09 May 2021

Movie Review: The Mitchells vs. the Machines (2021)

“Families can be hard, but they're so worth fighting for.”

Film animasi terbaru Netflix ini merupakan sebuah kemasan campur aduk beragam jenis isu, konflik, hingga pesan, yang ibarat bubur ayam dibumbui dengan merata sehingga ketika tiap bahan dimakan bersama satu sama lain (tidak diaduk, sorry) maka terasa sedap di lidah. Menggunakan petualangan sebuah keluarga yang dengan bangga menyebut diri mereka sebagai “worst family of all time” film ini menyajikan pengisahan tentang teknologi, kekuasaan, pubertas, coming-of-age, serta tentu saja jantung utamanya yakni keluarga, dikemas unik dan mengingatkan pada kesan segar yang dulu pernah dihadirkan oleh The Lego Movie. ‘The Mitchells vs. the Machines’ : a neatly made oddball parade sci-fi comedy.


Katie Mitchell (Abbi Jacobson) merupakan seorang remaja wanita yang eksentrik, ia memiliki mimpi untuk menjadi seorang filmmaker dan tidak heran banyak macam video yang lucu, unik, dan tidak sedikit yang terasa aneh telah Katie produksi. Meski mendapat pertentangan dari sang Ayah, Rick Mitchell (Danny McBride), Katie tidak menyerah untuk mengejar impiannya tersebut dan puncaknya adalah ketika dirinya diterima untuk melanjutkan studi di sebuah sekolah film di California. Ternyata Rick punya rencana lain, ia membatalkan tiket pesawat Katie!

Rick memilih untuk mengantar langsung Katie ke California dengan menggunakan mobil bersama sang Istri Linda (Maya Rudolph) serta anak laki-laki mereka Aaron (Mike Rianda) yang sangat menggemari dinosaur, serta anjing mereka, Monchi. Perjalanan darat itu tampak seperti sebuah family trip normal hingga tiba momen di mana seorang scientist bernama Mark Bowman (Eric Andre) meluncurkan terobosan teknologi terbaru dari personal assistant yang ia ciptakan, PAL (Olivia Colman), di mana dari sebuah aplikasi kini berubah menjadi bentuk sebuah robot. Celakanya rencana itu membawa bencana. 

Salah satu hal paling mengejutkan dari film ini adalah ketika mengetahui bahwa dia punya durasi total selama 109 menit saja, karena dari awal hingga akhir terasa begitu banyak hal yang hadir dan mampu membuat penontonnya merasa seperti membeku tiap kali berbagai “kekonyolan” itu muncul. Di debut penyutradaraannya ini Mike Rianda membuat segala hal bergulir dengan cepat, tidak hanya narasi berisikan isu dan konflik yang dikemas rapi tapi juga berikut dengan berbagai macam kejutan lain sebagai pendampingnya. Hal-hal mengejutkan yang unik dan aneh itu sukses bekerja dengan baik karena kita punya karakter yang keanehannya terasa menawan.


Itu mengapa di awal tadi saya menyebut film ini punya kesamaan dengan The Lego Movie yang rilis juga di bawah komando duet Phil Lord dan Christopher Miller karena pola dan cara bermain yang diterapkan juga terasa identik. Cerita yang ditulis Mike Rianda bersama Jeff Rowe itu menghasilkan struktur cerita yang sebenarnya simple tapi mampu diolah oleh Mike Rianda agar tampak seperti sebuah parade kekacauan yang rumit. Kegaduhan sendiri berasal dari error teknologi yang merupakan sebuah sentilan manis terhadap ambisi manusia menciptakan robot untuk “mempermudah” hidup mereka. Itu konflik yang menunggu di titik tengah.

Karena sebelumnya telah terbentuk konflik di dalam that “worst family of all time” dengan berisikan berbagai isu dan pesan yang juga sederhana namun disampaikan secara lugas. “Kekacauan” yang sedang terjadi di dalam keluarga Mitchell ini sangat mudah untuk meraih atensi dan emosi penonton, dari anak yang sedang beranjak dewasa tentu haus akan kebebasan dan dipenuhi rasa ingin tahu serta orang tua ada di sisi lainnya, mereka takut “kehilangan” anak mereka. Bagian ini menjadi jangkar emosi bagi petualangan keluarga Mitchell sebelum bersanding dengan konflik terkait manusia melawan mesin itu, menghasilkan banyak ruang untuk berkreasi bagi Mike.


Satu di antaranya adalah menciptakan berbagai macam momen yang terasa abstrak serta random sebagai kejutan. Mike Rianda adalah Katie, menciptakan parade sketsa komedi dengan pengembangan cerita yang terasa liar tapi cermat. Berbicara cermat saya juga suka dengan timing Mike Rianda dalam menjalin tiap potongan cerita yang punya koneksi halus antar bagian, narasi berkembang dengan halus tapi energinya tetap kuat juga. Cerita sendiri bergerak mondar-mandir dengan cepat tapi satu sama lain berpadu dengan baik, kombinasi mereka terasa padat dan juga dinamis di mana Mike Rianda berhasil menyeimbangkan porsi tiap bagian dengan baik.

Ada teknologi, dark side of power abuse, tantangan pubertas serta dinamika periode coming-of-age, dan tentu kasih sayang yang tersimpan di dalam hubungan keluarga, dengan nafas road trip yang kental hal-hal tadi berhasil ditata dengan baik oleh Mike Rianda. Bukan hanya masalah penempatannya saja tapi juga pesona dari masing-masing mereka sehingga konsisten saling mengisi satu sama lain, menyajikan secara bijak tanpa harus kehilangan kesan fun yang sejak awal langsung melekat di dalam diri masing-masing karakter. Ya, karakter tidak hanya likeable dari segi design saja tapi mereka juga punya nyawa serta situasi yang mampu membuat penonton merasa seperti telah mengenal mereka begitu lama, merasa akrab dengan mereka.


Dampaknya tentu positif karena presentasi yang sesekali tampil out of the box itu tidak hanya menyenangkan secara tampilan visual saja tapi juga punya isi menarik yang sukses berbicara tentang banyak hal dengan baik. Meski memang punch yang dihasilkan tidak semua terasa kuat tapi dengan cara yang stylish berhasil mencapai sasaran dengan tepat. Sama seperti suntikan nyawa dari para pengisi suara, mereka membuat karakter tidak hanya menarik secara invidual saja tapi juga menciptakan chemistry yang terasa geeky and cheeky, Abbi Jacobson oke sebagai Katie begitupula Danny McBride, Maya Rudolph dan Olivia Colman dengan karakter mereka.

Overall, ‘The Mitchells vs. the Machines’ adalah film yang memuaskan. Gerak cepat yang dipenuhi dengan kekonyolan penuh kejutan yang keanehannya sukses tampil menawan, Mike Rianda berhasil menyajikan sebuah parade komedi yang terasa liar, nakal, dan energik dengan menggunakan berbagai isu, pesan, dan konflik sederhana, dikemas dengan cermat sehingga menghasilkan hiburan yang menyenangkan baik dari segi visual serta tentu saja cerita sehingga membentuk kombinasi yang terasa random, ringan, ricuh, dan radiant.






1 comment :