21 November 2014

Movie Review: The Hunger Games: Mockingjay – Part 1 (2014)


“If we burn, you burn with us!”

Damn you Harry Potter, karena upaya empat tahun lalu untuk memanfaatkan potensi box-office dengan membagi film terakhir menjadi dua bagian kini perlahan akan bahkan telah menjadi trend baru yang menarik untuk dicoba. Bukan perlakuan yang merupakan sebuah dosa memang, namun masalahnya adalah tidak semua film adaptasi layak mendapatkan treatment seperti itu, tidak semua buku atau novel memiliki materi yang mumpuni untuk dipecah menjadi beberapa bagian, tentu ada hal positif, namun tidak sedikit pula hal negatif yang dapat muncul. Bagian pertama dari film terakhir trilogi perjuangan di negeri Panem ini menderita karena hal terakhir tadi, The Hunger Games: Mockingjay - Part 1, a bit forced, feeble, faint, and facile formality fission for farewell.

Perjuangan untuk membebaskan Panem dari tangan diktator bernama Coriolanus Snow (Donald Sutherland) kembali berlanjut, dimana setelah memberikan kejutan ketika berhasil “mencuri” Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) saat Quarter Quell tengah mencapai babak akhirnya, sosok dibalik layar dari perjuangan tersebut terus berusaha melanjutkan misi yang telah mereka rancang itu. Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman) bersama seorang wanita bernama Alma Coin (Julianne Moore) telah merancang revolusi untuk secara bertahap mengambil alih Panem, dan usaha pertama mereka adalah mencoba memanfaatkan api pemberontakan yang telah terbakar dari jarak jauh, dari Distrik 13. 

Ya, Katniss telah lekat dengan image Mockingjay, karena sikap “berani” yang ia perlihatkan saat berada di arena pertarungan The Hunger Games telah berhasil menarik perhatian mayoritas penduduk negeri Panem bahwa kebebasan yang mereka idamkan bukan sesuatu yang mustahil. Wanita muda ini menjadi pusat dari revolusi, ia seolah menjadi boneka dimana kelebihannya coba di eksplorasi untuk semakin memperbesar api pemberontakan, salah satu dengan menciptakan video propaganda. Tapi celakanya disisi lain Presiden Snow juga berupaya memadamkan pemberontakan, dan ia punya senjata yang sangat efektif, senjata yang mampu membuat Katniss menjadi goyah: Peeta Mellark (Josh Hutcherson). 


Bukan hanya beberapa tapi sangat yakin banyak orang yang telah membaca novel trilogi The Hunger Games mengatakan bahwa Mockingjay merupakan buku paling lemah dari trilogi milik Suzanne Collins ini, tapi hal sebaliknya justru terjadi pada saya, super slightly better than Cathing Fire, dan imo merupakan buku terbaik dari trilogi ini. Mungkin pergeseran tema dari yang awalnya mayoritas berisikan aksi perjuangan “nyata” di lapangan kemudian sedikit bergerak menuju “mind war” atau pertarungan strategi banyak memberikan pengaruh pada penilaian bahwa Mockingjay adalah buku yang lemah, ia tidak bergerak sedinamis dua buku awalnya, ia memang lebih banyak berisikan permainan intrik dalam ketenangan tapi punya gesekan yang intens, bahkan emosi pada buku ini merupakan yang paling “manusia” dibalik status dua karakter utamanya yang sebatas menjadi puppet dari dua kubu yang berseteru.

Tapi seperti yang disebutkan diawal tadi bahwa tidak peduli seberapa menarik, intens, intim, menegangkan cerita yang dihasilkan sebuah novel, tidak semua dari mereka layak untuk dipecah untuk menjadi dua bagian, dan sikap licik dan keras kepala dari Lionsgate akhirnya mendapatkan pukulan yang keras di film ini. Meskipun berisikan permainan manipulatif dengan menggunakan media untuk mendorong unsur politik bergerak semakin kedepan, Mockingjay pada dasarnya tidak memiliki bahan yang cukup untuk dipecah menjadi dua bagian yang bukan hanya sama besar tapi juga sama baiknya, dimana drama dan action saling membantu. Jadi jangan heran jika anda akan merasakan seperti ada sesuatu yang hilang di film ini dari apa yang pernah anda rasakan di dua film terdahulunya, karena The Hunger Games: Mockingjay - Part 1 sengaja bermain di sisi drama, dan sengaja menyimpan action untuk bagian keduanya.


Apakah itu sesuatu yang salah? Tidak, tapi dampaknya Francis Lawrence kurang berhasil memberikan sebuah petualangan yang bukan hanya seimbang baik itu pada drama dan action, tapi sebuah petualangan yang juga terus mampu membakar daya tarik atau semangat penonton pada perjuangan yang dibangun karakter. Kurang dinamis, segala kenikmatan dan hal-hal menarik yang telah mereka bangun sejak awal seperti tidak mendapatkan kesempatan yang besar untuk bertumbuh dengan sangat baik. Bukan berarti buruk, bahkan dari sisi konflik sendiri kita akan mudah untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi diantara Capitol, Distrik 13, dan seluruh Panem, dan upaya utama mereka untuk membuat penonton semakin penasaran dengan film keduanya juga terbilang baik, tapi masalahnya adalah ketimbang menjadi jembatan yang menghubungkan kita dari babak satu menuju babak kedua film ini lebih terasa sebagai sebuah extra time yang terlalu lunak.

Ya, terlalu lunak, dan cerita menjadi masalah utamanya. Dampaknya sangat terasa ketika diawal kita punya penulis novel sebagai screenwriter, kemudian di film kedua kita mendapatkan dua penulis kelas Oscar, dan kali ini cerita ditulis oleh sosok dibalik kesuksesan tv-movie bertemakan politik, Game Change. Akhirnya The Hunger Games: Mockingjay - Part 1 seperti terjebak sepenuhnya di tema terakhir tadi, permainan politik penuh intrik, menyaksikan karakter bergulat dengan rencana mereka di dalam bunker bawah tanah sembari sesekali diberikan situasi yang terjadi di distrik-distrik di luar sana. Lantas masalahnya apa? Masalahnya adalah disamping keputusan mereka untuk setia pada novel, Danny Strong dan Peter Craig tidak berhasil mengembangkan sinopsis diatas tadi untuk memperkokoh pesona dari perjuangan, tapi justru menjadikan perencanaan pemberontakan itu melemahkan sisi heroik Katniss yang telah terbangun selama ini, dan itu sangat disayangkan mengingat fakta bahwa sebuah peperangan besar telah menanti mereka.


Banyak bagian kecil yang dapat di potong dari film ini, untuk kemudian memberikan ruang bagi babak kedua yang sesungguhnya juga dapat digabungkan menjadi satu kemasan film. Francis Lawrence mungkin bisa beralasan ia ingin untuk semakin mengembangkan karakter, dan mengubah warna cerita untuk semakin gelap, tapi progress yang ia berikan di dua hal tadi terasa kecil yang juga akan menjadikan anda mulai berpikiran lain, it’s all about business. The Hunger Games: Mockingjay - Part 1 dapat dikatakan menjadi salah satu kejutan terbesar di tahun ini, sebuah kejutan yang cukup mengecewakan, sebuah kemasan yang tidak mampu mengalihkan atensi penonton dari upaya licik mereka di sektor keuntungan dengan memberikan hiburan yang menghibur dan menyenangkan. Drama yang terlalu stabil dalam pace yang tidak jarang terasa lesu menjadikan kesan liar dari perjuangan yang tercipta terasa sangat minim, sensasi dan thrill dari perjuangan yang telah ia miliki sejak awal juga mengalami downgrade yang cukup signifikan.

The Hunger Games menjadi besar karena karena ia punya drama yang efektif dan tidak terlalu sentimental yang kemudian digabungkan bersama action yang penuh ketegangan, dan di film ini pola tadi di putar posisinya, melodrama dengan ketegangan yang minimalis. Ya, sederhana, hanya itu yang menjadi masalah buat saya yang sulit untuk menyukai film yang membagi dua finale seperti ini, termasuk Harry Potter, karena THG kuat sebab ia punya drama dan action yang saling membantu, dan ketika salah satu dari mereka disimpan untuk babak kedua akhirnya ini hanya menjadi sebuah presentasi yang lunak. Disamping cerita elemen lain tidak ada yang mengalami dowrgrade, sisi teknis masih tampil dengan standard yang telah mereka capai di film terdahulu, sedangkan divisi akting mungkin dapat menjadi alasan untuk tidak memberikan label kepada film ini sebagai film yang kacau, karena mayoritas dari mereka mampu memanfaatkan kesempatan yang mereka punya.


Kali ini Jennifer Lawrence memperoleh tugas yang telah menjadi keahliannya, memancarkan emosi lewat akting yang sederhana. Kekacauan dan gejolak pikiran dan perasaan yang Katniss alami tergambarkan dengan manis, meskipun Katniss akhirnya harus sedikit kehilangan pesona pahlawan yang ia miliki namun aksi merenung mondar-mandir yang ia berikan mampu memberikan emosi yang baik dan pondasi bagi babak kedua nanti. Kejutan berasal dari Philip Seymour Hoffman, Julianne Moore, dan Liam Hemsworth, peran mereka sangat terasa di film ini didalam perencanaan pemberontakan, meskipun memang lebih banyak disebabkan karakter mereka memiliki kesempatan yang lebih besar dibandingkan aktor lain, sebut saja Donald Sutherland, Woody Harrelson dan Elizabeth Banks. Pengecualian mungkin pada Josh Hutcherson, peran yang dimiliki oleh Peeta memang terbilang kecil tapi ia berhasil menjalankan tugasnya yang terbilang penting untuk memperluas cerita dengan cara yang efektif.



Overall, The Hunger Games: Mockingjay - Part 1 adalah film yang cukup memuaskan. Bayangkan saja jika di sepanjang film Batman yang masih pensiun bersama Alfred Pennyworth hanya bisa mempersiapkan upaya untuk nanti menyelamatkan Gotham di film kedua, ada proses tapi minim sensasi, atau mungkin yang lebih sederhana dimana tugas sebanyak 10 halaman dengan font size 12 tapi justru di buat dengan font size 24 hanya sebatas untuk mencapai syarat yang ditentukan. Tidak salah membagi film menjadi dua bagian untuk memanfaatkan potensi box-office, tapi hal tersebut harus di imbangi dengan keberhasilan menjadikan bagian pembuka tetap terasa menarik, memberikan sebuah perkembangan yang bukan hanya terasa segar, tapi mampu menjaga pencapaian yang telah mereka raih, dari pesona, emosi, dan sensasi, yang di film ini tidak semuanya berhasil tampil kuat, ada yang menjadi redup, ada yang terasa terlalu lunak. Remember, girl on fire, I'm still betting on you!







4 comments :

  1. Huffft. Nilai 7.25 dari sini gue simpen .25 buat tambahan nilai yg part 2 nanti. Hahaa. Bener banget ada bagian yg bisa dikurangi biar jadi 1 part aja. Contohnya pmbuatan video2 propo. Kehadiran peeta minioritas tapi maknanya sangat besar dan berpengaruh. Sblum nonton film ini gue udah nebak2 dluan ni film bakal bersambung dimana, dan trnyata bingo! Yah jadi biasa aja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya kirain malah bakalan di putus pas insiden Katniss dengan penambang di distrik 2, supaya mengejutkan. Tapi ternyata, hahaha. :)

      Delete
  2. Biarlah menjadi lebih dramatis macem drama korea~ *sigh*

    ReplyDelete
  3. Keputusan score 7.25 untuk sekuel ini rasanya nggak pas...
    Menurut saya The Maze Runner dengan score 6.5, masih lebih menarik (dari segi cerita).

    ReplyDelete