14 November 2021

Movie Review: Titane (2021)

“I don’t care who you are. You’re my son.”

Mungkin suatu saat nanti akan hadir robot yang diciptakan memiliki kemampuan untuk menghasilkan sperma, tapi untuk saat ini mengatakan bahwa seorang wanita hamil karena telah dibuahi oleh benda mati seperti mesin merupakan sesuatu yang terasa sangat mustahil, cenderung gila. Tahun 2012 yang lalu sebuah film berjudul Electrick Children sudah mencoba bermain dengan ide gila itu, karakter utamanya dikatakan hamil setelah mendengarkan sebuah lagu rock dari kaset, menuduh lagu yang berasal dari kaset tersebut telah membuahi rahimnya. Di sini ceritanya serupa tapi tak sama, ada seorang wanita yang merasa janin di dalam perutnya adalah hasil hubungan seksual yang ia lakukan dengan sebuah mobil. Sure, sex in the car, but sex with a car? ‘Titane’ : a crazy body horror, stranger things happen here.


Kecelakaan mobil ketika masih kecil membuat Alexia (Agathe Rousselle) memiliki pelat metal terpasang di bagian kanan kepalanya, pelat titanium yang menutup area tengkorak kepalanya yang mengalami cedera parah. Metal tersebut tidak berbahaya tapi sejak melangkah keluar dari rumah sakit untuk pulang Alexia menunjukkan kelainan yang unik, ia seperti ingin memeluk erat mobil keluarga mereka. Beranjak dewasa Alexia kini hidup tanpa batasan yang menekannya, cara makannya yang tak rapi juga tidak jadi masalah bagi sang Ayah (Bertrand Bonello) dan Ibunya (Céline Carrère). Tapi kini Alexia merasa semakin tertarik dengan benda berbahan logam.

Kebiasaan yang ternyata berbahaya karena pada titik tertentu secara bersamaan juga muncul hasrat di dalam diri Alexia untuk membunuh, hal aneh yang menemani isu lain pada kegemarannya untuk menciptakan situasi hubungan seksual dengan benda mati, yakni mobil. Suatu hari Alexia melakukan sebuah aksi kriminal yang membuat wanita yang bekerja sebagai gadis panggung seksi di pameran mobil itu melarikan diri. Ia memutuskan untuk berubah menjadi Adrien, seorang pria yang dinyatakan telah hilang beberapa tahun. Alexia disambut hangat oleh Vincent (Vincent Lindon) yang lantas memaksa Alexia berjuang untuk “menyembunyikan” identitasnya.

Menaruh body horror sebagai jualan utamanya tentu saja sesuatu yang wajar jika para penonton kemudian mengantisipasi kemunculan hantu atau hal-hal horor lain dari film terbaru Sutradara film ‘Raw’ ini, juga memegang kendali penuh pada script di sini Julia Ducournau dengan leluasa membangun sebuah “dunia aneh” yang jadi semacam arena baginya untuk bercerita tentang berbagai hal. Premis bahwa seorang wanita merasa dirinya hamil karena berhubungan seksual dengan mobil itu telah lebih dari cukup untuk membuat penonton langsung mengernyitkan dahi di bagian awal perkenalan, karena itu sebuah fantasi yang memang aneh, unless Virgin Mary, kita tahu bahwa semua wanita “normal” membutuhkan sperma untuk dapat hamil.


Konflik pertama itu yang kemudian membuat penonton mencoba “mengatur” posisi mereka terhadap perwakilan negara Perancis di kategori Best International Feature Film pada the 94th Academy Awards mendatang ini, oke Julia Ducournau memulai semuanya dengan aneh maka saya bersiap untuk bertemu dengan kejutan lain yang mungkin akan tiba. Tapi selain sukses membuat saya mengantisipasi kejutan yang berasal dari elemen horor Julia Ducournau juga membuat rasa penasaran dan ingin tahu saya perlahan terus naik lewat presentasi yang aneh itu. Dramaturgi bermain dengan baik dan memegang peran penting di Titane, konsep yang jelas mendorong penonton untuk terus bermain dengan asumsi dan esensi yang terkandung di balik gejolak batin yang sedang dihadapi oleh beberapa karakter.

Nah, ini yang menarik, hal yang saya rasa juga akan mendominasi isi pikiran para penonton saat dan setelah menonton film ini: apa sebenarnya yang Julia Ducournau coba sampaikan di sini? Pendekatannya memang oke di mana perubahan tubuh yang dialami oleh Alexia bisa diumpamakan sebagai simbol pencarian identitas, bertumpu pada hubungan antara Adrien dan Vincent kita juga bisa melihat isu terkait keluarga yang coba didorong Ducournau. Menempatkanmu dalam posisi merasa asing dengan cerita dan karakter yang lantas dibumbui berbagai adegan aneh cenderung brutal, di sini dalam lingkup global isu dan pesan yang coba disajikan dapat terlihat dengan mudah, tapi sayangnya berangkat dari ide yang menarik tidak seperti film “Raw” di sini motif yang ditampilkan terasa absurd dan setengah hati pengemasannya.


Bagaimana Alexia berulang kali mencoba “melawan” rasa sakit yang dihasilkan oleh perubahan pada tubuhnya, serta mencoba menyembunyikannya dari orang sekitar merupakan penggambaran bahwa musuh terbesar yang dimiliki tiap orang berasal dari “tubuh” mereka sendiri. Ducournau memang sukses memprovokasi penonton di bagian awal, transformasi radikal di tubuh Alexia juga menjadi representasi bagi niat yang dibawa Ducournau tentang isu identitas tadi, ia ciptakan tension yang oke ditemani beberapa black humor yang tidak buruk. Sayangnya di karya terbaru yang sukses menjadikannya wanita keempat setelah Jane CampionAdèle Exarchopoulos dan Léa Seydoux yang berhasil meraih Palme d'Or di Cannes Film Festival, Julia Ducournau justru tampak enggan menyajikan statement yang kuat dan jelas.

Gejolak batin dan emosi yang dialami Alexia sebenarnya merupakan manifestasi dari tiap manusia yang juga kerap mencari jawaban atas perannya di dalam kehidupan di tengah manusia-manusia yang in fact, are not as clear as we would think. Memakai gambar sebagai salah satu senjata utamanya, Ducournau juga membentuk elemen teknis seperti kamera, coloring, serta soundtrack tampak meyakinkan, tapi tampak enggan menampilkan isu dan pesan lebih lantang. Seandainya eksposisi cerita lebih dipoles menjadi lebih “jelas” mungkin apa yang coba dijual oleh Ducournau dapat menjadi perpaduan drama, fantasi, dan horor yang memuaskan banyak penonton, seperti Parasitemisal yang tetap mampu membangun koneksi antara cerita dengan realita kehidupan nyata meski menuntut adanya interpretasi lebih dari penonton.


Mungkin interpretasi saya kurang jauh tapi setelah berputar-putar saya merasakan koneksi yang kurang kuat dengan apa yang hendak disampaikan Ducournau, mereka eksis tapi punch terasa lemah, terlebih setelah tampil liar di paruh pertama narasi jadi lebih tenang di paruh kedua, kehilangan intensitas dan tidak berhasil mengunci atensi saya. Yang tersisa adalah campuran thriller horor dan komedi tragis di mana orang yang menonton tidak dapat sepenuhnya yakin apa spotlight serta maksud terkuat dari adegan yang ditampilkan. Daya tariknya naik turun meski memiliki beberapa hal yang memorable, seperti bekas luka di telinga, broken nose, tubuh Alexia hingga otot kurang natural milik karakter Vincent yang pesonanya terasa standar di tangani oleh Vincent Lindon. Agathe Rousselle oke di paruh pertama.

Overall, ‘Titane adalah film yang cukup memuaskan. Motif absurd yang disajikan di awal jelas menjadi hal paling exciting dari film ini, ide Ducournau yang tidak biasa juga sukses mengimpresi penonton di paruh pertama dengan berbagai kejutan yang harus diakui terasa memorable. Sayangnya unusual ideas tersebut tadi tidak pernah berhasil bersatu menjadi satu kesatuan yang terasa kokoh dan padat, something convincing as a whole dan tidak hanya sebatas bermain dengan horror, satire, hingga tentang life and change tanpa enggan menghadirkan “pukulan” yang kuat, punch yang saya rasa dapat membantu narasi mengunci atensi penonton hingga akhir dan tidak jatuh menjadi tampak konyol akibat kehilangan intensitas di paruh kedua. A bit hollow. Segmented.





1 comment :