27 October 2021

Movie Review: Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba – The Movie: Mugen Train (2020)

“Don't cry even if you feel regret.”

Tidak ada salahnya mengeksploitasi materi yang punya potensi besar menghasilkan kesuksesan, langkah yang diambil oleh studio animasi asal Jepang, Ufotable. Belum berakhir musim pertama tv-series adaptasi manga ‘Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba’, tepatnya di pertengahan musim sudah muncul keinginan Produser untuk membuat semacam “jembatan” penghubung ke season dua dalam bentuk film. Shorter content and dramatic pacing jadi alasan utama, langkah berani yang ternyata membuahkan hasil sangat memuaskan bagi mereka, rilis tahun lalu di Jepang film ini seolah tidak mengenal apa itu pandemic Covid-19, terus mencetak angka mengejutkan box-office hingga berakhir sebagai the highest-grossing anime and Japanese film of all time, menggeser ‘Spirited Away’ yang telah berkuasa sejak tahun 2001. ‘Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba – The Movie: Mugen Train’ : an imaginative extension, an engaging continuation.


Tanjirō Kamado (Natsuki Hanae) kehilangan seluruh keluarganya akibat serangan dari para demon, hanya saudara perempuannya Nezuko Kamado (Akari Kitō) saja yang berhasil selamat. Tanjiro kemudian mengetahui bahwa saudaranya itu juga telah berubah menjadi demon, ia berencana untuk menyelamatkan Nezuko serta membalaskan dendam kepada para pembunuh keluarganya itu. Untuk itu Tanjiro memutuskan menjadi seorang Demon Slayers, pemburu iblis. Celakanya jalan yang harus ia tempuh tentu saja tidak mudah, namun Tanjiro yang mendapatkan rekan baru bernama Inosuke Hashibira (Yoshitsugu Matsuoka) dan Zenitsu Agatsuma (Hiro Shimono) tidak menyerah.

Mereka kemudian diberikan misi untuk “memeriksa” the Mugen Train, kereta tempat begitu banyak penumpang dinyatakan hilang dalam waktu singkat. Tugas mereka adalah membantu the strongest swordsmen of the demon hunters, the flame Hashira of the Demon Slayer Corps, Kyojuro Rengoku (Satoshi Hino). Tapi ketika telah berada di dalam kereta mereka semua tiba-tiba tertidur lelap, kesempatan yang digunakan Enmu (Daisuke Hirakawa), Lower Rank One of the Twelve Kizuki, untuk mencoba menghabisi pada Demon Slayer itu. Enmu menginstruksikan kepada empat orang penumpang, semua menderita insomnia parah, untuk masuk ke dalam mimpi para Demon Slayer, menghancurkan spiritual cores agar mereka tidak dapat bangun lagi.

Jalan cerita film ini sendiri sebenarnya tidak full dari sinopsis di atas, kamu langsung dibawa bertemu Tanjiro, Inosuke dan Zenitsu tepat di awal paragraf kedua sinopsis. Dan itu merupakan salah satu kekurangan film ini, melanjutkan cerita dari bagian akhir season pertama versi serial-nya. Jika berbicara secara teori maka peluang itu jelas masih ada bagi penonton untuk dapat menikmati film ini tanpa harus terlebih dahulu menyelesaikan series-nya, tapi saya tidak merekomendasikan opsi tersebut karena memang akan terasa lebih menyenangkan jika penonton terlebih dahulu tahu tentang latar belakang masalah dan juga karakter, bukan? Di sini Sutradara Haruo Sotozaki tidak menyediakan banyak ruang dan waktu untuk itu.


Penonton langsung dilempar masuk ke dalam aksi para karakter, dan bagi penonton yang belum mengenal karakter, belum tahu status para karakter dan siapa musuh mereka, termasuk di dalamnya berbagai macam istilah yang eksis di dalam “dunia” para Demon Slayer itu, maka kamu mungkin sedikit “lost” di awal. Namun jika kamu telah menyaksikan season pertama dari Demon Slayer series kamu akan tersenyum gembira, karena memang cerita langsung mengambil pengisahan berupa lanjutan dari bagian pengujung series dan membawa cerita bergerak maju. And for me cerita berlanjut dalam gerak yang mulus, tidak hanya pada bagaimana kelanjutan cerita saja tapi juga eksploitasi lanjutan terhadap karakter yang terasa adorable itu.

Ya, meskipun harus diakui tidak sepenuhnya “real movie” dan tampak seperti satu episode panjang tambahan sebagai jembatan ke season kedua, tapi harus diakui pula strategi yang coba diterapkan Produser di sini bekerja dengan sangat baik terutama bagi para fans. Dirancang memang untuk penggemar, menyasar para penonton yang ingin tahu kelanjutan cerita dan membangun excitement mereka pada season kedua. Tapi tenang, dikemas manis seraya juga mencoba mengembangkan dunia dengan memperkenalkan karakter baru yang mungkin telah fans nantikan, tetap ada upaya dari Haruo Sotozaki dan tim membuat film ini terasa mudah untuk dinikmati oleh penonton umum, terutama pada bagaimana cara narasi membentuk elemen fantasi berupa alam mimpi sebagai jalan memperkenalkan latar belakang masalah yang dimiliki karakter.


That dream sequences bekerja dengan sangat baik menampilkan masa lalu dan juga backgrounds serta rasa takut dan mimpi milik karakter. Terasa impresif, perpaduan yang tepat antara komedi dan action di sini Haruo Sotozaki membatasi ruang gerak karakter di dalam kereta, membatasi plot yang fokus pada misi satu garis lurus yang dilakukan karakter utama. Materi ceritanya sendiri terasa sederhana tapi memiliki kemampuan menghadirkan beberapa kejutan, saya juga suka dengan pesona yang dimiliki karakter, mereka terasa human di balik keterbatasan yang mereka miliki itu, terhitung sukses menarik emosi penonton untuk ikut larut di dalam tragedi yang mereka telah dan harus lalui. Tanpa sadar penonton terus diikat semakin kuat secara perlahan.

Dari cerita yang menarik hingga interplay menyenangkan bersama action sequences, itu mungkin alasan mengapa film ini berhasil mencetak berbagai rekor di atas tadi karena dalam pace yang cepat narasi bergulir dengan baik bersama balance yang oke antar bagian, terasa dinamis dan konsisten mengumbar energi menyenangkan yang menghasilkan good entertainment. Kunci lainnya terletak pada kedalaman karakter yang terasa mumpuni, dibekali dengan alasan yang dapat dipahami di balik setiap aksi mereka karakter menampilkan pesona yang cantik, tidak hanya dari segi cerita saja tapi juga dari sisi visual, lovely artwork, simply beautiful. Style yang diterapkan di sini berhasil mengukuhkan kesan uniknya, terutama di adegan pertarungan


Perpaduan antara dark fantasy dengan coming-of-age drama yang dibumbui dengan berbagai komedi situasi dan adegan aksi dalam gerak cepat, tidak hanya karakter tapi visual ‘Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba – The Movie: Mugen Train’ juga terasa imajinatif and engaging, semacam pesta untuk mata penontonnya tentu dengan cara yang unik. Kualitas animasi level tinggi, design juga terasa kreatif terutama dalam menyajikan kemampuan dari masing-masing karakter yang terasa kreatif. Voice cast juga demikian, nama-nama seperti also Natsuki Hanae, Yoshitsugu Matsuoka, Hiro Shimono, dan Satoshi Hino berhasil menyuntikkan suara yang membuat karakternya bersinar sesuai porsinya masing-masing. Yang paling sukses membuat merinding adalah Daisuke Hirakawa, dan di belakangnya ada Akira Ishida sebagai Akaza / Upper Moon Three. 

Overall, ‘Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba – The Movie: Mugen Train’ adalah film yang memuaskan. Designed for fans penuh dengan fan service, mengambil titik start dari peristiwa di penghujung series season pertama membuat film ini terasa segmented, akan terasa sedikit “lost” bagi penonton without prior knowledge of the series, itu karena agenda utamanya memang menjadi sebuah jembatan penghubung ke season kedua. Sedikit “lost” saja karena plot yang sederhana dibekali eksposisi yang manis, Haruo Sotozaki dan tim berhasil membuat penonton tertarik dengan cerita, karakter, perlahan hanyut dalam petualangan yang mencampur drama, action, dan komedi, bersama emosi dan visual yang cantik nan impresif. Extension, continuation, film ini dengan pesona uniknya berhasil menjadi hiburan yang terasa menyenangkan, dan buah manis bagi sikap berani untuk sedikit mengeksploitasi cerita. No guts, no glory.






1 comment :

  1. “It is the duty of those born strong to help the weak.”

    ReplyDelete