09 October 2021

Movie Review: There Is No Evil (2020)

“If some of these laws are forced, why can't you say no?”

Pemberian sanksi hukuman mati kepada pelaku kejahatan besar di Iran merupakan tindakan yang legal secara hukum, bahkan salah satu metode yang digunakan adalah eksekusi di depan publik atau warga. Memang tidak mencoba menunjukkan secara detail terkait sanksi hukuman mati tersebut namun film yang kabarnya diproduksi secara rahasia dan kemudian diselundupkan keluar dari Iran ini justru mencoba menelisik luka yang tertinggal dari orang-orang yang dipaksa tunduk dan mengikuti perintah untuk menegakkan hukuman mati tersebut, keputusan yang mereka ambil dan kemudian mempengaruhi kehidupan mereka. ‘There Is No Evil (Satan Doesn't Exist)’ : a good moral tales about inner humanity. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Pria bernama Heshmat (Ehsan Mirhosseini) pulang dari tempat kerjanya dan segera menjemput istri dan anak perempuan mereka, berbelanja lalu berkunjung ke rumah sang Ibu. Mereka pulang ketika hari telah malam, Heshmat memangku sang anak di sebelahnya sang Istri mengemudi, karena tidak lama setelah tiba di rumah sekitar jam tiga pagi Heshmat harus kembali bekerja. Heshmat adalah seorang eksekutor hukuman mati, sama seperti Pouya (Kaveh Ahangar) yang merasa bahwa dirinya tidak siap secara mental untuk menjadi eksekutor, bermodalkan handphone milik rekan kerjanya rutin berkomunikasi dengan kekasihnya.

Lain cerita dengan Javad (Mohammad Valizadegan) yang tiba di sebuah rumah untuk mengunjungi wanita yang ia sayangi, Nana (Mahtab Servati). Javad hendak melamar Nana tapi celakanya suasan berkabung sedang terjadi di dalam keluarga Nana yang baru saja kehilangan sosok pria asing yang mereka telah mereka anggap keluarga. Luka serupa juga dirasakan oleh pria bernama Bahram (Mohammad Seddighimehr) yang tampak cemas ketika keponakannya Darya (Baran Rasoulof) tiba di Iran, wanita muda yang merupakan mahasiswi kedokteran dan memiliki ikatan dengan profesi Bahram dulu sebagai eksekutor.

Awalnya saya merasa aneh dengan teknik bercerita yang diterapkan oleh Sutradara Mohammad Rasoulof di awal, mendorong penonton pada mode mengamati kegiatan Heshmat yang tampak sangat-sangat normal. Seperti tidak ada upaya untuk dengan cepat mengembangkan konflik di sana, kamu benar-benar ditempatkan mengamati Heshmat beraktifitas layaknya pria normal yang berposisi sebagai tulang punggung keluarga, pulang kerja dengan semangat menjemput istri dan anak untuk kemudian menghadapi percekcokan kecil. Termasuk ketika Heshmat disalahkan oleh anaknya karena menjemput Ibunya terlebih dahulu. Semua tampak normal tapi di sana kamu dapat rasakan emosi dari “perjuangan” Heshmat.


Penggambaran kegiatan sehari-hari yang ternyata mencoba menunjukkan perasaan yang dirasakan oleh seorang executor yang mampu menata tekanan dampak dari profesi yang ia miliki. Menekan sebuah tombol dan tugas Heshmat selesai, memang tampak mudah tapi tentu ada gejolak emosi dan moril di sana, tidak heran saat tiba di titik itu saya tersentak kaget karena, sebuah kejutan dalam bentuk ledakan yang sederhana tapi menghasilkan punch sangat kuat. Apalagi ketika setelahnya langsung disambung dengan cerita Pouya yang jelas-jelas menunjukkan kepanikan di dalam dirinya, momentum terjaga dengan baik namun yang menarik komposisinya pas.

Tampil sebagai sebuah anthology film jelas membuat ‘There Is No Evil’ punya tugas yang sedikit berbeda, terbagi dari beberapa potongan cerita sehingga dibutuhkan extra touch agar tiap bagian tidak hanya tampil menarik secara individual saja tapi juga mampu saling “mempengaruhi” kualitas satu sama lain. Mohammad Rasoulof berhasil membuat rasa penasaran saya terus tumbuh di tiap bagian cerita, terutama paska bagian pertama usai dan membuat saya terkejut. Kisah Pouya tidak mencoba menjadi eksplorasi yang terlalu jauh namun secara efektif menyajikan gejolak emosi penuh dengan rasa takut yang mungkin berkecamuk di dalam hati dan pikiran para eksekutor hukuman mati.


Ledakan itu kembali muncul di cerita ketiga, yang ketika bergulir kembali tampak normal namun lewat Javad moral tales tentang kemanusiaan yang sudah terbentuk sejak awal kembali diasah menjadi semakin tajam oleh Mohammad Rasoulof. Fokus terkunci dengan manis pada satu titik yakni gejolak emosi berupa rasa penyesalan akibat aksi yang karakter lakukan, tindakan yang membuat mereka harus menjalani hidup dengan beban moril dan perasaan bersalah, sedangkan excitement bertumbuh dengan baik tiap bagian, dari awalnya tampak sendu hingga berakhir dengan puncak yang oke terutama dalam hal penyampaian isu terkait penyesalan itu sendiri. Variasi yang dibentuk Mohammad Rasoulof sejak script hingga eksekusi terasa subtle.

Itu yang mungkin akan membuat beberapa penonton menyerah sebelum garis akhir, terutama bagi mereka yang menaruh fokus pada hubungan sebab dan akibat yang dialami oleh masing-masing karakter. Namun jika kamu menaruh fokus pada gejolak emosi para karakter yang sederhana namun powerful maka kamu akan merasakan continuity yang manis dari cerita pertama hingga tiba di luka milik Bahram. Sejak kamera menyorot kehidupan Heshmat, Rasoulof terus memupuk dengan baik isu dan pesan, tidak hanya berkutat pada penyesalan eksekutor itu saja namun juga kritik terhadap sistem hukum yang diterapkan oleh pemerintah Iran yang “decides” hukuman mati sebagai jalan legal untuk menindak tegas para pelaku kejahatan.


Memang cukup banyak bagian yang dapat dikemas dalam durasi yang lebih singkat sehingga tidak membuat durasinya jadi 150 menit, tapi itu semacam teknik Rasoulof untuk memberi ruang cukup luas bagi emosi berputar di sana, membuat penonton semakin larut dan penasaran tentunya. Cinematography dan score kualitasnya juga terasa berani, sedangkan editing mampu menjaga narasi bergulir dengan baik meski tidak super dinamis. Yang tidak kalah pentin tentu saja kinerja akting para aktor yang di sini terasa merata, masing-masing pemeran eksekutor berhasil menampilkan konflik batin serta luka dan penyesalan yang mereka hadapi selama ini.

Overall, ‘There Is No Evil (شیطان وجود ندارد‎) adalah film yang memuaskan. Ini salah satu film paling mengejutkan yang saya tonton di tahun ini karena kemampuanya dalam mengubah rasa tertarik saya yang sempat goyah di awal kemudian melambung tinggi secara bertahap hingga akhir. Dikemas secara subtle namun sukses meyajikan isu, pesan dan kritik terhadap sistem hukum di Iran secara tajam, teknik bercerita yang diterapkan Mohammad Rasoulof berhasil membuat film ini menjadi salah satu film antologi paling menyenangkan yang pernah saya tonton lewat kisah moral tentang gejolak batin dan kemanusiaan yang berkecamuk di dalam diri eksekutor hukuman mati di Iran. Segmented.







1 comment :