26 March 2015

Review: The Cobbler (2015)

 

"Leave your life in someone else's shoes.”

Mungkin teka-teki apakah Adam Sandler masih punya starpower sekarang sama menariknya dengan misteri apakah segitiga Bermuda benar-benar punya kekuatan magis, bahkan jika harus dibandingkan dengan pertanyaan apakah alien itu ada? Alasannya adalah karena Adam Sandler seperti perahu yang terombang-ambing di lautan lepas dan terus berhadapan dengan terjangan ombak besar tapi anehnya ia masih tetap bisa berlayar. Hal pertama yang terlintas setiap kali hendak menyaksikan film terbarunya (termasuk The Cobbler) adalah apakah film tersebut mampu membawa Adam Sandler keluar filmography monoton miliknya yang semakin lesu dalam hal kualitas? Impresi awal yang sangat menyedihkan.

Pria bernama Max Simkin (Adam Sandler) punya kehidupan yang pahit. Hanya seorang tukang cukur bernama Jimmy (Steve Buscemi) yang menjadi teman baiknya karena selain itu Max harus mengurus ibunya dan mengelola took sepatu yang diwariskan oleh sang ayah yang menghilang dari kehidupannya. Suatu ketika berawal dari sepatu preman local bernama Ludlow (Method Man) Max bertemu dengan sebuah keberuntungan ketika mesin miliknya rusak yang memaksanya menggunakan mesin tua milik ayahnya. Max mencoba sepatu Ludlow yang telah ia perbaiki namun secara mengejutkan ia “berubah” menjadi Ludlow. 



Tidak perlu menjadi penonton yang super cerdas sebenarnya untuk menilai bahwa sinopsis yang dimiliki oleh The Cobbler sesungguhnya sangat sangat potensial. Dari awalnya yang tampak sederhana itu kekuatan magic yang cerita miliki The Cobbler pada dasarnya bisa dikembangkan ke banyak arah, saya bahkan ketika membaca premis awalnya mulai membentuk imajinasi saya sendiri bagaimana jika hal tersebut terjadi pada saya. Tapi sayangnya keuntungan tersebut bukan hanya kurang mampu tapi tidak mampu di gunakan dengan baik oleh Thomas McCarthy disini. Ia tampak sadar bahwa cerita yang juga ia tulis sendiri itu punya power untuk membawa penonton berimajinasi sehingga ia mencoba menerapkan kesan misterius pada eksekusi yang ia berikan, tapi celakanya kuantitasnya berlebihan.



The Cobbler dimulai dengan baik tapi ia tidak mampu menjaga rasa tertarik penonton padanya. Ini bisa saja menarik andaikan Thomas McCarthy mau menggunakan template standard seorang Adam Sandler, tapi disini ia juga punya ambisi yang berbeda. The Cobbler seperti ingin dibuat lebih gelap dan lebih thoughtful, dan disini yang terasa konyol karena ia tidka punya dasar yang kuat untuk menjadi drama comedy seperti itu. Menentukan identitas utamanya saja The Cobbler seperti bingung, terus mencoba agar tampak seperti drama yang sedikit serius membuat komedi konyol penuh kejenakaan ciri khas Adam Sandler juga tampil setengah hati, dan itu gawat karena jika tampil sepenuh hati saja hal tersebut belum tentu bisa tampil lucu dan menghibur. Ya, momentum, The Cobbler terlalu lambat menentukan ingin menjadi apa, dari premis yang cantik itu berubah total menjadi bencana.



Iya, bencana, awalnya ini berjalan menarik tapi ternyata ia tidak mampu membangun sebuah fantasi yang menarik. Salah satu kelemahan The Cobbler adalah ia tidak mampu membuat penonton klik dengan maksud dari apa yang ia tampilkan yang sejak awal sudah membawa kesan ambigu dengan pilihan manis atau kombinasi pahit, asin, dan asam. Berantakan, The Cobbler pada akhirnya berisikan hal-hal menggelikan yang bukan tidak mungkin beberapa dari mereka akan membuat kamu merasa jijik meskipun pada dasarnya ia punya tujuan lain dibalik hal tersebut. Bukan hanya ceroboh dalam bercerita tapi alur sendiri terasa sangat longgar seperti tidak ada sesuatu yang menarik yang menanti kita di akhir cerita, terasa sangat lesu, sama seperti penampilan Adam Sandler.



Saya rasa tidak perlu membahas penampilan Adam Sandler secara panjang lebar, cukup dengan mengatakan bahwa ia masih belum berubah dari Adam Sandler yang kita kenal beberapa tahun terakhir. Jika ini lebih spesifik mungkin kamu bisa lihat beberapa gambar yang saya gunakan didalam review ini. Ya, masih terus mencoba patut di apresiasi tapi celakanya usaha tersebut tidak ia sertai dengan usaha lain, mencoba berubah dari formula yang telah usang. Kekecewaan Adam Sandler pada film ini mungkin tidak besar, tapi bagi Thomas McCarthy yang merupakan sosok dibalik film-film menarik seperti The Station Agent, The Visitor, Up, dan Win Win, ini adalah sebuah kekecewaan besar. Ia tidak mampu membawa Adam Sandler keluar dari zona nyamannya, ia yang justru masuk dan terjebak didalam “zona nyaman” milik Adam Sandler.








1 comment :

  1. Oh, iya ya. Baru nyadar film Adam Sadler itu cenderung monoton tema dab perannya

    ReplyDelete