10 October 2021

Movie Review: F9 (2021)

“Be precise in life.”

Saya merupakan salah satu penggemar franchise ini dan menganggap bahwa film ke enam merupakan puncak terbaik mereka, yang tentunya akan terasa manis jika niat closing di film ketujuh yang lalu itu benar-benar terjadi. Tapi sayangnya sejak itu muncul jargon “one last ride” yang lantas menjadi titik awal berkembangnya the Fast & Furious franchise jadi semakin luas dan besar. Secara komersial kesuksesan masih konsisten diraih, film ketujuh bahkan sempat menempati posisi empat dalam daftar film dengan penghasilan kotor tertinggi sepanjang masa, tapi jika berbicara tentang kualitas resep baru justru membuat aksi yang dipimpin Dominic Toretto itu menjadi semakin absurd. F9 : an overstep quasi-superhero blockbuster.


Dominic Toretto (Vin Diesel) ingin menikmati hari-harinya dengan tenang bersama dengan anaknya Brian dan istrinya, Letty Ortiz (Michelle Rodriguez), tapi sayangnya Dom tetap menjadi sosok penting bagi Roman (Tyrese Gibson), Tej (Ludacris) dan Ramsey (Nathalie Emmanuel) meskipun sudah diberitahu bahwa they're not on call anymore. Mereka meminta bantuan Dom mencari sebuah perangkat bernama Ares yang disinyalir berasal dari sebuah hutan di Montequinto, lokasi kepingan pesawat milik Mr. Nobody (Kurt Russell) jatuh setelah berhasil menangkap Cipher (Charlize Theron).

Awalnya Dom bersikukuh untuk tidak ikut terlibat tapi ia berubah pikiran setelah tahu bahwa perangkat bernama Ares itu dapat digunakan untuk meretas sistem yang dikendalikan oleh komputer, di seluruh dunia. Dom juga memiliki tujuan lain, yakni adiknya yang bernama Jakob (John Cena) disebut ikut terlibat dalam perburuan Ares. Jakob bekerja untuk miliarder Otto (Thue Ersted Rasmussen) yang telah berhasil mengurung Cipher di dalam sebuah penjara kaca, bersiap untuk menguasai dunia menggunakan kemampuan meretas cyberterrorist milik musuh Dom tersebut.

‘The Fast & Furious franchise’ dapat dijadikan sebagai salah satu contoh bagi para filmmaker yang ingin mencoba menciptakan sebuah waralaba, bagaimana mereka menerapkan teknik daur ulang materi yang sudah pernah disajikan namun dibumbui dengan sesuatu yang baru untuk memperluas cerita. Dan memperpanjang nafas bagi karakter yang ia punya. Setelah sebelumnya bermain di street racing lalu berpindah menuju heist dengan bumbu spies, kini the Fast & Furious franchise mencoba untuk memoles unsur family yang sudah eksis di film-film sebelumnya di dalam sebuah grup yang terus berkembang semakin besar sembari mencoba menciptakan masalah baru dan menjalin koneksi dengan kisah atau tragedi di masa lalu membuat narasi terasa sibuk.


Penonton masih disajikan aksi balapan yang mencoba memacu adrenalin tapi cerita terlalu terlena dalam membangun cukup banyak konflik di sekitarnya. Alhasil tidak ada kesan mengikat di dalam narasi, terasa loose dan jumpy, loncat ke sana kemari demi mempertahankan atensi dari penontonnya yang disuguhkan berbagai macam konflik dan plot namun tanpa satu pun di antara mereka yang terasa kuat. Termasuk kisah masa lalu antara Dom dan Jakob, awalnya tampak menjanjikan namun akibat pecahnya fokus menjadi beberapa bagian membuat plot itu tidak dipoles secara maksimal. Tidak heran jika ada penonton yang pada akhirnya merasa tidak terlalu peduli dengan pertarungan antara Dom dan Jakob dan justru lebih merasa ingin tahu dengan eksistensi Han yang notabene telah terlebih dahulu mereka kenal. 

Itu kekurangan yang memang tidak sampai terasa mengganggu karena bagaimana bisa mereka sangat mencuri atensi jika di sisi lain Justin Lin terus membuat penonton sibuk dengan build up dari beberapa konflik yang mencoba memberitahu kamu bahwa ada something big will happen dari sana. It's no longer about telling a story tapi bagaimana menciptakan berbagai macam ruang untuk mengakomodasi aksi show-off bagi karakter. Apakah itu salah? Tentu tidak, ditampilkan dengan baik malah, tapi alangkah lebih baik jika aksi yang mayoritas terasa absurd itu dapat dibarengi dengan motif yang kuat. Yang terjadi di sini adalah berbagai macam bahan digabung menjadi satu, beberapa akan terkesan random malah, tapi tinggal kasih oreo saja sebagai penutup, dan enak.


Ya, saya terbuai dengan berbagai macam aksi konyol yang dilakukan oleh karakter, dari gimmick permainan daya magnet yang terhitung oke membuat action sequences jadi menarik hingga tentu saja sesuatu yang lebih gila lagi di luar angkasa itu. Tapi sayangnya eksistensi mereka tidak dibarengi dengan creative motive, takes seriously what is happening yang sebenarnya bisa mendorong kualitas isu tentang keluarga yang coba ia sajikan agar jadi lebih menarik lagi. Yang terjadi justru sebaliknya yakni semacam fan service yang semakin gila dan aneh, tidak lagi sekedar meloncat dari pesawat saja namun justru menantang hukum gravitasi dengan cara mudah.  

Sebenarnya ada fan service yang oke di ‘F9’ ini yaitu kembali munculnya karakter Han Lue tapi ya mungkin memang konsep awalnya membuat semuanya jadi mudah sehingga tidak ada kesan “carefully designed” di balik kembalinya Han, bukan tidak mungkin di dua film terakhir nanti kita bisa bertemu kembali dengan Gisele Yashar yang dulu diperankan oleh Gal Gadot. Alhasil pesona utama ‘F9’ jadi terkesan yang penting buat semua ramai dan semakin heboh, mau mereka saling “tabrakan” biar saja yang penting ramai, padahal cerita sudah mencoba untuk sedikit bergeser ke arah family and solidarity, bukankah akan lebih baik jika kualitas elemen itu dipoles lebih kinclong dan di sisi lain karakter antagonis juga diberikan treatment serupa.


Dipersiapkan, bahkan aktris sekelas Charlize Theron diperlakukan kurang layak sehingga tidak mampu menebar aura menakutkan dari karakternya. John Cena juga demikian, karakternya gagal menjadi ancaman yang kuat bagi Dom yang masih juga diperankan oleh Vin Diesel dengan kinerja akting terbatas dan seadanya. Tentu lucu mengharapkan kinerja akting yang kuat dari film tipe seperti ini tapi dengan cukup banyaknya plot yang harus dicerna oleh penonton (meskipun semuanya tidak berat) dibutuhkan kinerja akting yang dapat meninggalkan punch kuat dalam kesempatan yang singkat. Hal itu absen di film ini, chemistry antar aktor juga jarang dieksplorasi untuk membuat raungan dari elemen action menjadi semakin menarik.

Overall, ‘F9: The Fast Saga adalah film yang kurang memuaskan. Already switching off a bit tapi saya terkejut karena merasa kesulitan untuk dapat menikmati film kesembilan dari the Fast & Furious franchise ini. Mungkin karena satu-satunya hal segar dari film ini adalah kembalinya beberapa karakter lama sedangkan berbagai macam bombastic action yang ia sajikan terasa kurang kuat karena tidak ditunjang dengan motif yang dikemas bersama energi yang mumpuni. Terlalu sibuk, kurang mengikat, jumpy, ‘F9’ tidak lagi tentang one last ride dengan nilai family and solidarity yang menarik tapi kini telah mengubah identitasnya menjadi sebuah show-off arena. With fan service. Things change.







1 comment :

  1. “You've got to make peace with the past if you want hope for the future.”

    ReplyDelete