14 November 2021

Movie Review: I'm Your Man (2021)

“Tom is programmed to fulfill my needs.”

Mayoritas orang berharap pasangan hidupnya akan sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Ya, itu sebenarnya semakin mudah untuk terjadi saat ini, manusia semakin dimudahkan untuk “menemukan” sosok yang ingin dipilih sebagai pasangan hidup berkat sosial media dan online dating platforms di mana kamu dapat menentukan kriteria tertentu yang harus sesuai dan juga terpenuhi oleh calon pasanganmu tersebut, mencoba menemukan pasangan yang “tepat” dan telah diperhitungkan menggunakan algoritma. Bagaimana jika pasangan paling tepat dapat “diciptakan” oleh teknologi penuh rumus agar sesuai dengan keinginan kamu? Sebuah ide cerita yang menarik dan dikembangkan menjadi sebuah sci-fi romance manis oleh film dari Jerman ini. I'm Your Man’ : a charming and thought-provoking screwball comedy.


Arkeolog Dr. Alma Felser (Maren Eggert) mungkin tidak pernah menyangka bahwa kesediaannya untuk membantu sebuah perusahaan teknologi mengulas produk ciptaan mereka akan membawanya ke dalam sebuah situasi sulit. Momen ketika dia disambut oleh the Employee (Sandra Hüller) ternyata menjadi pintu masuk bagi satu perubahan besar di dalam hidup Alma, momen ketika ia bertemu dengan sosok yang akan ia ulas, Tom (Dan Stevens). Alma memberikan beberapa pertanyaan pada Tom dan berhasil dijawab dengan baik dan benar oleh pria berwajah tampan yang punya senyuman hangat itu. Tapi sayangnya ketika mencoba mengajak Alma untuk dansa mendadak Tom mengalami error dan harus dibawa keluar dari dance club.

Tom merupakan satu dari sepuluh buah robot yang akan diulas oleh sepuluh orang berbeda, ia telah dirancang agar sesuai dengan kriteria pria ideal dari Alma dan akan menjalani hidup bersama selama tiga minggu. Impresi awal Alma pada Tom kurang positif, hanya beberapa hari berselang Alma bahkan berkata ia siap untuk memberi hasil evaluasinya terhadap Tom. Tapi Alma diingatkan oleh Dean Roger (Falilou Seck) yang merupakan kepala departemen di Pergamon Museum bahwa masukan dari para akan berperan penting terhadap pengambilan keputusan penting, apakah para robot layak diberikan hak asasi manusia. Ternyata benar bahwa impresi awal Alma pada Tom tidak sepenuhnya tepat, Tom ternyata manusia ciptaan manusia.

Sutradara Maria Schrader yang filmnya Stefan Zweig: Farewell to Europe pernah dipilih Austria sebagai perwakilan ke ajang Oscars merupakan sosok yang tahun lalu sukses mencuri atensi luas lewat seriously good Netflix’s seriesUnorthodox’, sukses meraih empat nominasi Primetime Emmy Award dan Maria Schrader diganjar hadiah utama di kategori Outstanding Directing for a Limited Series’. Di film terbaru yang ia tulis bersama Jan Schomburg ini Maria Schrader mencoba mendorong kepada penonton berbagai isu dan pertanyaan yang sebenarnya sederhana namun kerap kali berhasil menciptakan kerumitan yang dapat membingungkan, yakni cinta. Pencarian pasangan hidup merupakan salah satu topik yang selalu menarik untuk diulik, tentu dengan berbagai macam subjektifitas dan objektifitas yang bertarung dengan logika.


Konsep yang dicoba ditawarkan oleh Maria Schrader sebagai media di mana ia akan berbicara tentang banyak hal menarik adalah sesuatu yang jujur saja tidak akan sulit untuk menarik perhatian penonton. Menjalin hubungan asmara dengan robot tentu merupakan sesuatu yang terasa di luar akal sehat saat ini namun bukankah potensi itu akan terjadi di masa depan kini terlihat berkembang menjadi sesuatu yang terasa menjanjikan? Sesuatu yang dulu tampak mustahil tapi kini terasa mungkin terjadi. Latar belakang masalahnya sendiri dikemas dengan sangat baik oleh Maria Schrader bersama Jan Schomburg, lewat sebuah upaya memperoleh input para ahli terhadap kinerja robot yang telah diatur sedemikian rupa untuk membahagiakan mereka.

Berangkat dari sana semua dikemas secara cepat dan lugas oleh Maria Schrader. Ada momen di mana Alma dan Tom mencoba menciptakan koneksi awal lengkap dengan tekanan pada proses penelitian yang juga sedang dilakukan oleh Alma bersama tim, lantas analisa yang dilakukan Tom serta upaya Tom mulai mencoba “menciptakan” masa lalu ketika berbincang dengan rekan atau keluarga Alma, demi menciptakan diskusi yang menyenangkan. Tom sukses mencuri hati saya, cara bersikap fleksibel dan menyesuaikan diri agar membuat Alma bahagia terasa manis dan terkadang lucu membuat pesona Tom terasa cantik, sedangkan di sisi lain Alma mungkin menjadi semacam penggambaran dari seorang wanita yang awalnya ragu tapi perlahan mulai merasa nyaman dengan treatment manis yang ia dapat dari lawan jenisnya, terdapat gejolak batin sederhana di dalam dirinya.


Terkadang momen canggung pada interaksi antara dua karakter utamanya dipakai oleh Maria Schrader untuk mendorong beberapa dry humor yang segmented. Style komedi yang digunakan cenderung screwball tapi tidak digedor karena meski kerap berada di kelas lucu dan membuat saya tertawa tapi ada upaya dari Maria Schrader untuk tidak merusak elemen lain dari cerita dengan komedi yang overload, looking for the perfect partner process. Eksposisi I'm Your Man memang terasa ringan dan santai tapi perwakilan Jerman di kategori Best International Feature Film pada 94th Academy Awards mendatang ini punya beberapa isu dan pesan yang menarik serta berhasil dikemas cantik, bagaimana tiap orang tentu memiliki kriteria tertentu saat memilih pasangan hidup sehingga kerap menggerus makna cinta itu sendiri yang di sini ditampilkan sebagai sesuatu yang dapat dikalkulasikan menggunakan algoritma.

Apakah romantisme merupakan hasil dari ilmu eksakta? Di sini Tom diciptakan oleh berbagai macam rumus agar sesuai dengan kriteria Alma dan dapat diandalkan, tapi mengapa perjalanan kisah mereka tidak berjalan mulus? Beberapa pertanyaan lain juga muncul ke permukaan, salah satunya adalah seberapa besar sebenarnya peran dan kemampuan artificial intelligence pada kehidupan manusia? Ex Machina pernah mencoba mendorong isu dengan sangat baik yang coba dilakukan pula oleh Maria Schrader, membentuk ide yang mungkin masih tampak unrealistic menjadi arena bagi social comments penuh visi terhadap potensi masa depan yang menarik, namun dengan pendekatan rom-com yang ringan. Konvensional malah, Maria Schrader terus menjunjung nilai hiburan serta menjadikan isu dan pesan sebagai pemanis.


Maria Schrader sebenarnya mampu, di ‘Unorthodox’ ia punya ruang luas dan sukses mengeksploitasi secara cantik sebuah cerita tentang hidup, hal yang bisa ia lakukan di sini, tapi membatasi sejauh mana eksplorasi merupakan sebuah keputusan yang sangat tepat. Tidak ada dramatisasi berlebihan, semacam dorongan ekstra itu tidak dibutuhkan di sini yang justru terus bertumpu pada interaksi antara present and future, menyajikan berbagai hal menarik untuk satu per satu menjawab pertanyaan yang telah muncul. Maren Eggert adalah wanita normal dan rasa ragu yang muncul di dalam dirinya juga normal, sedangkan Dan Stevens adalah robot sempurna yang dengan mudahnya membuat penonton jatuh hati padanya, interaksi mereka bekerja dengan sempurna dan perlahan terus memoles sisi indah dari cinta itu sendiri.

Overall, 'I'm Your Man (Ich bin dein Mensch)' adalah film yang memuaskan. Tentunya kita belum tahu apa human-like partner berbentuk robot adalah ide yang oke untuk menjadi pasangan hidup bagi manusia normal, namun di sini dengan menggunakan artificial intelligence Sutradara Maria Schrader berhasil berbicara tentang hakikat cinta lebih baik dari kebanyakan rom-com dengan dua karakter utama manusia, dia kemas secara ringan dan santai but cleverly touching the issues and messages terkait cinta, tidak digali terlalu dalam tapi justru membuat hasil akhir punya kesan manis yang terasa sangat kuat, sebuah science fiction romance dengan sentuhan screwball comedy yang menstimulasi interpretasi penonton terhadap cinta bersama romansa yang cute dan penuh tawa sederhana. One of the most charming rom-com in recent times.






2 comments :

  1. "Don't humans say: "love knows no bounds"?"

    ReplyDelete
  2. terimakasih masih terus setia menulis review film2 bagus

    ReplyDelete