16 May 2020

Movie Review: Saint Frances (2019)


“My guitar class is a patriarchy.”

Ada satu adegan di film ini ketika karakter utama memperoleh pertanyaan sederhana, yaitu jika karakter utama diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri apakah ia lebih memilih untuk menjalani kehidupannya kini yang tampak kelam itu atau justru memutuskan tidak ingin dilahirkan saja. Pertanyaan tersebut tadi diberikan oleh orangtua sang wanita yang kemudian memilih opsi pertama, sebuah dasar dari perjuangan yang sedang ia lakukan kini, yaitu berjuang mencari kebahagiaan. ‘Saint Frances’ : a "good time" kind of dramedy about imperfect life.

Seperti kebanyakan orang lainnya wanita bernama Bridget (Kelly O'Sullivan) mencoba untuk berbincang dan membangun koneksi dengan orang lain di sebuah pesta yang ia hadiri, namun celakanya yang ia peroleh justru sebuah luka. Pria tersebut menceritakan kehidupannya yang ia rasa tidak berarti kepada Bridget, berusia 34 tahun ia adalah seorang pengangguran yang bangkrut dan kini merupakan seorang single yang sangat malu dan benci dengan dirinya sendiri. Tanpa ia sadari kondisi tersebut tadi sangat mewakili kondisi kehidupan lawan bicaranya, yaitu Bridget.

Kehidupan Bridget tampak kelam hingga suatu ketika ia memutuskan untuk mengambil tawaran menjadi seorang nanny bagi anak perempuan bernama Frances (Ramona Edith Williams). Tugas Bridget hanya mengawasi dan menemani Frances bermain ketika ditinggal orangtuanya Annie (Lily Mojekwu) pergi bekerja sedangkan Maya (Charin Alvarez) sedang hamil tua. Menariknya pekerjaan yang berawal tidak mudah serta bahkan sempat ia ragukan tersebut justru menjadi pintu masuk bagi Bridget untuk menemukan kehidupan yang berisikan kebahagian, hal yang sedang ia cari. 
Ditulis oleh Kelly O'Sullivan di sini penonton diajak menyaksikan seorang wanita yang dengan kondisi kehidupan yang tampak kurang menarik justru masuk dan terlibat di dalam kehidupan sebuah keluarga yang sukses membawanya menemukan berbagai hal “menarik” bagi hidupnya. Maya dan Annie adalah dua sosok yang memberi jalan bagi karakter utama kita tadi, sedang Frances sendiri adalah seorang malaikat kecil yang secara implisit justru mengemban tugas menuntun Bridget untuk perlahan menemukan apa yang ia cari selama ini, yaitu sebuah kehidupan yang dapat ia jalani dengan rasa percaya diri tinggi serta dapat membuatnya merasa bahagia dan berharga.

Secara konsep cerita memiliki kesamaan dengan apa yang pernah Frances Ha hadirkan, sebuah proses pencarian kebahagiaan dari seorang wanita, yang membedakan mereka adalah di sini Bridget berhadapan dengan beberapa isu yang jumlahnya lebih banyak. Namun banyak bukan berarti lebih rumit, di debut penyutradaraannya ini Alex Thompson tidak menaruh fokus pada usaha memberikan jawaban bagi pertanyaan yang ada di dalam pikiran Bridget, yang hadir justru sebuah proses yang membuat Bridget mengerti dengan apa artinya mencintai dan dicintai. Bukankah itu hal mendasar dari sebuah kehidupan yang bahagia?
Yang disorot di sini lebih condong ke arah nilai kehidupan yang bergejolak di dalam batin Bridget, sosok yang baru saja melakukan aborsi. Bridget mengatakan bahwa ia belum merasa siap untuk menjadi seorang Ibu, namun pekerjaannya kini justru membuat Bridget belajar untuk menjadi seorang Ibu. Bahkan merasakan “kenikmatan” dari menjadi orangtua yang harus terus mengarahkan matanya ke sang buah hati yang masih berusia belia serta bersedia meladeni berbagai keinginan anaknya. Tik-tok yang terjadi di antara karakter sendiri terasa natural tanpa kehilangan kesan sentimental dari feminist movement dan isu yang dibawa, mereka berkembang secara perlahan tapi menariknya terasa genuine, terutama antara Bridget dan Frances.

Tentu ada alasan mengapa film ini berjudul ‘Saint Frances’ karena meskipun ia merupakan anak kecil yang masih belum tahu banyak tentang kehidupan namun Frances justru menjadi malaikat penyelamat di sini. Sensitifitas yang dimiliki Frances memang terasa sedikit advance namun tidak menghalangi pesona lembut yang natural untuk bersinar dari dirinya, terlebih chemistry antara dia dan Bridget juga terasa oke. Melalui dynamic duo ini Sutradara Alex Thompson menampilkan berbagai pesan yang dibawa cerita, mereka bekerja secara efektif, dan walaupun memang terasa predictable tetap mampu menciptakan presentasi yang feel-good dan comforting.
Namun kata terakhir tadi pula yang membuat ‘Saint Frances’ terasa kurang mengigit di beberapa bagian kecil. Semua tampak lembut sehingga punch yang dihasilkan oleh berbagai penggambaran terhadap isu-isu di dalam cerita tidak semuanya terasa kuat. Ambil perbandingan lain pada film Tully yang berbicara tentang isu yang satu tipe, yaitu postpartum mental health, selain juga terasa halus namun ia juga memiliki kesan bitter yang menarik. ‘Saint Frances’ terasa kurang dalam hal ini, yang dilakukan Alex Thompson lebih ke arah menunjukkan berbagai isu yang jumlahnya cukup banyak itu lalu melakukan eksploitasi yang secukupnya namun tidak mencoba menggali terlalu jauh di setiap bagian. Penonton mengerti tapi apakah kemudian akan terasa memorable?

Ya, tapi tidak semua. Segmented memang namun yang pasti memorable adalah kerja sama yang terjalin di antara Kelly O'Sullivan dan Ramona Edith Williams. Meskipun overall terasa impresif script yang ia tulis di beberapa bagian memang terasa kikuk namun sebagai pemeran Kelly O'Sullivan berhasil membuat Bridget sebagai wanita muda dengan masalah yang menarik diamati. Dua pemeran Ibu, Lily Mojekwu dan Charin Alvarez, menampilkan permasalahan dari masing-masing karakter dengan baik, sedangkan berperan sebagai kunci penting bagi cerita Ramona Edith Williams terhitung sangat efektif dalam menampilkan seorang Frances yang pintar dan bijak dengan jiwa anak-anak yang ia miliki.
Overall, ‘Saint Frances’ adalah film yang memuaskan. Memang di satu atau dua hal ia terasa kurang mengigit namun apa yang ditampilkan Alex Thompson di sini sukses membentuk berbagai isu seperti aborsi, depresi, gender hingga arti bahagia itu menjadi sebuah eksplorasi yang menciptakan koneksi manis antara karakter dan penonton. Banyak tawa, ada penggambaran tentang moral, dan mungkin akan muncul air mata, ‘Saint Frances’ merupakan sebuah feel-good dan comforting dramedy tentang tentang menjalani sebuah kehidupan yang tidak sempurna. Segmented.












1 comment :