27 June 2021

Movie Review: The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021)

“Leave him alone and take me.”

Ketika berbicara tentang film horror maka yang banyak penonton paling nantikan adalah kemampuannya dalam membuat detak jantung menjadi tidak teratur, dari bagaimana membangun atmosfir menyeramkan, lantas menghadirkan keheningan sebagai jeda yang membuatmu sejenak menunggu untuk kemudian menghujammu dengan kejutan. Terlepas dari kualitasnya film-film The Conjuring berhasil membuat penontonnya bermain dengan ciri khas “kejutan” mereka, yang kembali ditampilkan oleh film ini. Pertanyaannya adalah bagaimana kualitasnya kali ini? ‘The Conjuring: The Devil Made Me Do It’ : a well composed horror film.


Di tahun 1981 pasangan paranormal Ed Warren (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga) mencoba melakukan eksorsisme pada David Glatzel (Julian Hilliard) yang juga dihadiri oleh orangtuanya, sang kakak Debbie (Sarah Catherine Hook) dan juga kekasih Debbie, Arne Cheyenne Johnson (Ruairi O'Connor) serta Pastor Gordon (Steve Coulter). Sayangnya kegiatan yang didokumentasikan oleh bentuk video itu tidak berjalan sesuai rencana, roh setan yang masuk ke dalam tubuh David melawan dan celakanya setelah melihat David tersiksa Arne mencoba menawarkan tubuhnya untuk menjadi “rumah” bagi roh setan tersebut.

Tidak ada yang sadar akan hal itu meskipun pasca kejadian tersebut kehidupan Arne mulai terganggu. Hingga suatu ketika Arne kehilangan kendali dan melakukan aksi pembunuhan, ia menusuk tubuh korban sebanyak 22 kali sehingga sangat mudah untuk menjatuhkan dakwaan kepadanya. Tapi Arne mengajukan pembelaan dengan mengatakan bahwa pada saat kejadian dirinya berada dalam kondisi kerasukan setan. Hal tersebut diterima oleh pengadilan namun harus dilengkapi dengan bukti kuat, yang kemudian kembali menempatkan Ed dan Lorraine pada upaya investigasi paranormal.

Kesan unik yang terasa paling mencolok dari film ketiga ‘The Conjuring’ serta film kedelapan di ‘The Conjuring Universe’ ini adalah meskipun dari segi cerita yang coba ia tawarkan terasa lebih rumit atau kompleks ketimbang dua film pendahulunya tapi kualitas punch yang ia ciptakan justru merupakan yang paling ringan dan sederhana. Screenwriter David Leslie Johnson-McGoldrick kembali menulis script yang ceritanya ia tulis bersama James Wan, kali ini tidak mengisi bangku Sutradara dan digantikan oleh Michael Chaves (The Curse of La Llorona). Sebuah strategi yang berhasil dalam hal menjaga signature ‘The Conjuring’ di sektor cerita.


Tidak banyak yang berubah dalam struktur utama cerita yang kembali menempatkan Ed Warren dan Lorraine di dalam sebuah upaya investigasi paranormal, tapi yang membedakan dan membuat cerita terasa sedikit lebih segar ialah penggunaan kasus pengadilan Arne Cheyenne Johnson sebagai basis utama cerita. Kasus yang populer dengan sebutan ‘Devil Made Me Do It’ itu merupakan kisah nyata yang terjadi di kota Brookfield, Arne melakukan aksi pembunuhan tapi mengajukan upaya penolakan atas dakwaan menggunakan klaim bahwa aksi tersebut terjadi tidak atas kendali dirinya sendiri, melainkan akibat ulah setan yang telah merasuki dirinya.

Hal terakhir tadi yang digunakan dengan baik untuk memperluas ruang gerak cerita, menempatkan Ed dan Lorraine pada upaya pembuktian bahwa betul Arne dirasuki setan ketika aksi pembunuhan itu terjadi. Rutenya sendiri sedikit memutar dengan menggunakan kasus lain sebagai variable pembanding bagi proses investigasi. Cerita punya benang merah yang oke terutama dalam hal menjaga koneksi antar bagian cerita tetap terjalin baik, teknik eksposisi Michael Chaves dalam mempresentasikan setiap konflik juga oke. Saya suka ketika tiga bagian itu, yakni Arne, Ed – Lorraine, dan sosok misterius itu mampu menjaga rasa penasaran penonton dengan baik.


Masalah yang timbul dari sana hanya satu, yakni karena narasi memiliki tiga bagian sehingga membuat tidak ada fokus utama yang kuat. Arne kerasukan dan dia dalam bahaya, Ed dan Lorraine terus berpacu menjadi jawaban, sedangkan totem konsisten mengundang tanda tanya. Ruang bermain yang luas menjadikan cerita tidak punya pusat yang kuat, saya hanyut di dalam misi menemukan jawaban yang tekanannya berawal dari opsi ancaman hukuman mati terhadap Arne dan bertambah saat jumlah minimal korban kemudian disebutkan. Untungnya adalah meskipun di bagian ketiga ini tidak lagi ditangani oleh James Wan tapi kejutan yang menjadi ciri khas dari The Conjuring selama ini tidak absen.

Meskipun kualitas punch yang ia hasilkan sama seperti di sektor cerita, terasa ringan dan tidak terlalu kuat tapi saya senang dengan cara Michael Chaves memoles irama dan tempo dari usaha menakut-nakuti para penonton. Contoh momen yang berawal dari pintu depan rumah kita kemudian dibawa masuk perlahan menuju satu ruangan di mana David bermain di atas kasur, ada greget dan tensi yang tertata rapi di bagian itu, kamu dibuat merasa ada yang ganjil dan kemudian siaga menantikan kejutan itu hadir. Bersama dengan cinematographer Michael Burgess di sini Michael Chaves juga piawai dalam bermain dengan presentasi visual.


Terutama dalam mengekploitasi senjata andalan mereka, Ed dan Lorraine. Ada satu momen di mana Ed dan Lorraine harus menuruni tangga dan di sana kita bisa lihat sikap “menolak” yang ditunjukkan oleh Lorraine, hanya dari ekspresi wajah dan juga tatapan mata saja. Disokong dengan score yang bekerja efektif, Ed, Lorraine bersama dengan karakter lain diberi banyak kesempatan untuk terus mengikat dan membuat penonton terus merasa seolah berada di samping karakter, yang diperankan dengan baik oleh para aktor seperti Patrick Wilson dan Ruairi O'Connor. Bintang utamanya tentu saja Vera Farmiga, such a good nuanced performance.

Overall, ‘The Conjuring 3’ adalah film yang cukup memuaskan. Sekuel ini berhasil membuktikan bahwa sejak pertama kali muncul di tahun 2013 merupakan franchise yang mampu menjaga kualitasnya untuk konsisten meski ada grafik menurun jika dibandingkan dengan film pertama dan keduanya. Di tangan Michael Chaves film ini tetap mampu menyajikan cerita dan kejutan yang membuat penonton jatuh hati dengan Ed dan Lorraine sejak awal, punch yang dihasilkan memang terasa kurang kuat tapi tidak membuat investigasi paranormal itu kehilangan pesonanya, membuat penonton berinvestasi di dalam narasi yang memiliki pace, irama, tempo, dan tensi yang tertata dengan baik.




 





1 comment :