04 July 2022

Movie Review: Licorice Pizza (2021)

“I'm not gonna forget you. Just like you're not gonna forget me.”

Ketika berbicara tentang cinta sebenarnya banyak orang yang bingung dan juga ragu pada cinta macam apa yang mereka mau, tidak heran jika kemudian muncul jalan penuh kerikil tajam dalam proses pencarian itu. Seperti karakter utama wanita di film ini, ketika ditanya apakah dirinya punya pacar jawabannya adalah "yes and no”, meski ia sadar bahwa ada pria yang sedang menyukai dirinya. Ya, rasa cemas dalam menentukan arah dan tujuan hidup memang menjadi bagian tak terlepaskan dari fase quarter-life crisis, masa di mana insecurity, ragu, dan kecewa kerap singgah di dalam berbagai hal di hidup manusia, dari karir, keuangan, dan tentu saja cinta. Tapi apakah cinta memang serumit itu? Licorice Pizza’: fantabulous!


Dalam perjalanan menuju ruang pemotretan high school picture, Gary Valentine (Cooper Hoffman) menyapa wanita bernama Alana Kane (Alana Haim) yang sedang menawarkan kaca cermin kepada para siswa. Alana adalah asisten fotografer yang berusia 25 tahun, tapi hal tersebut justru tidak menjadi rintangan berarti bagi Gary untuk langsung membangun chemistry dengan Alana, yang notabene sepuluh tahun lebih tua darinya. Dalam percakapan genit itu Gary mengajak Alana dinner di sebuah restoran langganannya, dan meski awalnya menolak dan mengatakan bahwa mereka tidak bisa berpacaran, malamnya Alana datang ke restoran tersebut.

Gary sendiri sedang berusaha merintis karirnya sebagai aktor, dan ia meminta Alana untuk menemaninya dalam sebuah tur ke New York, permintaan yang ternyata terus berlanjut ketika mereka mencoba membangun bisnis bersama, yaitu usaha berjualan kasur air dengan bantuan beberapa teman Gary. Alana merasa aneh ketika ia harus menjalani hari-harinya dengan Gary dan teman-temannya yang berusia lebih muda darinya sepuluh tahun, itu pula yang membuatnya tidak pernah menganggap serius Gary yang selalu bertingkah “nakal”. Alana merasa nyaman dengan Gary tapi dirinya ragu dengan apa yang ia inginkan dari sebuah hubungan percintaan. Menjauh dan mendekat terus mengisi hubungan pasangan muda itu.

Sejak debut penyutradaraannya sekitar dua setengah dekade yang lalu, Sutradara Paul Thomas Anderson telah memperoleh 11 kali nominasi Academy Awards yang mana mayoritas di antaranya ada di kategori screenplay. Dia belum pernah menang sejauh ini tapi pencapaian tersebut jelas lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa  Paul Thomas Anderson merupakan salah satu Sutradara dan juga Screenwriter yang ulung dalam bercerita. Meskipun memang cerita yang dia coba sajikan lebih sering bermain di ranah segmented, not everyone cup of tea kind of story yang mungkin juga berpengaruh pada popularitasnya di segmen penonton mainstream. Itu fakta memang, kerap menggunakan karakter yang sedang "sakit" dan ditampilkan dengan pendekatan serealistis mungkin, yang justru selalu jadi senjata andalannya.


Paul Thomas Anderson selalu piawai dalam membuat karakter dengan problematika sederhana namun menarik, yang juga mudah diakses oleh penontonnya. Masalah yang dihadapi oleh Gary dan Alana di sini memang beragam, dampak dari konsep bahwa mereka belajar dalam proses berkembang sebagai manusia. Tatanan konflik memang oke tapi tanpa eksplorasi yang terlalu detail mungkin akan terasa kurang bagi beberapa penonton. Meski sebenarnya fokus bukan diletakkan pada tumpukan masalah tadi, melainkan pada gejolak hati dua karakter utamanya yang berproses dengan menggunakan rasa suka yang ambigu. Yang kemudian membawa penonton menyaksikan proses tarik dan ulur antara dua karakter utama dengan menggunakan beberapa pengulangan untuk membangun penekanan tema utama.

Yakni tentang youth dan segala macam hal manis dan juga pahit yang terkandung di dalamnya. Youth memang masa yang indah, masa di mana para manusia muda itu gunakan untuk mencoba dan belajar, masa ketika ego kerap menjadi penguasa utama baik itu hati dan isi kepala. Licorice Pizza’ adalah tentang youth, ketika jatuh cinta namun sayang berselimutkan ragu dan gengsi, tapi kemudian ada rasa nyaman satu sama lain yang membuat hubungan tersebut terus berjalan, terlebih dengan adanya bisnis yang dibangun bersama. Tidak heran kisah berawal dari penolakan itu membuat dua karakter utama terjebak dalam posisi saling membutuhkan satu sama lain, tapi sayangnya tidak ada komitmen di antara mereka, apakah itu karena rasa ragu di awal atau karena rasa sakit hati yang kemudian hadir setelah pertemanan itu sudah berjalan cukup lama.


Walaupun sama seperti penonton, keduanya sebenarnya sama-sama tahu bahwa mereka saling menyukai. Tapi memang kadang begitulah cinta bekerja, misterius dan penuh dengan tanda tanya, apalagi ketika terjadi di usia yang tergolong masih muda dan masih sulit untuk bijaksana dan mengandalkan logika semata. Gary dan Alana saling larut dalam cemburu dan kemudian mencari pelarian untuk lepas dari rasa sedih, tapi di sisi lain tetap tidak mampu menghapus sikap saling peduli satu sama lain, checking on each other. Itu masalahnya, perjuangan dua karakter utama untuk mencoba menjadi lebih dewasa lagi dalam “bermain” dengan perasaan mereka masing-masing dan juga satu sama lain, untuk menetapkan isi hati dalam proses pendewasaan diri itu agar rasa ragu bisa terpinggirkan dan komitmen bisa datang.

Dan jika terus larut di kondisi demikian maka lingkaran setan itu tidak akan pernah usai, karena salah satu hal tersulit dalam percintaan adalah berusaha untuk move on namun sambil tetap menggantung asa untuk bisa kembali bersama, sembari tetap merasa bahwa kamu dan dia masih saling sayang satu sama lain, saling peduli satu sama lain. Paul Thomas Anderson sajikan proses tadi dalam bentuk pembuktian diri dengan cara saling menyakiti dicampur dengan keinginan karakter untuk mencoba banyak hal. Perbedaan usia membuat tingkat kedewasaan karakter menjadi berbeda, yang satu masih ingin bermain-main menikmati hidup dengan segala rebellious act miliknya, sedangkan satu lagi mencoba untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih serius, memikirkan masa depan. Ambisi dua karakter itu dibangun oleh Paul Thomas Anderson dengan ambisi yang juga menjadi ciri khasnya.


Dari karya-karyanya yang saya tonton, Paul Thomas Anderson seorang perfeksionis yang jenius tapi di sisi lain ambisinya juga sangat mudah untuk dirasa berlebihan. Dan semakin sulit karena ia senang memulai cerita dengan dari luas menjadi sempit, yang kadang membuat penonton jadi bingung di awal, sengaja dibuat buram untuk menyajikan berbagai ide yang sedikit lebih rumit with hypnotic moods. Permainan tarik dan ulur tidak hanya terjadi antara dua karakter saja, tapi juga antara penonton dengan cerita yang dibuat seolah "menolak" untuk menampilkan apa yang penonton harapkan. Kamu ditantang di sini meskipun yang bergulir adalah kisah cinta yang tampak sederhana, ditemani dengan beberapa detail dan menariknya kali ini narasi terasa lebih santai dan ringan, the coming-of-age drama with stories full of warmth and humor.

And also brilliantly staged. Pengenalan karakter singkat tapi kuat, pesona dibentuk dengan cepat menggunakan ambisi dan masalah, Gary yang terorganisir dan konstan punya ide bisnis di usia yang tergolong muda, sedangkan Alana yang lebih tua justru still doesn't know what she wants. Dan bersama Gary ia kemudian mengalami hal-hal baru yang menarik. Tema kesepian dan takdir kembali Anderson pakai, termasuk keterasingan dan juga penyesalan, semua dibungkus dengan isu tentang perasaan suka atau cinta. Ya, berbagai hal yang jika ditarik ke dalam sat ugaris lurus menjadi sebuah proses self-reinvention, ditemani dengan soundtrack yang memikat mencoba berbicara tentang joy of life dengan menggunakan perumpamaan layaknya sebuah pizza, yang di sini justru diberi topping yang tidak biasa, yakni licorice.


Meskipun ceritanya terasa sangat umum tapi punch ‘Licorice Pizza’ terasa sangat kuat di bagian akhir, karena ada rasa unik yang tercipta dan membekas, membuat kisah cinta itu terasa memikat. Karena ada “hati” di dalam cerita, baik itu dari Gary maupun Alana. Nama besar seperti Sean Pean dan Bradley Cooper plays a small part tapi efektif membantu dua pemeran utama membuat karakter mereka constantly moving. Ini debut film layar lebarnya, tapi Cooper Hoffman (anak mendiang Philip Seymour Hoffman) memberikan kinerja akting yang mengesankan di sini, bersama dengan Alana Haim mereka adalah discovery yang memikat di industri perfilman di satu tahun terakhir. Alana adalah bintang utamanya di sini, very natural on-screen presence, ia mencampur sisi cerdas dan rentan karakternya dengan sangat baik, to become the beating heart of the film.

Overall, ‘Licorice Pizza adalah film yang sangat memuaskan. Menilik konflik yang ia coba sajikan mungkin sepintas terkesan kurang ambisius jika dibanding beberapa film karya Paul Thomas Anderson sebelumnya yang cenderung “keras”, tapi kali ini dengan komedi dan hati as artfully staged as usual, Anderson menyajikan sebuah coming-of-age drama berisikan self-reinvention dan proses "penemuan cinta" yang menawan dan dikendalikan dengan cantik, bermain dengan mood yang gelisah serta berbagai keanehan masa muda yang ditata dengan indah. Kisah youth yang berisikan ambisi dan gengsi, serta nafsu dan juga ragu, ‘Licorice Pizza’ is a beautiful light and warm-hearted touching story about the extraordinary side of love. You’ve come a long way, baby. Segmented.






1 comment :