25 March 2020

Movie Review: Jojo Rabbit (2019)


“Not everyone is lucky enough to look stupid.”

Ada banyak materi cerita yang sebenarnya ada di kategori "riskan" untuk diceritakan kembali ke dalam bentuk media film, apalagi jika digunakan sebagai bahan utama komedi penuh lelucon. Salah satunya adalah Adolf Hitler, sosok penguasa Jerman dan pemimpin Partai Nazi, pria radikal yang telah dikenal dengan image “kejam” mungkin hampir di seantero dunia. Bagaimana jika Adolf Hitler digunakan sebagai lelucon, di film ini ia bahkan dilabeli sebagai "pathetic little man who can't even grow a full mustache." ‘Jojo Rabbit’ : a good anti-hate satire comedy. 

Jojo Betzler (Roman Griffin Davis) merupakan anggota Hitlerjugend (The Hitler Youth) yang memiliki sifat unik, memilih bergabung dengan organisasi yang mengharuskan memiliki sikap pemberani namun ia justru memiliki hati yang lembut dan tidak begitu menyukai kekerasan. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu merupakan penggemar berat sosok pemimpin Partai Nazi, yakni Adolf Hitler, ia bahkan memiliki teman bayangan bernama Adolf (Taika Waititi) yang kerap menjadi teman berbincangnya.

Suatu ketika saat sedang berusaha untuk berubah menjadi sosok yang tangguh Jojo bertemu dengan masalah baru. Ibu Jojo, Rosie (Scarlett Johansson), ternyata tidak hanya menyimpan rahasia dari Jojo terkait pilihan politiknya saja, ia juga ternyata menyediakan tempat bagi seorang wanita muda bernama Elsa Korr (Thomasin McKenzie) di dalam kamar anak perempuannya, Inge, yang sudah meninggal dunia. Jojo menyimpan rasa tertarik pada Elsa terlebih dengan fakta bahwa wanita tersebut merupakan seorang Yahudi.
Dari tiga film sutradara Taika Waititi, yaitu Boy, What We Do in the Shadows, dan Hunt for the Wilderpeople, dapat di mengerti mengapa pada film terbarunya ini pria asal Selandia Baru itu menghadirkan kisah Jojo dan perjuangannya dengan menggunakan berbagai materi yang terasa “risky” tadi. Karena Taika Waititi tampaknya gemar making fun of someone or something di dalam filmnya. Di sini Taika Waititi mencoba menghadapi rintangan tersebut, membawa ke layar lebar kisah yang diadaptasi dari buku Caging Skies karya Christine Leunens untuk kemudian menciptakan sebuah sajian satire dengan tujuan utama yang sangat bagus, yaitu kisah anti-hate yang mencoba mendorong perdamaian di dalam keberagaman.

Taika Waititi (Thor: Ragnarok) juga menjadi screenwriter di sini dan harus diakui script yang ia ciptakan itu memiliki kualitas yang baik. Di awal kita bertemu Jojo penonton dibuat menilai bahwa ini adalah upaya seorang anak laki-laki untuk keluar dari zona nyamannya, tapi ternyata Taika Waititi turut menghadirkan berbagai isu dan tema yang lebih kompleks lagi. Taika sangat cerdik dalam menciptakan dialog, baik yang sederhana seperti isi surat Nathan itu hingga ketika terjadi percakapan atau monolog dengan speed yang cepat. Dipenuhi dengan banyak sekali pergeseran tone yang saling bertukar posisi, ‘Jojo Rabbit’ punya isu perdamaian dan di balik tragedi, baik itu dalam peperangan hingga yang sederhana seperti gejolak di dalam diri seorang Jojo.
Jojo adalah karakter yang menarik, ia punya tekad yang besar untuk dapat menjadi seperti idolanya yang merupakan sosok paling ditakuti kala itu namun di sisi lain ia belum untuk menjadi tangguh. Lewat karakter Jojo sutradara Taika Waititi mencoba menunjukkan hati yang dimiliki oleh seorang manusia, dari ketika ia melepas kelinci yang menjadi asal mula dari julukannya hingga bagaimana ia akhirnya menjalin koneksi dengan Elsa. Terdapat gejolak yang sebenarnya cukup rumit di sana, beberapa memang terasa longgar dalam presentasinya namun penonton tetap dapat dengan mudah memahami maksud dan fungsi dari kehadiran mereka. Dan yang paling penting, Taika Waititi berhasil membuat penonton merasa simpati pada Jojo dan situasi yang ia hadapi.

‘Jojo Rabbit’ memiliki beberapa momen yang sukses mengaduk emosi penonton secara sederhana dengan kesan yang oke sehingga mampu terus mengunci atensi penonton kemudian dibawa bermain-main lagi dengan elemen komedi. Ada range emosi yang oke dan meskipun tidak semuanya sukses menghasilkan tawa besar namun aksi comic Jojo, Adolf, dan karakter lain juga berhasil tampil lucu dan mengundang senyum. Ambil contoh karakter Captain Klenzendorf yang coba dibentuk untuk tampak eksentrik, Fräulein Rahm sebagai side-kick character, sedangkan Yorki menjalankan tugasnya sebagai contoh dari apa yang ingin dilakukan oleh Jojo, namun dengan eksplorasi yang tepat terhadap fakta bahwa Yorki adalah seorang anak kecil dengan segala keterbatasannya.
Taika Waititi membentuk karakter-karakter tadi secara sederhana dan efektif, yang mungkin terasa sedikit kurang justru ada pada karakter yang ia perankan sendiri, yaitu Adolf. Fungsi dari Adolf berada di samping Jojo terasa jelas namun tugasnya sendiri kurang menarik mengingat koneksi antara Jojo dan Elsa yang terasa lebih menarik serta kondisi datang dan pergi yang terus dilakukan oleh Adolf. Hal terakhir tadi pula yang membuat narasi yang berjalan jadi terasa kurang compact, karena Taika mencoba melakukan banyak hal tone cerita dipenuhi loncatan yang eksekusinya terasa kurang seimbang. ‘Jojo Rabbit’ kerap terasa offbeat dan walaupun mampu mengaduk emosi penonton dengan oke namun hingga akhir ‘Jojo Rabbit’ berada di frekuensi yang rata, tidak ada pukulan atau punch yang sukses memberikan kejutan.

Semua tergantung ekspektasi yang penonton taruh, namun jika menilik apa yang pernah Taika ciptakan di ‘Hunt for the Wilderpeople’ kualitas film terbarunya berada di bawah film tersebut. Yang masih sama memikatnya adalah kemampuan Taika Waititi mengarahkan aktor dan aktris, mereka menghadirkan kinerja akting yang memikat di sini. Tugasnya menjadi kapten yang quirky dijalankan dengan baik oleh Sam Rockwell (Seven Psychopaths, The Way Way Back, sedangkan Rebel Wilson dan Archie Yates menjadi vitamin c yang bagus di bagian komedi. Scarlett Johansson (Her, Under the Skin, Lucy, Avengers: Endgame) tampil brilliant di mana pesonanya terasa memikat dan sukses membuat kejutan itu terasa kuat, Thomasin McKenzie (Leave No Trace) kembali membuktikan talentanya di sini dengan materi sederhana emosi Elsa ia pancarkan dengan baik, sedangkan the real star, Roman Griffin Davis, mampu membentuk semua daya tarik yang dimiliki Jojo dengan sangat baik.
Overall, ‘Jojo Rabbit’ adalah film yang cukup memuaskan. Taika Waititi kembali berhasil menghadirkan sajian comedy-drama yang terasa unik, kali ini dengan menggunakan latar Perang Dunia II di tangannya cerita dari ‘Jojo Rabbit’ berhasil membuat penonton mengerti dan merasakan berbagai isu yang coba ditampilkan bersama narasi yang bergerak lincah dan mengandung emosi yang cukup oke. Sayangnya pada eksekusi terasa kurang compact, penuh loncatan dengan tone yang kurang seimbang serta tidak punya banyak resonansi dan punch yang terasa memikat. Amusing and touching, ini adalah sebuah sajian anti-hate satire yang menyenangkan meskipun minim kejutan dari seorang Taika Waititi.











1 comment :

  1. One day you'll make time. You'll think of nothing else. You'll meet someone, and spend your days, dreaming of the moments you can hold them in your arms again. That's love. :)

    ReplyDelete