21 August 2021

Movie Review: Vivo (2021)

“Love's gonna pick you up, and never put you downs.”

Well, seperti yang sempat saya singgung di review ‘Wish Dragon’ yang lalu di mana studio animasi Sony Pictures Animation tahun ini mendorong ke hadapan penonton tiga buah film animasi yang ketiganya tampak menjanjikan sejak trailer-nya rilis. Di bulan april kemarin ada ‘The Mitchells vs. the Machines’ lalu kemudian disusul oleh dua vaksin kebahagian dari China bernama Din dan Long lantas berakhir di film ini, sebuah musikal yang kembali digawangi Lin-Manuel Miranda, sosok yang sejak film ‘Moana’ semakin mendominasi dunia perfilman sebagai composer. Ceritanya sendiri klasik, tentang kasih sayang dan harapan. ‘Vivo’ : animation with proper planning prevents poor performance.


Pria lanjut usia bernama Andrés Hernández (Juan de Marcos González) merupakan sosok yang terkenal di plaza kota Havana, Kuba, berkat pertunjukan musik yang ia tampilkan bersama seekor kinkajou bernama Vivo (Lin-Manuel Miranda). Memainkan musik bersama seolah menjadi koneksi yang menghubungkan keduanya, tidak heran Vivo begitu berambisi untuk mewujudkan salah satu keinginan Andrés. Suatu hari Andrés mendapat surat dari Marta Sandoval (Gloria Estefan), penyanyi wanita teman lama Andrés yang akan melangsungkan konser perpisahannya di Miami, Florida.

Andrés punya satu keinginan, menyatakan perasaannya kepada Marta yang selama ini ia pendam, lewat sebuah lagu yang telah ia tulis. Celakanya Andrés tidak punya kesempatan lebih yang membuat Vivo mencoba untuk mewujudkan keinginan dari Andrés tersebut. Vivo, seekor kinkajou, memutuskan untuk meninggalkan Havana dan menuju Miami melalui koper milik Gabi (Ynairaly Simo), anak perempuan dari keponakan Andrés yang bernama Rosa (Zoe Saldana). Meksipun selera musik mereka berbeda Gabi memutuskan untuk membantu Vivo mewujudkan keinginan Andrés.

Film ini dibuka dengan tidak begitu kuat, meskipun langsung membawa karakter Vivo dan Andres bernyanyi gembira sendiri merupakan cara yang sangat efektif agar penonton langsung mengerti latar belakang mereka. Lantas dari situ narasi langsung membawa kamu melihat sebuah mimpi dan harapan yang dimiliki karakter Andres dan kemudian menjadi konflik utama cerita. Saya menaruh harap yang cukup tinggi di bagian ini karena sorotan begitu tajam terhadap kecintaan karakter pada musik yang ia mainkan. Sebelum pada akhirnya sebuah kejutan tiba dan membuat haluan cerita jadi berubah, meski tidak frontal tapi menggerus pesona musik itu sendiri.


Sebuah petualangan berisikan karakter yang mencoba menwujudkan mimpi, apalagi jika dikemas dalam bentuk sebuah misi tentu memiliki potensi yang besar, sesuatu yang digunakan dengan baik oleh Kirk DeMicco (The Croodsbersama Co-Director Brandon Jeffords. Dari Havana menuju Miami, rintangan datang silih berganti demi sebuah misi yang mungkin tampak sederhana tapi jika melibatkan emosi sebenarnya dapat menjadi sesuatu yang penuh makna. Ya, dapat menjadi, karena faktanya di sini hal tersebut justru terasa kurang nendang dan kurang kuat, punch dan impact yang ia hasilkan terasa terlalu normal, seolah mewakili kualitas petualangan itu sendiri.

Sony Pictures Animation memang tidak memberi “ledakan” di sektor visual seperti yang mereka sajikan di ‘The Mitchells vs. the Machines’ atau bahkan ‘Spider-Man: Into the Spider-Verse’, ini bermain seperti ‘Wish Dragon’ meskipun memang dari segi warna terasa lebih kontras and deep. Kualitasnya jauh dari kata buruk, terasa manis dan berhasil menyampaikan energi yang ingin disampaikan, tapi terasa kurang kuat untuk menutupi script yang kualitasnya terasa stagnan. Dari kejutan di awal harapan saya akan hadir petualangan dengan emosi yang mumpuni di dalamnya, karena hey ini tentang cinta yang sudah terbang dan gagal mendarat, dan kini coba diterbangkan lagi oleh pihak ketiga. The song written by Andrés is a symbol of a great love.


Tweak memang hadir dengan cara yang cukup manis tapi memiliki punch minim, ini seperti kekurangan satu percikan bumbu penyedap agar rasa yang telah ia ciptakan berhasil terasa lekat dan kuat. Adegan lucu banyak, bersama dengan Quiara Alegría Hudes di sini Kirk DeMicco memberi cukup banyak ruang agar funny scenes hadir dan mewarnai petualangan itu. Mereka berhasil menghibur, terlebih ketika berpadu dengan lagu-lagu yang ditangani oleh Lin-Manuel Miranda, mereka klik dengan baik bersama narasi dan membuatnya berjalan penuh energi dan mood cathy serta terasa meriah. Sayangnya lagu-lagu itu tidak mampu menjadi highlights di sini.

Padahal batu pertama film ini terbentuk berawal ketika DreamWorks Animation kala itu mendekati Lin-Manuel Miranda setelah kesuksesan yang diraih stage musical ‘In the Heights’ tapi sayangnya elemen musical justru terasa kurang magis. Disayangkan juga bagaimana topik musik yang seharusnya menjadi sarana penghubung justru tidak dipoles lebih lanjut dan terkesan diabaikan, ending-nya terasa seperti selesai dan sudah saja begitu. Sentuhan akhirnya memang oke namun tetap tidak memberi punch yang kuat, seperti mewakili bagaimana eksekusi Kirk DeMicco dan tim yang sejak awal bermain aman, ditata secara proper sehingga dapat terhindar dari kinerja dengan kualitas yang buruk. In the end, it’s just an adventure like many others.


Sebuah petualangan menyenangkan yang sayangnya terasa terlalu normal akibat script team yang kurang mampu “mewarnai” cerita, menciptakan runtutan konflik di mana something meaningful yang dibawa sejak awal dapat terus terasa mencolok eksistensinya di babak kedua. Bukannya justru mengisinya dengan gimmick yang hanya sebatas visually appealing saja. Kata normal juga hadir di sektor pengisi suara, suara Lin-Manuel Miranda terasa oke sedang Ynairaly Simo sukses menyuntikkan energi menyenangkan ke dalam karakter Gabi. Yang kurang oke justru suara dari karakter the Sand Dollars, terasa kurang klik untuk anak usia remaja sama seperti peran karakter mereka terhadap cerita.

Overall, ‘Vivo’ adalah film yang cukup memuaskan. Kirk DeMicco bersama dengan tim-nya menyajikan sebuah hiburan yang jauh dari kata buruk, visual yang terhitung oke sementara ceritanya sendiri berhasil mendarat dengan baik setelah terbang ke sana dan kemari. Sayangnya elemen musical yang diusung tidak standout begitupula dengan terkait fokus musik yang menjadi perantara cinta, mereka dapat dinikmati namun terasa disposable dalam sebuah petualangan generik yang kurang berhasil menyajikan the big highlight secara lebih memikat. Proper planning prevents poor performance, indeed.






1 comment :

  1. "Unbreakable bonds. That's what we got. Family takes care of family, right?"

    ReplyDelete