus berbahaya yang masih eksis. Lewat berbagai clue yang diperoleh dari tulisan-tulisan Dante, Robert Langdon bersama Sienna Brooks mencoba untuk menghentikan rencana berbahaya dan bersifat mematikan tersebut. 


‘Inferno’ masih bermain di universe atau “dunia” yang telah penonton kenal di dua film sebelumnya yang menjadi arena Langdon beraksi, jika di ‘The Da Vinci Code’ ia bermain di Paris, Roma sebagai arena di ‘Angels & Demons’, kini Inferno membawa kita ke Florence dan dua kota lainnya. Sutradara Ron Howard juga masih menggunakan tone yang serupa dengan dua film sebelumnya, menggabungkan misteri dengan gerak cepat hyper-active a la Jason Bourne yang punya potensi besar untuk membuat penontonnya merasa kelelahan. Yang menarik adalah hal terakhir tadi kuantitasnya tidak begitu besar di ‘Inferno’, dari script yang ditulis oleh David Koepp berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Dan Brown hingga cara Ron Howard mengeksekusi mereka, ini terasa lebih simple ketimbang ‘The Da Vinci Code’ dan ‘Angels & Demons’.

Berbagai hal terkait history masih mengisi cerita namun di sini mereka tidak begitu mendominasi. Ron Howard justru lebih condong mencoba mengemas ‘Inferno’ sebagai sebuah generic thriller, menghadirkan kerumitan yang tidak menuntut penonton untuk menguras kuat otak mereka untuk dapat berjalan bersamanya, dari cara narasi mengurai masalah di dalam konflik termasuk hubungan sebab dan akibat hingga cara thrill mempermainkan penontonnya. Di awal the staging quite good dan juga menjadi salah satu hal terbaik yang dimiliki ‘Inferno’, membuat penonton merasa terlibat di dalam konflik yang karakter hadapi wajib untuk dicapai oleh film semacam ini, dan hal tersebut berhasil ‘Inferno’ raih. Ron Howard berhasil membentuk ketegangan dengan cukup baik, membuat penonton menyaksikan karakter yang lepas dari lubang buaya namun masuk ke dalam kandang singa, terus berlari untuk menyelamatkan bumi. 


‘Inferno’ memiliki spirit old action killers yang terasa cukup manis, bergerak dengan tempo tinggi dan mencoba menghindari momen statis dalam waktu lama. Ron Howard seperti berusaha untuk membuat setiap scene terasa menegangkan tidak peduli apakah itu momen di mana Langdon terbaring maupun ketika ia duduk di kilas balik memori miliknya. Cukup mengejutkan ‘Inferno’ punya itu dengan kualitas yang cukup mumpuni mengingat sama seperti hal-hal terkait sejarah dan seni di sini elemen action pada dasarnya juga mengalami tone down jika dibandingkan dengan dua film sebelumnya. Penonton berhasil dibuat merasa terlibat dan peduli pada eksistensi Langdon karena sejak awal fokus mereka telah diarahkan pada isu tentang humanity dan human relationships, terdapat kedalaman yang menarik di sana sehingga usaha menyatukan puzzle sederhana yang Langdon lakukan terasa cukup menarik.

Karakter berpacu dengan waktu untuk mencegah terjadinya bencana semacam ini tentu sudah sangat familiar bagi penonton, sesuatu yang seolah telah menjadi bahan wajib dari berbagai film superhero, itu berdiri di pusat dan warnai sekelilingnya dengan berbagai “kebisingan” yang mencoba membuat penonton terpukau, termasuk terpukau pada karakter superhero. Hal tersebut dilakukan oleh Ron Howard dengan cukup baik di sini, ia mampu menekan kesan mencoba tampil tricky di dalam cerita agar tidak terasa berlebihan tapi tetap menjaga pesona dan karisma karakter utama. Di sini Langdon terasa menarik untuk diikuti meskipun rasa peduli penonton padanya lebih rendah ketimbang rasa peduli terhadap bahaya yang sedang mengancam dunia. Berbagai kejutan juga tidak terasa buruk dalam membuat aksi seek and find itu terasa fun walaupun harus diakui akibat sejak awal telah berusaha untuk tampil simple ‘Inferno’ tidak punya hal menarik yang bersifat memorable.  


It’s quite fun, namun dengan mengesampingkan segala kompleksitas atau kerumitan yang menjadi ciri dua pendahulunya ‘Inferno’ berakhir di kelas “oke, tapi tidak memorablemystery thriller. Elemen teknis terasa menarik, dari cinematography yang memanfaatkan dengan baik landscapes indah dari tiga kota di Eropa hingga score dari Hans Zimmer yang kembali dengan dentuman penuh bassloaded, namun cerita, no. Sejak sinopsis script sebenarnya simple tapi mampu membuat petualangan Langdon bernafas hingga akhir namun sayangnya pesona yang ia punya tidak terasa konsisten dan perlahan runtuh. Tanpa berbagai hal dengan rasa “nerd” itu tidak ada sesuatu yang dapat menstimulasi pikiran penonton dengan membuat mereka bertanya-tanya. ‘Inferno’ punya misteri tapi kualitasnya terlalu biasa, sama seperti tik-tok antara Langdon dan Sienna di bagian awal mereka terasa melayang-layang, sejak awal hingga akhir bersifat sebagai pemanis bagi aksi kejar yang cukup menghibur meskipun tidak sepenuhnya pumping.

Hal tersebut berdampak pada karakter. Dengan durasi 121 menit di bagian awal Langdon dan Sienna seperti terjebak di dalam sebuah misteri, mereka seperti target yang diburu dari berbagai arah, namun dengan pesona cerita yang menurun serta misteri yang tidak pernah kuat mencengkeram aksi lari dan berlari yang mereka lakukan mulai terasa seperti sebuah panduan wisata (visual Inferno cukup mumpuni). Pesona dan karisma Langdon berhasil ditampilkan dengan baik oleh Tom Hanks tapi dia tidak pernah bersinar terang setelah terjebak di dalam cerita yang sempat terasa draggy di beberapa bagian itu. Kinerja akting dari pemeran pendukung juga tidak buruk meskipun nasib mereka sama seperti Tom Hanks, tidak berhasil membuat karakter mereka meninggalkan punch yang kuat dan memikat. Irrfan Khan cukup berhasil mencuri atensi sebagai Harry Sims, terasa eksentrik dengan humor yang cukup menarik. 


Overall, Inferno adalah film yang cukup memuaskan. Jika karakter dan cerita diumpamakan sebagai kuas dan warna yang memcoba bermain-main di atas kanvas maka ‘Inferno’ berhasil menghasilkan sebuah lukisan yang cukup baik, sebuah lukisan yang sejak awal seperti terlebih dahulu telah didesain bentuknya dengan menggunakan pensil. Namun sayangnya lukisan tersebut tidak memiliki authenticity yang membuat pesonanya bersinar serta meninggalkan kesan yang kuat bagi orang-orang yang mengamatinya. Inferno serupa tapi tak sama dengan dua film sebelumnya, terasa cukup segar dengan tone down di berbagai elemen, aksi menyusun puzzle dengan ketegangan yang tidak buruk. Penuh hingar bingar yang cukup menyenangkan sayangnya usaha menjadi “simple” membuat ‘Inferno’ tidak punya hal menarik yang bersifat memorable jika menilik apa yang dua pendahulunya berhasil tinggalkan











0 komentar :

Post a Comment