25 June 2021

Movie Review: Luca (2021)

“Vespa is freedom.”

Untuk pertama kalinya, setelah tahun 2001 tentunya, secara berturut-turut tiga buah film rilisan dari studio animasi Pixar akan menjadi debut penyutradaraan layar lebar bagi tiga Sutradara. Latar belakang mereka memang juga dari Pixar seperti sebagai animator dan story artist tapi keputusan tersebut tampak seperti sebuah sinyal dari Pixar bahwa mereka mencoba melakukan peremajaan dan membawa nafas segar ke dalam line-up film animasi mereka. Settingnya di Italia dan berkisah tentang monster laut yang mencoba untuk mengejar impian mereka dengan MVP yang terasa unik, yaitu Vespa. Ya, motor Vespa. ‘Luca’ : a lovely, understated, and charming animation.


Luca Paguro (Jacob Tremblay) merupakan monster laut muda yang tinggal di lepas pantai Portorosso, sebuah kota kecil di Italia, kesehariannya diisi dengan bertugas menggembala kambing laut dan kembali di sore hari. Luca tidak boleh terlambat jika tidak maka ia akan diinterogasi oleh Lorenzo Paguro (Jim Gaffigan) dan Daniela (Maya Rudolph), Ayah dan Ibunya. Tapi suatu ketika Luca bertemu Alberto Scorfano (Jack Dylan Grazer), sesama monster laut remaja yang membawanya bertualang ke atas laut, daratan yang berisikan para manusia. Luca terkejut dengan perubahan fisik yang terjadi padanya.

Tapi itu hanya sementara karena setelah diperkenalkan oleh Alberto pada kendaraan idamannya, Vespa, Luca justru semangat untuk bersama-sama mewujudkan impian tersebut. Hingga suatu ketika mereka nekat untuk segera mendapatkan Vespa yakni dengan cara pergi ke Portorosso. Di sana mereka langsung jatuh cinta dengan Vespa milik Ercole Visconti (Saverio Raimondo), juara tak terkalahkan pada ajang marathon Portorosso Cup yang menjadi rival bebuyutan Giulia Marcovaldo (Emma Berman), si pencinta buku yang ingin menjadi juara Portorosso Cup. Luca dan Alberto mencoba membantu Giulia di mana uang hadiah akan mereka pakai untuk membeli Vespa.

Sutradara Enrico Casarosa bersama dengan duet Screenwriter Mike Jones dan Jesse Andrews membuat ‘Luca’ tampil penuh warna. Dari segi visual sendiri tidak ada hal yang perlu diragukan lagi, sentuhan manis Pixar Animation Studios kembali tampil meski kali ini cenderung sedikit mengedepankan kesan tradisional. Setting latar kota Portorosso kental nuansa teduh kota pinggiran pantai, terasa damai meskipun telah didorong isu terkait monster laut sebagai sosok yang mengancam. Sedangkan di sisi lain kehidupan bawah laut ditampilkan secara understated, Pixar punya pengalaman dalam hal ini dan hasilnya jauh dari kata mengecewakan walaupun memang sedari awal perannya tidak terlalu dominan, sebatas base saja.


Dapat dikatakan yang menjadi titik awal excitement itu naik adalah saat Luca mulai sadar akan eksistensi dunia di atas laut, menyaksikan perubahan wujud dalam gerak cepat yang dikemas dengan baik oleh Enrico Casarosa bersama tim animator. Energi yang lahir dari sana terasa kuat terlebih setelah itu penonton dibawa bertemu fakta unik bahwa ada mimpi berupa Vespa di sana. Ya, ini mengejutkan buat saya karena keputusan menggunakan Vespa sebagai supporting element justru membuat cerita memiliki kesan klasik yang kental. Vespa dan kota di pinggiran pantai? Sudah lebih dari cukup untuk mendorong nature and classic feel yang coba ditampilkan.

Enrico Casarosa menyebut film ini merupakan kombinasi berbagai homage kepada berbagai pihak, salah satunya bagi Hayao Miyazaki. Tidak sulit untuk merasakan feel dari karya Miyazaki di film ini, sejak lompat ke dunia di atas laut terasa sekali effort Casarosa bersama timnya menjaga agar perputaran konflik tidak sampai membuat penonton bertemu perubahan tone pada cerita. Terjadi gesekan antar karakter pada upaya mereka untuk menjadi pemenang, di sisi lain ada proses menemukan jati diri yang perlahan tumbuh dengan lembut, tapi mereka tidak memaksa narasi berubah warna tapi justru terjaga ringan dan lembut hingga akhir, seperti ciri khas Miyazaki.


Hal tersebut yang membuat ‘Luca’ punya kegembiraan dan kesan hangat yang terasa infectious meskipun kamu sadar bahwa dari segi cerita sebenarnya yang ditawarkan di sini jauh dari kesan spesial. Pixar bermain aman di sini, mencoba menghadirkan sebuah nafas yang segar lewat ide besar yang dikemas sederhana. Contohnya ada di bagian akhir lewat upaya mendorong isu mengejar mimpi dengan punch yang tidak kuat tapi berfungsi baik sebagai konklusi bagi kisah coming-of-age, terasa affecting bahkan. Sama seperti kisah tentang persahabatan lengkap dengan berbagai isu yang klasik itu, menangkap dengan baik nilai penting yang terkandung di dalamnya.

Berbagai macam pencapaian positif yang patut diapresiasi mengingat sedari awal film ini jelas-jelas mencoba menerapkan approach yang sedikit berbeda dari teknik narasi milik Pixar. Minus di sini terletak pada absennya “wow factor” yang kita tahu selama ini merupakan spesialisasi Pixar, seolah menjadi menu wajib ada di tiap film animasi mereka. Dimulai dengan baik, berjalan dengan eksposisi yang baik, lantas diselesaikan dengan baik pula, sayangnya tidak ada punch yang terasa spesial. Tapi menariknya adalah bagi saya film ini justru terasa lebih memorable ketimbang ‘Soul’ yang notabene secara kuantitas memiliki lebih banyak punch menarik.


Itu bukti kesuksesan Enrico Casarosa bersama tim membuat penonton konsisten terikat dengan karakter dan cerita, dibantu score yang juga manis mudah hanyut di dalam keunikan yang coba ditawarkan ‘Luca’. Terlebih kita punya karakter yang tidak hanya terasa kaya secara individual saja tapi juga sebagai tim yang dinamis dan energik berkat sokongan suara dari para voice cast. Jacob Tremblay, Jack Dylan Grazer, dan Emma Berman membentuk trio underdogs yang menyenangkan untuk diikuti sedangkan ada Saverio Raimondo, Jim Gaffigan, dan Maya Rudolph yang mendukung mereka di belakang. Sacha Baron Cohen punya kesempatan lewat Uncle Ugo dan ia gunakan dengan baik untuk mencuri atensi.

Overall, ‘Luca’ adalah film yang memuaskan. Ini adalah permulaan yang baik dari Pixar dalam upaya menyuntikkan nafas segar ke dalam jajaran film mereka, masih menggunakan ide yang besar tapi dipresentasikan secara sederhana, tradisional dan klise tapi tetap berhasil tampil menghibur lewat kesan kaya dan unik yang disajikan dengan nature feel kental. Meskipun tidak punya wow factor serta punch yang kuat namun secara keseluruhan petualangan penuh warna mengejar Vespa di Portorosso itu berhasil menjadi sajian yang terasa manis, infectious and affecting meskipun kita tahu di sini Pixar memilih bermain aman sejak awal. Silenzio Bruno!




 




1 comment :

  1. “Oh, it's just the greatest thing that humans ever made. The Vespa. You just sit on it, and it takes you anywhere you wanna go. In the whole stinkin' world!”

    ReplyDelete