16 February 2020

Movie Review: Milea: Suara dari Dilan (2020)


Aku pacarmu, aku yang seharusnya kamu dengar.

Mereka adalah dua sejoli yang dengan sangat cepat tidak hanya sukses mencuri perhatian namun juga menciptakan Dilan-effect dalam gelombang yang sangat besar, kisah cinta dua remaja sekolah menengah atas yang dipenuhi pertengkaran hingga adu rayu di jalanan. Sukses menempati posisi kedua (Dilan 1990) dan ketiga (Dilan 1991) dalam daftar film Indonesia terlaris sepanjang masa, kisah dua sejoli tersebut kembali hadir namun kali ini dengan memutar sudut pandang: bagaimana jika cerita disampaikan oleh Dilan? Milea: Suara dari Dilan : a punchless continuation for love story of Dilan and Milea.

Abdul Dilan (Iqbaal Ramadhan) merupakan seorang remaja siswa sekolah menengah atas di Kota Bandung, wajahnya yang tampak lembut ternyata berbanding terbalik dengan karakter yang ia punya. Dilan merupakan pemimpin sebuah geng motor di Bandung, ia bersama dengan anggota geng motornya tersebut tidak segan untuk melancarkan serangan jika sesuatu hal yang tidak menyenangkan menimpa mereka. Dilan punya watak keras, kerap kesulitan mengontrol emosi yang mengakibatkan dirinya berubah menjadi buas, hal yang kerap menjadi batu kerikil bagi Dilan.

Salah satunya adalah pada hubungan asmara yang Dilan jalin bersama dengan Milea. Milea Adnan Hussain (Vanesha Prescilla), seorang siswi yang baru pindah ke Bandung dari Kota Jakarta, remaja wanita yang dengan sangat mudah jatuh hati pada Dilan yang selalu menghujaninya dengan berbagai rayuan gombal. Tapi ada satu hal yang Milea tidak suka dari Dilan, yaitu fakta bahwa Dilan adalah anggota geng motor. Milea ingin Dilan keluar dari geng motor, hal yang menimbulkan dilema bagi Dilan.


Merupakan sesuatu yang sangat menarik jika sesuatu dilihat dari berbagai sudut pandang, dan itu juga berlaku pada film. Dua tahun lalu kita bertemu dengan Abdul Dilan dan Milea Adnan Hussain lewat film ‘Dilan 1990’, dan setahun kemudian kedua sejoli yang gemar adu rayu di atas motor tanpa menggunakan helm itu kembali menyapa lewat ‘Dilan 1991’. Dua film tersebut mencoba membawa penonton menyaksikan kisah asmara Dilan dan Milea, dari pertemuan yang dipenuhi rasa percaya diri oleh seorang Dilan, berbagai hal terkait geng motor, hingga akhirnya tahun lalu memberikan sebuah jawaban untuk akhir kisah mereka. Semua itu dari sudut pandang Milea.

Di film ini ide yang ditawarkan adalah memutar sudut pandang tersebut. Sinopsis seperti rangkuman, pusat cerita masih sama, kisah asmara Dilan dan Milea namun kali ini kisah tersebut “diceritakan” oleh Dilan. Diangkat dari novel dengan judul yang sama sebenarnya itu merupakan ide yang sangat menarik terlebih jika mengingat impresi yang Dilan ciptakan di dua film sebelumnya, yaitu sebagai karakter dengan pesona yang unik, seorang remaja beranjak dewasa dengan watak keras yang kemudian "luluh" oleh satu wanita bernama Milea, dipenuhi ego serta rasa sayang dan juga cinta Dilan sedang bertarung dengan dirinya sendiri di dalam sebuah proses menemukan jati diri.


Lantas bagaimana cerita dari sudut pandang Si Panglima Tempur yang doyan merangkai kata-kata penuh rayuan gombal ini? Sayangnya tidak terlalu menarik. Skenario yang ditulis oleh Pidi Baiq bersama Titien Wattimena sebenarnya punya awalan yang terasa oke, pendekatan cerita yang coba diterapkan terasa halus di bagian awal terutama pada fase di mana penonton secara singkat coba dibawa kembali untuk “mengingat” alasan kenapa kisah cinta Dilan dan Milea adalah sesuatu yang menarik. Di bawah kendali Fajar Bustomi dan Pidi Baiq film ini start seperti film pertama, terasa santai dengan sedikit upaya memberikan detail lebih pada karakter Dilan.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara cerita kemudian berkembang dari fase awal tersebut. Berbagai potongan dari dua film sebelumnya yang dihadirkan di film ini sebenarnya bukan sesuatu yang terasa mengganggu, mereka ibarat berbagai daratan yang telah terbentuk dan eksis. Kini Fajar Bustomi dan Pidi Baiq mencoba menghadirkan “jembatan” yang berfungsi untuk menghubungkan berbagai daratan tersebut, namun sayangnya mereka terasa kurang kokoh. Secara konteks sebenarnya oke terutama pada situasi emosi Dilan yang dilanda berbagai konflik, penuh dilema yang memaksanya untuk membuat keputusan. Tapi secara fungsi mayoritas dari mereka tidak dapat berdiri sejajar dengan materi dari dua film pertama yang dihadirkan kembali.


Pada akhirnya ‘Milea: Suara dari Dilan’ seperti sebuah speedboat di dalam danau yang memilih untuk mengapung dengan tenang, tetap berlayar tapi miskin “sensasi”. Banyak bagian dari cerita yang sebenarnya dapat menjadi arena menampilkan berbagai “gelombang” emosi, kasih sayang, dan juga cinta yang jauh lebih besar dan lebih menarik, dari rasa kehilangan Dilan pada Milea hingga keputusan Dilan untuk berdamai dengan emosi dan perasaannya. Tapi sayangnya mereka hadir tanpa disertai eksplorasi yang lebih kuat, cukup proporsional memang, contohnya seperti sebab dan akibat dari berbagai momen di dua film pertama yang terasa cukup oke dan sebagai satu kemasan juga terasa cukup compact, tapi terasa mengecewakan jika mengingat potensi yang ia miliki di awal.

Ide utama juga menjadi dasar dari salah satu kelemahan di film ini, yaitu memberi kendali pada Dilan untuk bercerita menjadikan karakter Milea terasa seperti terpinggirkan. Milea adalah “kunci” di dua film sebelumnya, ia berhasil menjadi karakter yang terasa “menarik” karena ia yang menggerakkan kisah cinta itu sehingga di sisi lain Dilan juga bebas menjadi “pion” yang bergerak liar dengan pesona miliknya. Menjadi pencerita Dilan tidak dilengkapi dengan materi yang dapat ia gunakan untuk “membumbui” perspektifnya di sini, fokus yang terbagi antara menjadi dewasa dan juga cinta membuat kisah cintanya dengan Milea terasa kurang mempesona, beberapa bagian bahkan terasa hambar.


Overall, ‘Milea: Suara dari Dilan’ adalah film yang kurang memuaskan. Fajar Bustomi dan Pidi Baiq sebenarnya punya “kanvas” yang lebih menarik di film ini, cerita sudah terbentuk untuk kemudian diisi dengan memutar sudut pandang karakter ditemani dengan dramatisasi pada cerita. Sayangnya hal terakhir tadi terasa kurang, ini bermain aman dengan sepenuhnya mengandalkan pesona seorang Dilan. Cukup proporsional memang dan jika dinilai sebagai upaya “menjelaskan” belaka ini mencapai sasaran, tapi di luar itu sudut pandang dari Si Panglima Tempur ini terasa tidak terlalu menarik, such a tasteless and punchless continuation. Segmented.











1 comment :

  1. Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. :)

    ReplyDelete