16 January 2022

Movie Review: Mass (2021)

"The last gunshot, 1:36, goes into my son's neck."

Tuhan saja Maha Pemaaf serta Maha Pengampun, kenapa manusia tidak? Faktanya praktik memaafkan dalam kehidupan sehari-hari bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, terlebih jika rasa sakit yang membekas merupakan hasil dari kehilangan sosok atau sesuatu yang sangat kamu sayangi dan “diambil” secara tidak adil. Film ini dibuka dengan proses persiapan sebuah ruangan meeting, koordinasi antara tiga orang yang bukan merupakan empat karakter utama, namun dari raut wajah mereka sejak awal penonton telah dibuat mengantisipasi munculnya sesuatu “mengerikan” dan menguasai ruangan tersebut tadi. Dan itu terjadi. Mass’: playing with agony.


Wanita bernama Kendra (Michelle N. Carter) masuk ke dalam sebuah gereja untuk menemui Judy (Breeda Wool) dan seolah telah mengetahui maksud kedatangan tamu mereka Judy bersama Anthony (Kagen Albright) mengantarkan Kendra menuju satu ruangan yang telah tertata dengan baik. Judy menawarkan kepada Kendra apa perlu mereka menyiapkan satu meja di mana para tamu kelak dapat mengambil makanan dan minuman, namun sayangnya ditolak oleh Kendra. Yang dibutuhkan untuk acara tersebut memang tidak rumit, hanya sebuah ruangan yang tidak terganggu aktivitas orang lain di mana terdapat sebuah meja tepat di tengah ruangan. Di sekelilingnya terdapat empat buah kursi.

Peserta pertama tiba, pasangan suami istri bernama Jay Perry (Jason Isaacs) and Gail Perry (Martha Plimpton) yang sempat enggan untuk masuk ke dalam gedung gereja. Tidak lama kemudian tiba peserta lainnya, yakni pasangan suami istri juga bernama Linda (Ann Dowd) dan Richard (Reed Birney). Seorang anak laki-laki menjadi korban aksi kekerasan di sebuah sekolah yang terjadi enam tahu lalu, kedua pihak bertemu untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang masih berkecamuk di dalam hati dan pikiran mereka serta menemukan penghiburan atas peristiwa tersebut. Jay dan Gail merupakan orangtua dari anak laki-laki yang menjadi korban, sedangkan Linda dan Richard adalah orangtua anak laki-laki pelaku aksi pembunuhan tersebut.  

Pada debut penyutradaraannya Fran Kranz yang juga menulis script menunjukkan kepada penonton betapa besarnya fungsi serta peran dramaturgi di dalam sebuah pementasan. Mungkin ada sekitar 15 menit di awal ketika Fran Kranz seolah sengaja membuat narasi mengalir perlahan tanpa arah yang jelas dengan kesan misterius yang sangat kuat, memakai karakter Judy dan Kendra untuk memainkan isi pikiran penonton, apalagi bagi mereka yang belum membaca sinopsis sebelum menonton maka akan semakin blur 15 menit tersebut tadi. Tapi di momen tersebut Fran Kranz membangun rasa penasaranmu yang telah ia tarik masuk ke dalam atmosfir ganjil dan dipenuhi momen awkward itu, membuatmu sadar bahwa pertemuan yang akan berlangsung punya sensitifitas yang sangat tinggi.


Lewat Judy pula ledakan awal muncul pada momen ketika Jay dan Gail tiba di tempat pertemuan, tapi sebelumnya Fran Kranz menambah asupan kayu di dalam bara api melalui permintaan Gail untuk tidak langsung tiba dan mencoba menenangkan diri terlebih dahulu. Saya sangat suka cara Fran Kranz membangun cerita, konvensional memang namun bekerja dengan baik berkat kemampuannya dalam menata runtutan cerita, ia piawai dalam menentukan kapan narasi harus berakselerasi tapi kapan pula progress berkembangnya konflik harus sedikit di rem sejenak. Sedikit menurunkan kecepatan untuk mengeksploitasi emosi yang sebenarnya hadir dari sebuah masalah sederhana namun secara konsisten sejak awal hingga akhir terus menunjukkan pada penonton ada awan hitam yang eksis di atas kepala empat karakter utamanya.

Kisah semacam ini sangat mudah untuk jatuh menjadi sebuah dramatisasi repetitif yang berputar-putar dan seolah berjalan di tempat saja, namun Mass berbeda. Bermain sepenuhnya di dalam satu ruangan Fran Kranz membentuk dan memoles cerita agar di saat satu konflik tampak telah usai tugasnya maka telah menunggu konflik lain untuk meneruskan guliran pengisahan. Cakupan masalah memang tidak luas namun tidak menghalangi Fran Kranz untuk membuat diskusi dua keluarga itu terasa penuh “warna” yang menarik untuk diamati dan diikuti, ruangan itu perlahan mulai terasa seperti berada di atas sebuah kapal yang sedang berlabuh dan menurunkan jangkar tapi kemudian diterpa angin dan ombak kencang akibat cuaca buruk hingga badai, kapal itu terombang-ambing tapi tidak lepas dari sandarannya.


Begitulah ‘Mass’ karena kamu akan dibawa untuk bertemu dengan berbagai macam “gesekan” yang tidak dapat dipungkiri memang terasa wajar akan muncul di dalam sebuah pertemuan dengan kasus seperti itu. Ucapan Kendra di awal yang berharap kedua pihak akan pulang dengan hasil yang positif seolah menjadi alarm bagi para karakter terhadap tujuan utama diskusi itu dilaksanakan, meski pertarungan emosi tetap tidak dapat dihindari kehadirannya dalam drama yang plays almost exclusively in one room ini. Tidak mudah memang dan ‘Mass’ jelas segmented, melihat karakter saling adu argument dalam kondisi waspada karena tiap kata maupun kalimat yang mereka lontarkan punya potensi besar untuk memicu ledakan. Tarik ulur diplomatis menjadi jalan, tentu ditemani raungan emosi dan tangisan.

Ada artikulasi yang menyenangkan diikuti di sini, four people sit at a table and talk to each other menjadi fokus utama tanpa ditemani flashback bahkan detail anak para orangtua tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi di tragedi utama diurai secara pelan dan rapi, yang awalnya tampak sederhana berkembang menjadi semakin rumit dan dipakai oleh Fran Kranz untuk mempermainkan simpati dan empati penontonnya. Jelas ada yang salah dan benar tapi batasannya terasa blur, no further explanation and makes everything is an agonizing possibility. Ya, rasa sakit jelas diekploitasi di dalam ruangan dan penonton “diikat” ke dalam ketegangan yang menjaga perhatian dengan dinamika yang intens di dalam narasi serta ritme dialog tiap kali konflik baru muncul membawa kemarahan, keputusasaan dan kesedihan fills every moment.


Harus diakui di babak akhir ‘Mass’ sedikit kewalahan saat bergerak menuju garis finish, sesuatu yang memang merupakan tantangan terbesar lain bagi Fran Kranz dan ia menyajikan itu dengan baik, appropriate ending yang berhasil membungkus dramatisasi di mana anger and accusation play with lovely intensity, do justice tidak hanya terhadap cerita saja tapi juga kinerja akting para aktor, salah satu ensemble cast terbaik berisikan pertunjukan akting yang memikat. Ann Dowd dan Jason Isaacs memang sedikit berada di depan namun kualitas performa dari Martha Plimpton dan Reed Birney tidak jauh di belakang mereka, saling bahu dalam memainkan masalah serta membentuk rasa simpati dan empati untuk mempermainkan emosi penonton, the emotional power develops really well and seriously carries it away.

Overall, ‘Mass adalah film yang sangat memuaskan. Jelas bukanlah sebuah film yang diperuntukkan untuk semua orang, namun tentu saja akan memuaskan penonton yang memang menjadi target sejak awal dari dramatisasi yang dibentuk oleh Fran Kranz dan ditampilkan dengan cantik pula oleh para aktor. Memakai sebuah tragedi yang dikemas agar tampak misterius di awal, Fran Kranz menarikmu dan mengikat atensi serta rasa ingin tahu kamu terhadap apa yang telah dan akan terjadi di antara empat karakter utama, menggunakan topik yang kompleks dalam dramaturgy filled with clarity dan mempersilahkan karakternya masuk ke dalam proses pengampunan yang tidak mudah untuk dilakukan, menampilkan dampak destruktif kekerasan dan rintangan moral bagi para korban. Semua dibungkus dengan emosi yang menular. Segmented.






1 comment :