15 May 2020

Movie Review: Tune in for Love (2019)


“Should we get married?”

Jatuh cinta bukan perkara mudah, jadi bukan sesuatu yang aneh jika kemudian banyak orang memilih berada di zona nyaman mereka dengan menjadi single ketimbang “mencoba” untuk terlibat di dalam sebuah hubungan percintaan. Karena suatu hubungan asmara memang pada dasarnya adalah usaha dari dua insan untuk menyatukan atau menyamakan “frekuensi” yang mereka miliki terlepas dengan berbagai perbedaan yang mungkin akan eksis di dalam hubungan tersebut. Hal yang cukup basic dari cinta tersebut menjadi dasar film ini bercerita. ‘Tune in for Love (Yooyeolui Eumakaelbum)’ : a simple romance with good frequencies.

Kim Mi-soo (Kim Go-eun) kini hidup bersama wanita yang telah ia anggap sebagai saudara sendiri, Eun-Ja (Kim Guk-hee), bersama mereka mengelola sebuah toko roti ‘Mi-soo Bakery’. Ya, toko tersebut merupakan peninggalan dari mendiang Ibunya Mi-soo dan di tahun 1994 menjadi titik awal pertemuan Mi-soo dengan seorang pria muda bernama Cha Hyun-woo (Jung Hae-in). Ketika sedang berkunjung ke toko roti tersebut Hyun-woo terpaku oleh suara siaran radio dari sebuah program yang sedang memperkenalkan penyiar baru mereka, yaitu Yoo Yeol.

Cha Hyun-woo yang ternyata memiliki masa lalu kelam tersebut kemudian mencoba menawarkan jasa kepada Eun-ja dan juga Mi-soo, yaitu dengan membantu di Mi-soo Bakery. Namun ketika Hyun-woo perlahan menemukan irama kehidupan normal yang ia dambakan tiba-tiba masa lalunya yang kelam itu kembali menghampiri dirinya. Hal tersebut menjadi permulaan berbagai rintangan bagi Hyun-woo dan juga Mi-soo untuk dapat berada di satu frekuensi yang sama, Ya, dua manusia muda itu menyukai satu sama lain.
Pendekatan yang digunakan Sutradara Jung Ji-woo (A Muse) terhadap cerita dapat dikatakan berhasil menyelamatkan premis dan materi yang klasik itu, cara ia menuntun penonton untuk menyaksikan dua karakter bertumbuh bersama dengan berbagai rintangan yang menarik terasa oke. Semakin menarik terlebih ketika mengingat bahwa apa yang terjadi di film ini mayoritas dihabiskan untuk berputar-putar di dalam gejolak batin yang dialami oleh dua karakter utama. Dan bayangkan hal tersebut hadir di dalam durasi panjang selama dua jam, itu sangat berpotensi untuk terasa melelahkan, repetitif, bahkan jadi terasa monoton.

Tiga hal tadi tidak hadir di sini. Kuncinya terletak pada cara Jung Ji-woo mengemas berbagai permasalahan yang menghalangi upaya dua karakter utama untuk saling bersatu. Cerita yang ditulis oleh Lee Jin-Hyuk sudah mengakomodasi dengan baik berbagai isu dan konflik klasik tentang sebuah percintaan dengan baik, dari hal-hal yang cheesy dan cringeworthy hingga berbagai momen yang didominasi dengan gejolak emosi. Bahan tersebut kemudian dibentuk dengan cerdik oleh Jung Ji-woo. Ketimbang mencoba mengeksplotasi hubungan di antara Hyun-woo dan Mi-soo dengan cara yang mencolok Ji-woo justru mengemas mereka lewat runtutan masalah yang cenderung tenang dan lembut.
Sejak awal penonton dapat melihat bahwa ada perasaan suka yang terjalin sangat kuat di antara Hyun-woo dan Mi-soo, untung saja di sana kemudian tidak ada tarik dan ulur yang terasa berlebihan. Jung Ji-woo tidak mencoba mempermainkan fakta tersebut, status predictable yang dimiliki oleh cerita dan karakter yang familiar itu justru ia akali dengan cara membuat penonton terpaku dan semakin terpikat pada pesona hubungan asmara di antara karakter utama. Mood cerita terasa manis, pergeseran timeline tidak membuat mood juga ikut berubah frontal namun justru terasa kumulatif dalam hal pesona, semua berkat cara bertutur Jung Ji-woo dalam merangkai cerita serta membentuk karakterisasi.

Harus diakui bahwa Hyun-woo dan Mi-soo merupakan dua sosok dengan karakterisasi yang tidak hanya terasa menarik namun juga kuat. Sejak awal koneksi yang terjalin di antara mereka langsung meroket tinggi sehingga ketika rintangan itu tiba ada semacam “thrill” manis yang juga hadir. Ji-woo lebih mengedepankan proses di sini, membawa penonton mengamati perkembangan kehidupan karakter lengkap dengan berbagai bumbu menarik seperti hadirnya variable pembanding serta masalah di masa lalu. Mereka berdua melalui berbagai proses yang dirangkai dengan baik oleh Jung Ji-woo lewat cara yang terbilang cukup konvensional, tidak mau membuatnya tampak glossy namun justru sederhana dan cenderung bersahaja.
Tidak heran ketika ia berakhir rasa yang tercipta juga terasa lembut, karena bagian penutup yang hadir tersebut tidak mencoba untuk menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan. Yang ada justru ia menjadi sebuah garis finish dari upaya yang selama ini dilakukan oleh dua karakter utama untuk saling tuning agar dapat berada di satu frekuensi yang sama. Dan menariknya adalah dibalik tampilannya yang lembut serta sederhana itu Jung Ji-woo justru terbilang berhasil menghantarkan berbagai isu menarik yang dimiliki sebuah hubungan percintaan, seperti ego, sikap memaafkan, sikap mengalah, serta upaya untuk membuat satu sama lain menjadi sosok yang semakin baik.

Kesuksesan tersebut juga tidak lepas dari kinerja akting yang ditampilkan para pemeran. Karakterisasi yang oke berhasil digunakan dengan baik oleh para pemeran untuk membuat karakter mereka bersinar, Kim Guk-hee membuat Eun-ja terasa memorable sedangkan Park Hae-joon (The World of the Married) mencuri perhatian di setiap kesempatan yang dimiliki Jong-woo. Sementara itu Kim Go-eun (Monster, Coin Locker Girl, Canola) dan Jung Hae-in (Prison Playbook, Something in the Rain, A Piece of Your Mind) benar-benar menunjukkan kualitas mereka di sini dalam membangun chemistry dari dua insan yang terjerat rasa cinta, saat sendiri mereka kuat namun ketika bersama mereka terasa memikat.
Overall, ‘Tune in for Love’ adalah film yang memuaskan. Ini adalah sebuah kisah cinta yang klasik, baik dari segi cerita maupun karakter penonton telah dapat menduga pada apa yang akan hadir selanjutnya. Namun dibantu dengan karakterisasi serta cara bercerita yang oke Sutradara Jung Ji-woo sedikit menggeser fokus kepada proses yang harus dilalui oleh dua karakter utama untuk diamati penonton yang telah ia “paku” sejak awal dengan pesona yang manis dari dua karakter utama. Hasilnya kisah tentang upaya dua insan manusia untuk dapat berada di frekuensi yang sama tersebut berhasil menjadi sebuah sajian romance yang simple namun manis.













1 comment :

  1. They fall in love, but can't quite seem to get the timing right. :)

    ReplyDelete