10 October 2021

Movie Review: The Mad Women's Ball (2021)

“Why is it acceptable to believe in God and not in spirits?”

Ketika mendengar kata “orang gila” kesan pertama yang muncul di dalam pikiran banyak orang tentu saja adalah sosok yang menakutkan, sama halnya ketika ada teman atau keluarga bahkan yang berkata padamu bahwa mental atau jiwa mereka sedang tidak sehat maka lebih mudah memberi respon negatif kepada mereka ketimbang positif. Stigma bahwa orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa atau mental adalah sosok yang berbahaya dan harus dijauhi adalah salah, penilaian yang digunakan oleh film ini untuk berbicara tentang pentingnya edukasi terkait mental health secara luas dan tepat. Konflik yang digunakan sederhana, ada seorang wanita yang menyebut dirinya dapat berbicara dengan orang yang telah meninggal dunia. ‘The Mad Women's Ball’ : uniquely eerie story about mental health. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Eugénie Cléry (Lou de Laâge) merupakan wanita muda di dalam keluarga bangsawan, tidak heran jika salah satu kegemarannya adalah duduk santai membaca novel dan ditemani kopi serta rokok. Tapi celakanya Eugénie memiliki kemampuan “melihat” sosok asing yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, hal yang kerap membuat panik adik laki-lakinya Théophile (Benjamin Voisin). Ekspresi wajah Eugénie akan otomatis berubah tiap kali ia melihat sosok asing tersebut, membuatnya langsung ditelan rasa takut dan terdiam kaku. Sosok asing tersebut ternyata bervariasi dan disebut oleh berbagai peristiwa tersebut tidak pernah ia minta terjadi, it just happened.

Melihat kondisi emosi anak perempuannya yang semakin mudah kehilangan kendali membuat sang Ayah kemudian memasukkan Eugénie ke dalam sebuah suaka di kota Paris, dan karena edukasi yang masih terbatas di tahun 1885 tidak heran jika sang Ayah merasa Eugénie mengalami gangguan jiwa. Eugénie lantas dimasukkan ke Salpetriere Hospital, dikelola oleh Dr. Jean-Martin Charcot (Grégoire Bonnet) dengan kepala perawat Geneviève Gleizes (Mélanie Laurent). Meskipun perlahan dapat menerima kondisi teman-teman baru di dalam suaka, seperti Louise (Lomane de Dietrich) misal, Eugénie tetap tidak terima disebut gila dan menyusun rencana melarikan diri dari suaka tersebut.

Di tiga menit pertama kamu akan bertemu tiga buah scene dengan tiga buah vibe yang berbeda pula, dibuka dengan pemandangan di mana banyak orang berkumpul di sana seolah sedang menantikan berita besar namun justru tampak belakang dari seorang wanita yang seperti sedang terisak membuat kesan gloomy justru langsung maju ke posisi depan. Scene kedua jauh lebih sederhana, acara makan bersama pada sebuah keluarga yang mana sangat mudah untuk menilai mereka sebagai keluarga yang patriarki dan seorang wanita kesal dengan perlakuan tidak adil. Lantas tidak berlama-lama penonton dibawa masuk ke scene ketiga ketika seorang wanita tampak merasa ketakutan ketika masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa lilin.


Tiga scene di atas dibalut dengan score yang mencoba mendorong kesan eerie agar langsung mendominasi isi pikiran penontonnya, berusaha membentuk kesan ganjil di dalam diri Eugénie Cléry yang menjadi sosok wanita di dalam tiga scene tersebut tadi. Cerita sendiri memang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membentuk pijakannya namun karakter Eugénie langsung mencuri perhatian, penonton dengan mudah akan menilai bahwa Eugénie merupakan seorang indigo yang mampu melihat “hal-hal” yang tidak dapat dilihat oleh mata orang normal. Saya suka cara Mélanie Laurent membentuk bagian ini terutama pada teknik memancing rasa penasaranmu agar langsung meroket tinggi, situasi waspada juga terbentuk dengan baik.

Tapi menariknya kesan “horror” yang coba ia sajikan di awal tersebut merupakan bagian dari rencana Mélanie Laurent untuk menempatkan penonton seperti berada di samping karakter utama, Eugénie Cléry, sosok yang kemudian harus menerima pil pahit setelah dianggap gila oleh keluarganya sendiri. Yang unik di sini ialah bersama Christophe Deslandes script ditulis Mélanie Laurent untuk tidak meninggalkan vibe ganjil di dalam diri Eugenie meskipun ia telah berada di dalam suaka bagi para warga yang dianggap mengidap kelainan atau gangguan jiwa itu, kemampuan “melihat” hal atau sosok lain terutama sosok yang telah mati dari orang-orang di sekitarnya lantas membuat penonton terus bertanya-tanya, Eugénie ini sebenarnya gila atau tidak?


Situasi tersebut terus diputar dengan baik oleh Mélanie Laurent sembari memoles beberapa konflik pendukung lain yang memiliki fungsi manis terhadap pesan utama yang sebenarnya coba film ini sodorkan ke penonton. Yaitu bagaimana kesehatan jiwa dan mental sebenarnya harus dibekali dengan edukasi dan kesadaran yang tepat dari semua orang sehingga tidak merugikan pihak manapun. Saya juga suka dengan cara Mélanie Laurent menggunakan karakter “pasien” lain di sekitar Eugénie untuk menjadi sebuah tim yang menunjukkan bahwa orang-orang yang mengalami mental illness bukan berarti otomatis berada dalam kelas yang dapat dijadikan objek untuk dimanfaatkan karena posisi mereka yang “rendah”, sebuah stigma yang salah.

Para pasien itu justru menunjukkan kebersamaan mereka dengan saling membantu satu sama lain, saling menguatkan dan juga mengingatkan bahwa mereka menjalani rintangan itu tidak sendirian. Sama seperti Geneviève, ia mendengarkan without judgement or interjection, to be kinder, to accept, to listen. Ya, “kemampuan” yang dimiliki Eugénie merupakan pintu masuk bagi sebuah isu yang masih sangat mudah ditemukan saat ini, sebuah kemampuan yang masih sangat langka dapat dilakukan oleh banyak orang yaitu bersedia untuk mendengarkan tanpa menghakimi, banyak yang justru bersikap layaknya ayah dari Eugénie yang langsung mengarahkan jari kepada anaknya dan melabelinya sebagai orang gila.


Berhasil menampilkan pesan dan isu sederhana itu secara tepat dan tajam lebih dari cukup bagi Mélanie Laurent yang tidak mencoba menyajikan dramatisasi lebih jauh namun justru sebuah keputusan yang tepat. Karena dengan demikian ia melindungi pesona sensitif yang coba disajikan pada the taboos and stigmas on mental health, begitupula kualitas kinerja akting. Mungkin jika ada drama yang lebih panjang maka karakter Eugénie, Geneviève, bahkan Jeanne akan berpotensi terasa overdo, namun di sini mereka berhasil mengakhiri permasalahan masing-masing secara manis. Lou de Laâge jelas layak mendapat kredit lebih, sebuah performa akting dengan kualitas emosi yang mencapai sasaran di tiap bagiannya secara subtle.

Overall, ‘The Mad Women's Ball (Le Bal des folles)’ adalah film yang memuaskan. Sukses mencuri atensi sejak awal dan kemudian membangun rasa penasaran dengan menggunakan sebuah “kelainan” yang dimiliki karakter utama, Sutradara Mélanie Laurent berhasil membentuk kisah yang mengambil dasar dari novel berjudul ‘Le bal des folles’ karya Victoria Mas ini menjadi sebuah penggambaran tentang kesehatan mental yang sederhana namun sangat tepat sasaran, tanpa bumbu yang berlebihan namun tetap membuat hidangan sehat itu terasa nikmat, kisah tentang bagaimana pentingnya edukasi terkait mental health tidak hanya terhadap pihak yang sedang kesulitan saja namun juga bagi orang-orang di sekitarnya, untuk membantu dengan cara mendengar, without judgement or interjection. When I become we, even illness become wellness. Segmented.







1 comment :

  1. "We dance. We dance. We dance. And so, my dear Geneviève, we are free. We are strong. We are eternal.”

    ReplyDelete