28 October 2021

Movie Review: Don't Breathe 2 (2021)

“Now you're gonna see what I see!”

Lima tahun yang lalu film ‘Don’t Breathe’ berhasil mencuri perhatian, menggunakan formula klasik dari home invasion kala itu Fede Álvarez dan Rodo Sayagues sukses menempatkan penonton terjebak dalam sebuah rumah yang penghuninya adalah seorang pria tua buta tapi dapat “melihat”, mempermainkan paranoia penontonnya dengan menggunakan terror dalam keheningan, membuat penonton terus waspada dalam mengatur irama nafas mereka berkat permainan atmosfir cerita yang intens. Meraih kesuksesan finansial yang sangat besar kelanjutan sleeper hit itu kini tiba, mencoba sedikit mengubah pola namun tetap fokus bermain dengan paranoia para penontonnya. Don’t Breathe 2’ : another silly games.


Norman Nordstrom (Stephen Lang) kini mencoba menjalani kehidupan yang tenang di tepian kota Detroit bersama dengan anjing kesayangannya Shadow dan seorang anak perempuan bernama Phoenix (Madelyn Grace). Norman memberitahu Phoenix bahwa Ibu kandungnya meninggal dunia pada peristiwa kebakaran di rumah lama mereka. Phoenix sendiri kini merupakan sosok yang sangat berharga bagi Ayahnya itu, Norman sangat protektif dan tidak mengijinkan Phoenix belajar di sekolah biasa, dia juga hanya memberi ijin kepada Hernandez (Stephanie Arcila), former US Army Ranger untuk membawa Phoenix refreshing sejenak berkeliling kota.

Tapi lewat kegiatan itu pula masalah baru masuk ke dalam kehidupan Norman dan Phoenix. Ketika berkunjung ke rumah lama mereka tanpa sepengetahuan sang Ayah, Phoenix ternyata telah diincar oleh sekelompok pria, dipimpin oleh Raylan (Brendan Sexton III) kelompok tersebut kemudian mencoba melakukan invasi ke dalam rumah Norman. Tujuan utama mereka adalah untuk menculik Phoenix meskipun kejutan telah menanti mereka, pria buta mantan prajurit yang tahu bagaimana cara menjadi lawan sepadan bagi Raylan dan pasukannya. Sampai sebuah rahasia terungkap oleh Raylan kepada Phoenix terkait masa lalu mereka.

‘Don't Breathe 2’ menjadi debut penyutradaraan Rodo Sayagues sehingga cukup sulit untuk membahas secara detail teknik atau gaya pengarahan yang ia punya, menjadi penulis di film pertama dan juga ‘Evil Dead’ yang keduanya disutradarai oleh Fede Álvarez, kali ini berperan sebagai Produser dan Screenwriter. Saya mencoba meraba bagaimana pendekatan yang coba Sayagues terapkan dan saya kurang suka di bagian awal. Dengan durasi satu setengah jam lebih sembilan menit itu, sekitar 20 menit pertama penonton dibawa bertemu berbagai macam potongan cerita yang mencoba untuk membangun pondasi masalah, ada terkait mendiang Ibu, organ trafficking, si pria buta itu kini menjadi sosok Ayah yang super posesif, dan kita punya kelompok pria bertampang mencurigakan seolah hendak bersiap melakukan aksi kriminal.


Ini tidak lagi sebatas masuk secara illegal ke dalam rumah yang dihuni pria buta dan mencoba menemukan bukti dari rasa curiga terhadap si pria tersebut. Karena cerita di film pertama sudah tertutup maka film ini mencoba mengeskplorasi aspek lain di dalam kehidupan karakter utamanya. Penonton punya pusat cerita baru bernama Phoenix, yang juga menjadi salah satu potongan cerita tadi lewat rasa kesepian yang melandanya, mulai merasa gerah terus dikurung oleh sang Ayah di dalam rumah. Cerita dibuat menjadi sedikit lebih rumit dan luas tapi tetap menempatkan signature film pertamanya sebagai hidangan utama, aksi kejar tangkap dalam keheningan yang memaksamu ikut menahan nafas. Ternyata eksplorasi tadi memberi cerita pesona baru yang cukup oke.

A pretty cool idea to be honest, Fede Álvarez dan Rodo Sayagues mencoba mengubah pola yang awalnya lebih menjual elemen horror sebagai spotlight dan menggesernya menjadi sebuah kisah tentang aksi balas dendam. Tidak menyajikan sesuatu terasa super segar memang namun terhitung oke dalam menyusun kembali cerita dengan memanfaatkan karakter Norman Nordstrom sebagai pusat, menempatkannya pada situasi sedikit berbeda dan kemudian menciptakan ruang bagi emosi untuk terlibat lebih jauh lagi di dalam cerita, sesuatu yang tidak menjadi fokus di film pertamanya. Seperti yang saya sebutkan di atas tadi memang bagian awal film ini terasa kurang kuat dan menarik tapi ketika karakter mulai dikurung di dalam rumah di sana film ini mulai berjalan sedikit lebih baik. 


Dari sana narasi mulai terasa menarik karena memang yang saya cari dari film ini adalah momen ketika narasi mulai mempermainkan irama nafas saya. Banyak gotcha moment dan mayoritas kualitasnya oke, tidak buruk, apalagi berkat sokongan score gubahan Roque Baños yang ikut berkontribusi dalam memainkan mood dan atmosfir cerita, terus mencengkram para penonton dan lagi-lagi membuat mereka menahan nafas. Di sini Norman juga terasa lebih manusia, tidak seperti di film pertama ketika ia tampak seperti superhuman killer, tidak heran jika berbagai teknik yang ditulis Fede Álvarez dan Rodo Sayagues untuk digunakan oleh Norman agar ia dapat terus mendengar suara terasa oke, dari seals the mouth hingga lonceng baik pada anjing maupun pada manusia. Dia tampak lemah kini, tapi punch dari Norman tetap oke.

Pencapaian yang tidak lepas dari pesona milik Stephen Lang, ia kembali mengulangi kesuksesan di film pertama ketika physical presence dari Norman saja sudah lebih dari cukup untuk membuat karakter dan penonton masuk ke mode waspada. Di sini kinerja akting dari villain di film ‘Avatar’ itu terasa lebih authentic mungkin karena karakternya sendiri memang tidak lagi didorong sebagai pria dengan kemampuan luar biasa seperti di film pertama, ada emosi yang oke dari Norman, seperti seorang pria yang sudah pasrah dan hanya mengingingkan pengampunan atas kesalahannya. Madelyn Grace juga tampil oke menampilkan survival skills Phoenix, menggunakan beberapa trik yang menyenangkan meski sedikit di luar nalar manusia normal.


Tapi tentu film ini punya minus, dan salah satunya hadir dari karakter the villain yang terasa lemah, Fiona O'Shaughnessy pesonanya oke namun porsi karakternya  terbatas, sedangkan Brendan Sexton III fungsinya terasa terlalu dangkal dan lebih bertugas sebagai pion belaka. Norman terasa lebih manusia di sini karena memang lawannya tidak punya depth yang menarik, eksistensi mereka bukan untuk memberi perlawanan but just to make Norman look better. Alhasil meksipun memang masih menghadirkan berbagai aksi kejam dengan permainan kamera yang oke itu namun ‘Don't Breathe 2’ tidak pernah mampu menghasilkan kekejaman dengan intensitas yang sama baiknya seperti film pertamanya dulu. Dia mempermainkan nafas kamu tapi jelas tidak sebaiknya film pertamanya.

Overall, ‘Don't Breathe 2 adalah film yang cukup memuaskan. Kisah yang berawal dari sebuah home invasion action thriller itu kini berbuah menjadi revenge action, dengan beberapa tweak berhasil menciptakan ruang baru bagi karakter Norman agar ia dapat kembali mempermainkan irama nafas dan paranoia penontonnya. Kualitas dan intensitas dari terror memang tidak sebaik pendahulunya itu tapi tetap dengan membuat semuanya menjadi simple and silly bersama dengan Fede Álvarez di sini Rodo Sayagues cukup berhasil menampilkan kelanjutan dari kisah The Blind Man sebagai another fright experience yang simple dan tepat sasaran. They aim no high, so it’s okay.






1 comment :

  1. “It's not me you need to be scared of, but the man standing next to you.”

    ReplyDelete