21 November 2013

Movie Review: The Hunger Games: Catching Fire (2013)


"Every revolution begins with a spark."

I am a Tribute, that’s for sure. Namun anehnya antusiasme pada film kedua dari TheHunger Games ini sejak awal sesungguhnya tidak begitu besar, karena imo Catching Fire adalah buku paling lemah di antara dari tiga novel karya Suzanne Collins. Catching Fire hanya berisikan pengulangan dengan bumbu trik politik, ibarat sebuah jembatan yang menghubungkan The Hunger Games dengan ledakan besar pada Mockingjay. Hal tersebut juga akan dihadirkan oleh The Hunger Games: Catching Fire, sebuah memorable popcorn movie yang di eksekusi dengan penuh rasa percaya diri, surprisingly become a solid and full enjoyment ride, nearly awesome.

Tindakan Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) yang seperti berupaya untuk menunjukkan cintanya pada Peeta Mellark (Josh Hutcherson) saat babak akhir The Hunger Games ke-74 lalu mungkin telah berhasil mengaduk-aduk emosi penduduk Capitol, namun hal tersebut tidak berlaku pada Presiden Snow (Donald Sutherland). Sebuah upaya terselubung untuk menghidupkan kembali pemberontakan, itu penilaian Snow pada aksi Katniss, yang kemudian mencoba untuk mencegah semakin besarnya api yang telah tersulut itu dengan memerintahkannya menunjukkan pada seluruh Panem bahwa ia benar-benar mencintai Peeta pada parade pemenang yang diadakan mengelilingi negeri.   

Tidak cukup sampai disitu, dengan mengganti gameskeeper yang kini ia berikan pada Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman), Snow memanfaatkan momentum perayaan The Hunger Games setiap 25 tahun sekali (Quarter Quell) sebagai jalan lain, mengumpulkan kembali para pemenang dari tiap distrik kedalam arena. Masih dibawah bimbingan Haymitch Abernathy (Woody Harrelson) dan Effie Trinket (Elizabeth Banks), serta support dari Cinna (Lenny Kravitz), Katniss dan Peeta kembali ke arena, namun kali ini bukan hanya mengusung misi untuk sekedar bertahan hidup, tapi sebagai simbol dalam sebuah indirect fight dengan Presiden Snow untuk memperebutkan api yang telah tersulut, padam atau terbakar semakin besar.


Sulit untuk berupaya agar terus dapat bersikap objektif secara mendetail dalam menilai The Hunger Games: Catching Fire, karena sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri pasti akan ada kepuasan tersendiri ketika apa yang selama ini anda baca berhasil di transfer secara tepat sasaran kedalam bentuk visual yang menyenangkan, membuat anda kembali membuka memori dari tiap lembar yang pernah anda baca. Itu yang berhasil diberikan oleh The Hunger Games: Catching Fire (THG: CF). Francis Lawrence yang kini mengambil alih kendali utama berhasil menjadikan petualangan kedua ini sebagai sebuah blockbuster yang straightforward, bermain dengan materi klasik tanpa terkesan bodoh (ups, sorry).

Ini seperti menyaksikan dua paket dalam satu kemasan. Francis Lawrence masih menggunakan formula standard dari cara menjual kisah cinta khas Hollywood, cinta segitiga, termasuk di dalamnya kissing scene yang kuantitasnya cukup mengejutkan, hingga  tidak meninggalkan permainan ambiguitas. Namun apa yang menyebabkan THG: CF tidak jatuh menjadi sebuah kemasan murahan adalah ia tetap fokus pada misi utama, menghadirkan sebuah propaganda tentang kejamnya sistem dan tatanan sosial saat ini, yang dikemas dengan dominasi nada suram. Francis Lawrence pintar memanfaatkan karakter yang ia miliki untuk menyampaikan semua pesan kecil, menjaga momentum dan dinamika pergerakan cerita, memberikan sentuhan humor yang tepat dan kemudian menghujam penontonnya dengan kejutan, baik itu pada visual dan cerita.

The Hunger Games: Catching Fire memperoleh keuntungan dari keputusannya untuk setia pada novel. Ini bertumbuh, menghadirkan perkembangan dari pendahulunya. Dasarnya masih sama (sekali lagi, Catching Fire adalah sebuah pengulangan dengan sentuhan aksesoris baru), namun semua materi yang sudah ada kini terasa semakin dalam dan kompleks. Dibiarkan berjalan lambat oleh Francis Lawrence, ia ingin penontonnya terjerat semakin dalam pada konflik dengan penindasan sebagai tema utama itu, arena pertarungan sebagai penggambaran dunia yang mengerikan, kegembiraan bersama kemewahan dibalik kematian jiwa miskin tak berdosa, rasa takut yang justru menghambat terjadinya hal yang benar, gotong-royong, sebuah perjudian dan investasi jangka panjang untuk dua film selanjutnya.


Memang pasti akan ada yang menilai film ini terasa underwhelming, terlalu sibuk membangun konflik (satu jam lebih) dan kurang peduli pada bagian pertarungan. Hal tersebut akan membuat elemen pertarungan seperti kurang padat, kurang kompleks, dan terkesan terlalu cepat. Namun seperti yang saya singgung sebelumnya, The Hunger Games: Catching Fire sendiri hanya punya satu tugas utama, dan itu tunggal, sebagai sebuah jembatan penghubung antara film pertama dengan dua bagian finale, yang menurut saya merupakan bagian terbaik dari trilogy ini. Jika menaruh tugas tersebut sebagai fokus utama, sebagai sarana untuk menjalankan upaya mereka membawa penontonnya masuk kedalam sebuah pertarungan besar, THG: CF berhasil menjalankan tugasnya pada level yang memuaskan.

Script menjadi salah satu kunci utama kesuksesan THG: CF. Ya, gold will always be a gold, film ini sangat terbantu oleh kombinasi dua sosok kelas Oscar yang pernah berada dibalik kesuksesan film semacam Slumdog Millionaire, 127 Hours, Little Miss Sunshine, Toy Story 3, dan Brave. Simon Beaufoy dan Michael Arndt kembali membuktikan kepiawaian mereka, berhasil menerjemahkan novel dengan sedikit modifikasi namun tidak kehilangan irama cerita, pintar memilih setiap point penting yang perlu digali sedikit lebih dalam, menjadikan narasi dan alur cerita terus bergerak halus sehingga sangat mudah dipahami bagi penonton umum. Mereka juga tahu bagaimana menciptakan ruang bagi karakter untuk bermain dengan sisi emosional dan romantisme, elemen yang meskipun kurang kuat namun semakin memperkokoh tema utama dan menambah kekayaan karakterisasi.

Cukup satu kata untuk menyederhanakan performa dari divisi akting yang dimiliki The Hunger Games: Catching Fire, gemilang. Jennifer Lawrence berhasil memanfaatkan kondisi dari karakternya yang sudah terbentuk, kemudian membangun Katniss agar semakin kuat, terasa dekat dengan penonton, rebellion dan heroism yang memikat, serta menjauhkan manipulasi romansa agar tidak terlalu overdo. Kinerja pemeran dibelakang J-Law tidak kalah cemerlang, bahkan sulit untuk memilih posisi kedua. Walau minim Josh Hutcherson dan Liam Hemsworth masih berhasil menjaga nafas cinta segitiga, dan ada sekurangnya delapan karakter sekunder yang selalu mampu memanfaatkan bagian mereka untuk mencuri perhatian dan tetap berkontribusi pada pergerakan cerita, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Donald Sutherland, Sam Claflin, Jeffrey Wright, Jena Malone, Philip Seymour Hoffman, dan tentu saja Stanley Tucci.



Overall, The Hunger Games: Catching Fire adalah film yang memuaskan. Film ini dengan penuh rasa percaya diri berhasil menghadirkan eksekusi yang menjauhkan pengulangan dari materi miliknya dari jurang kehancuran, memang tidak memberikan sebuah loncatan dalam skala yang sangat besar pada sektor kualitas, namun berhasil menciptakan sebuah pertumbuhan yang memikat, semakin provokatif lewat cara implisit dan menawan, semakin memperdalam kekuatan dari karakter serta konflik sebagai persiapan bagi dua hidangan penutupnya. Oh, Catnip, Mockingjay!!



12 comments :

  1. membuat anda kembali membuka memori dari tiap lembar yang pernah anda baca , maaf tanpa tanda petik karena keyboard saya error hehe, tapi ini memang bener, sesuai judulnya sayapun jadi lapar juga meskipun udah tamat baca novelnya. benar2 apik!!! percintaanya gak dipaksakan ,benar2 pas, dan aktingnya brilian! entah kenapa saya sangat PUAS! dengan catching fire!

    ReplyDelete
  2. atas segala keterbatasan saya yg baru benar2 menonton film ini atau bahkan belum pernah membaca novelnya ini adalah sajian yg sulit dimengerti, meskipun cukup menggugah pada level pertarungan tp down kembali d penutupan,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pada novelnya juga memang ending seperti di putus paksa, jadi ketika di terjemahkan ke film bagi penonton umum akan terasa antiklimaks, karena tujuan bagian kedua sejak awal memang hanya untuk memperdalam karakter dan konflik untuk masuk kedalam Mockingjay. Mereka sukses jika penonton semakin mengerti alur konflik umum yang akan dihadapi karakter utama nantinya. :)

      Delete
  3. Yap, ini persis sekali seperti novelnya. Pengembangan karakter paling berasa diantara kedua film ini sebenernya Prim. Prim di film pertama dan prim di film kedua jauh sekali. Overall saya lebih suka katniss di film CF daripada di novelnya. Di novel CF katniss terasa lebih 'galau' dan g tentu arah. Can't wait for the sequel!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah iya, sampai lupa bahas Prim, banyak membantu emosi Katniss juga secara gak langsung. Benar, di film Katniss terasa lebih tangguh, “galau” itu yang bikin novel kedua jadi sedikit lemah. :)

      Delete
  4. Look at this blog! Getting crowded eh? Still got room for me, min?
    :))))

    ReplyDelete
  5. Ya ampun. Hunger Games ini film paling boring y pernah gw tonton. Malah sejak saat itu, jadi semacam cambuk bwt gw untuk berhenti berekspektasi sama film yang hypenya tinggi. Mungkin faktor para die hard fansnya JL waktu itu yang bikin semangat empatlima buat ikut nonton, apalagi HG pertama lumayan meyakinkan. Yah, sudahlah. Maaf y min, komen ini ga nyinggung siapa2 kan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju...antiklimaks..alias gak mudeng...

      Delete
    2. Dari internal ngak ada yang tersinggung kok, saya pribadi belum melabeli diri sebagai die hard fans J-Law, tapi ngak tahu kalau dari eksternal, mungkin ada. Hehehe.

      Catching Fire ini emang agak risky sih, karena pendekatan yg dipakai tidak super mainstream, jadi sedikit menjurus ke take it or leave it, mereka yang klik bakalan makin terjebak lebih dalam, tapi pasti ada juga yang tidak/kurang klik dan mulai mundur perlahan.

      Dijelaskan secara detail sulit ya, karena untuk film adaptasi seperti ini bohong banget kalau menilai ngak pakai sisi subjektif sedikitpun, terlebih untuk yang baca novelnya.

      Oh iya, saya ada buat penjelasan sederhana untuk keluhan semacam antiklimaks dll di paragraf tujuh, silahkan di cek kembali mungkin aja terlewatkan. Thanks. :)

      Delete