27 March 2020

Movie Review: Emma. (2020)


“She always declares that she will never marry.”

Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Cinta juga dapat diartikan sebagai suatu perasaan dalam diri seseorang akibat faktor pembentuknya, merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang, sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut. ‘Emma.’ : a handsome, clever, and rich story about love.

Wanita muda bernama Emma Woodhouse (Anya Taylor-Joy) suatu ketika merasa bahwa ia harus segera mencari teman atau pendamping baru setelah pengasuhnya, Miss Taylor (Gemma Whelan), memutuskan untuk menikah dengan seorang duda bernama Mr. Weston (Rupert Graves). Tinggal bersama sang ayah yang selalu hidup dalam kegelisahan, Emma akhirnya memutuskan untuk berteman dengan wanita biasa dari keluarga kurang mampu bernama Harriet Smith (Mia Goth). Emma menyusun rencana untuk menjodohkan Harriet dengan pendeta muda bernama Mr. Elton (Josh O'Connor).

Sebagai syaratnya Emma meminta Harriet untuk menolak Robert Martin (Connor Swindells), dan itu dipenuhi oleh Harriet. Namun celakanya keputusan tersebut justru membawa masalah baru, Emma dipaksa menyaksikan rencana yang sedari awal telah ditentang oleh tetangganya yang bernama Mr. Knightley (Johnny Flynn) itu tidak berhasil mencapai sasaran. Situasi semakin kompleks dengan kehadiran Frank Churchill (Callum Turner) dan Jane Fairfax (Amber Anderson), dua sosok yang tidak hanya sukses membuat sosok "handsome, clever, and rich" itu sekedar kalah namun juga goyah.
Novel karya Jane Austen dengan judul sama yang merupakan sumber utama cerita film ini telah menjadi subjek dari berbagai adaptasi film dan televisi, kisah tentang seorang anak perempuan bangsawan bernama Emma, wanita muda yang cantik, pintar, dan tentu saja kaya raya. Dalam hitungan beberapa menit saja sejak titik start kita langsung dibawa oleh sutradara Autumn de Wilde untuk tidak hanya sekedar mengenal karakter Emma secara personal, namun juga mengetahui “dunia” yang ada di sekitarnya. Emma adalah karakter yang unik, tinggal di Inggris abad ke-19 di mana aturan sosial berlaku sangat ketat Emma justru memegang teguh rasa percayanya, bahwa dengan kemampuan dan kelebihannya ia  merupakan “pusat” dari dunia.

Dan Autumn de Wilde gunakan kondisi tersebut sebagai mesin penggerak pementasan yang ia hadirkan. Berulang kali penonton diajak menyaksikan bagaimana Emma mencoba melakukan keahliannya, yakni sebagai matchmaker, dan kali ini Harriet Smith adalah sosok yang ingin ia bantu. Autumn de Wilde dengan sangat cermat menjaga agar screenplay yang ditulis oleh Eleanor Catton tidak langsung membawa konflik utama menjadi pusat perhatian. Penonton dibawa menyaksikan berbagai rintangan yang kemudian menyapa Emma tapi juga disertai dengan sebuah perubahan atau trasnformasi emosi dan isi hati yang hadir secara bertahap dari karakter utama, menyaksikan wanita yang “angkuh” itu akhirnya perlahan luluh karena cinta.
Perubahan itu hadir lewat berbagai gesekan rasa tertarik yang disertai berbagai kesalahpahaman lucu di dalamnya. Bergerak secara bolak-balik penonton dibawa oleh Autumn de Wilde menyaksikan gesekan yang terjadi antara Emma dan Knightley, mereka dibentuk layaknya Tom and Jerry yang sulit untuk bersatu meskipun saling menyayangi satu sama lain. Banter di antara karakter digunakan untuk sejenak menggeser komedi agar menjadi pusat atensi, sama seperti cerita mereka terasa simple namun kesan lucu yang dihasilkan sangat kuat dan kaya. Tapi dengan sangat terampil di balik cerita yang bergerak lembut dan santai itu penonton dapat merasa sensasi dari ketegangan seksual yang perlahan terus tumbuh semakin besar secara elegan.

Sangat implisit, karena sedari awal memang tidak langsung dibawa oleh Autumn de Wilde untuk menjadi fokus utama, namun ketika mereka hadir hal-hal berbau romance itu terasa memikat, terasa straightforward dan tajam tapi juga sopan serta elegan. Tidak mudah untuk membuat karakter yang awalnya tampil tangguh perlahan mulai goyah dan akhirnya luluh karena cinta, tapi dibantu dengan dialog-dialog cantik dari Eleanor Catton perubahan ditampilkan Emma di sini terasa sangat baik. Autumn de Wilde membuat rahasia yang tersimpan di dalam cerita menghasilkan tumpukan kemalangan dan emosi bagi Emma, pintu masuk yang kemudian menyadarkan Emma akan kelemahan yang selama ini ia miliki, sebuah pemikiran yang terdistorsi konsep semuanya telah dirancang untuknya.
Ya, pada akhirnya ini adalah kisah tentang bagaimana besarnya kekuatan yang dimiliki oleh cinta dengan ditemani berbagai isu menarik lain di sekelilingnya. ‘Emma.’ merupakan penggambaran bahwa sekeras dan sedingin apapun seseorang mereka punya sisi sensitif yang dapat dibuka dengan menggunakan cinta, dari perhatian hingga kasih sayang. Hal-hal tadi dapat penonton rasakan dengan sangat mudah dari film ini, penyampaian yang Autumn de Wilde gunakan terasa modern meskipun setting cerita berada jauh di belakang kita. ‘Emma.’ tidak dibentuk menjadi kaku oleh de Wilde, ia tidak terpaku pada setting hingga tatanan bahasa yang formal dan justru membentuk berbagai isu di dalam cerita dengan perpaduan bersama sentuhan modern yang terasa segar.

Pencapaian tersebut tidak lepas dari kesuksesan Autumn de Wilde yang mampu membuat setiap karakter di dalam cerita terasa menarik, bahkan untuk karakter minor seperti Mr. Woodhouse (Bill Nighy (About Time)) dan Mrs. Elton (Tanya Reynolds). Kombinasi antara heart dan humor jadi kunci di sini, karakter yang mayoritas dibentuk agar tampil quirky menjalankan tugas mereka ketika berurusan dengan hal-hal comic tapi tetap menaruh fokus utama pada upaya membuka mata hati dan pikiran dari karakter Emma, dan George. Pesona setiap karakter tidak lepas dari kesan eksentrik, mereka seolah menjadi sekumpulan karakter lucu yang sedang berhadapan dengan hal-hal serius yang dikemas dengan sangat baik.
Hasilnya, ketika elemen drama menjadi sorotan utama penonton dapat merasakan emosi yang kuat namun tidak terlalu berat atau menyiksa, sedangkan ketika elemen komedi berganti mengambil kendali penonton akan dengan mudah tersenyum hingga tertawa dengan aksi kocak karakter, karena memang mereka telah dipersiapkan dengan baik untuk itu. Dua elemen tadi berpadu cantik dalam pementasan layaknya panggung teatrikal, semua tampak terukur secara presisi terutama pada cinematography yang menawan itu, dari landscape, medium shots, close-up shots, mereka semua cantik, camerawork terasa elegan dan artistik. Dibalut dengan score yang manis serta tatanan editing yang halus, production design ‘Emma.’ juga sukses mencuri perhatian, mereka top-notch bersama costumes design yang cantik dan ekspresif itu.

Last but not least, tentu adalah kinerja akting. Dua nama yang mencuri perhatian selain dua karakter utama adalah Miranda Hart yang memerankan Miss Bates serta Mia Goth. Tugas Harriet adalah sebagai pembuka jalan dengan sifat polos, Mia Goth (Nymphomaniac, A Cure for Wellness) tampilkan itu dengan baik, sedangkan Miranda Hart punya momen emosional yang ia eksekusi dengan baik setelah sebelumnya membuat Miss Bates menjadi karakter yang sedikit unik. Sedangkan Johnny Flynn membuat George menjadi love interest yang menarik bagi Emma, yang diperankan dengan sangat baik oleh Anya Taylor-Joy (The Witch, Split), wajahnya sangat ekspresif, emosinya tepat sasaran, ia terus memancarkan pesona selama Emma perlahan mulai berubah dari seorang wanita yang menjadi awalnya menjadikan cinta sebagai permainan belaka.
Overall, ‘Emma.’ adalah film yang sangat memuaskan. Mengingatkan saya pada ‘Love & Friendship’ beberapa tahun yang lalu, di debut perdananya sebagai sutradara film layar lebar ini Autumn de Wilde sukses menggunakan kisah sederhana karya Jane Austen itu menjadi sebuah penggambaran tentang cinta yang menyenangkan dan menawan. Tampil layaknya panggung teatrikal yang tertata rapi dan bersih, ‘Emma.’ membawa berbagai isu-isu klasik yang masih dapat dengan mudah ditemukan sekarang ini, mengemas mereka menjadi side dish untuk sajian utama yang disajikan dalam kapasitas dan kualitas yang tepat sasaran, yaitu tentang the power of love. God, it’s gorgeous. Segmented. 





1 comment :