“Not
everyone is lucky enough to look stupid.”
Ada
banyak materi cerita yang sebenarnya ada di kategori "riskan" untuk
diceritakan kembali ke dalam bentuk media film,
apalagi jika digunakan sebagai bahan utama komedi penuh lelucon. Salah satunya
adalah Adolf Hitler, sosok penguasa
Jerman dan pemimpin Partai Nazi, pria radikal yang telah dikenal dengan image “kejam” mungkin hampir di seantero
dunia. Bagaimana jika Adolf Hitler
digunakan sebagai lelucon, di film ini ia bahkan dilabeli sebagai "pathetic little man who can't even
grow a full mustache." ‘Jojo Rabbit’ : a good anti-hate satire comedy.
Jojo Betzler (Roman Griffin Davis)
merupakan anggota Hitlerjugend (The
Hitler Youth) yang memiliki sifat unik, memilih bergabung dengan organisasi
yang mengharuskan memiliki sikap pemberani namun ia justru memiliki hati yang
lembut dan tidak begitu menyukai kekerasan. Anak laki-laki berusia sepuluh
tahun itu merupakan penggemar berat sosok pemimpin Partai Nazi, yakni Adolf Hitler, ia bahkan memiliki teman
bayangan bernama Adolf (Taika Waititi)
yang kerap menjadi teman berbincangnya.
Suatu
ketika saat sedang berusaha untuk berubah menjadi sosok yang tangguh Jojo bertemu
dengan masalah baru. Ibu Jojo, Rosie
(Scarlett Johansson), ternyata tidak hanya menyimpan rahasia dari Jojo
terkait pilihan politiknya saja, ia juga ternyata menyediakan tempat bagi seorang
wanita muda bernama Elsa Korr (Thomasin
McKenzie) di dalam kamar anak perempuannya, Inge, yang sudah meninggal dunia. Jojo menyimpan rasa tertarik pada
Elsa terlebih dengan fakta bahwa wanita tersebut merupakan seorang Yahudi.
Dari
tiga film sutradara Taika Waititi,
yaitu Boy, What We Do in the Shadows,
dan Hunt for the Wilderpeople, dapat
di mengerti mengapa pada film terbarunya ini pria asal Selandia Baru itu
menghadirkan kisah Jojo dan perjuangannya dengan menggunakan berbagai materi
yang terasa “risky” tadi. Karena
Taika Waititi tampaknya gemar making fun
of someone or something di dalam filmnya. Di sini Taika Waititi mencoba menghadapi rintangan tersebut, membawa ke layar
lebar kisah yang diadaptasi dari buku Caging
Skies karya Christine Leunens
untuk kemudian menciptakan sebuah sajian satire dengan tujuan utama yang sangat
bagus, yaitu kisah anti-hate yang mencoba mendorong perdamaian di dalam
keberagaman.
Taika Waititi (Thor: Ragnarok) juga
menjadi screenwriter di sini dan
harus diakui script yang ia ciptakan
itu memiliki kualitas yang baik. Di awal kita bertemu Jojo penonton dibuat
menilai bahwa ini adalah upaya seorang anak laki-laki untuk keluar dari zona nyamannya, tapi ternyata Taika Waititi turut menghadirkan
berbagai isu dan tema yang lebih kompleks lagi. Taika sangat cerdik dalam
menciptakan dialog, baik yang sederhana seperti isi surat Nathan itu hingga
ketika terjadi percakapan atau monolog
dengan speed yang cepat. Dipenuhi
dengan banyak sekali pergeseran tone yang
saling bertukar posisi, ‘Jojo Rabbit’
punya isu perdamaian dan di balik tragedi, baik itu dalam peperangan hingga
yang sederhana seperti gejolak di dalam diri seorang Jojo.
Jojo
adalah karakter yang menarik, ia punya tekad yang besar untuk dapat menjadi
seperti idolanya yang merupakan sosok paling ditakuti kala itu namun di sisi
lain ia belum untuk menjadi tangguh. Lewat karakter Jojo sutradara Taika Waititi mencoba menunjukkan hati
yang dimiliki oleh seorang manusia, dari ketika ia melepas kelinci yang menjadi
asal mula dari julukannya hingga bagaimana ia akhirnya menjalin koneksi dengan
Elsa. Terdapat gejolak yang sebenarnya cukup rumit di sana, beberapa memang
terasa longgar dalam presentasinya namun penonton tetap dapat dengan mudah
memahami maksud dan fungsi dari kehadiran mereka. Dan yang paling penting,
Taika Waititi berhasil membuat penonton merasa simpati pada Jojo dan situasi
yang ia hadapi.
‘Jojo Rabbit’
memiliki beberapa momen yang sukses mengaduk emosi penonton secara sederhana dengan
kesan yang oke sehingga mampu terus mengunci atensi penonton kemudian dibawa
bermain-main lagi dengan elemen komedi. Ada range
emosi yang oke dan meskipun tidak semuanya sukses menghasilkan tawa besar
namun aksi comic Jojo, Adolf, dan
karakter lain juga berhasil tampil lucu dan mengundang senyum. Ambil contoh
karakter Captain Klenzendorf yang
coba dibentuk untuk tampak eksentrik, Fräulein
Rahm sebagai side-kick character,
sedangkan Yorki menjalankan tugasnya
sebagai contoh dari apa yang ingin dilakukan oleh Jojo, namun dengan eksplorasi
yang tepat terhadap fakta bahwa Yorki adalah seorang anak kecil dengan segala
keterbatasannya.
Taika Waititi
membentuk karakter-karakter tadi secara sederhana dan efektif, yang mungkin
terasa sedikit kurang justru ada pada karakter yang ia perankan sendiri, yaitu Adolf. Fungsi dari Adolf berada di samping Jojo terasa jelas namun tugasnya sendiri
kurang menarik mengingat koneksi antara Jojo dan Elsa yang terasa lebih menarik
serta kondisi datang dan pergi yang terus dilakukan oleh Adolf. Hal terakhir
tadi pula yang membuat narasi yang berjalan jadi terasa kurang compact, karena Taika mencoba melakukan
banyak hal tone cerita dipenuhi
loncatan yang eksekusinya terasa kurang seimbang. ‘Jojo Rabbit’ kerap terasa offbeat
dan walaupun mampu mengaduk emosi penonton dengan oke namun hingga akhir ‘Jojo Rabbit’ berada di frekuensi yang
rata, tidak ada pukulan atau punch yang
sukses memberikan kejutan.
Semua
tergantung ekspektasi yang penonton taruh, namun jika menilik apa yang pernah
Taika ciptakan di ‘Hunt for the
Wilderpeople’ kualitas film terbarunya berada di bawah film tersebut. Yang
masih sama memikatnya adalah kemampuan Taika Waititi mengarahkan aktor dan
aktris, mereka menghadirkan kinerja akting yang memikat di sini. Tugasnya
menjadi kapten yang quirky dijalankan
dengan baik oleh Sam Rockwell (Seven Psychopaths, The Way Way Back) ,
sedangkan Rebel Wilson dan Archie Yates menjadi vitamin c yang
bagus di bagian komedi. Scarlett Johansson (Her, Under the Skin, Lucy, Avengers: Endgame) tampil brilliant di mana pesonanya
terasa memikat dan sukses membuat kejutan itu terasa kuat, Thomasin McKenzie (Leave No Trace) kembali membuktikan talentanya
di sini dengan materi sederhana emosi Elsa ia pancarkan dengan baik, sedangkan the real star, Roman Griffin Davis,
mampu membentuk semua daya tarik yang dimiliki Jojo dengan sangat baik.
Overall, ‘Jojo Rabbit’
adalah film yang cukup memuaskan. Taika Waititi kembali berhasil menghadirkan
sajian comedy-drama yang terasa unik,
kali ini dengan menggunakan latar Perang Dunia II di tangannya cerita dari ‘Jojo Rabbit’ berhasil membuat penonton
mengerti dan merasakan berbagai isu yang coba ditampilkan bersama narasi yang
bergerak lincah dan mengandung emosi yang cukup oke. Sayangnya pada eksekusi
terasa kurang compact, penuh loncatan
dengan tone yang kurang seimbang
serta tidak punya banyak resonansi dan
punch yang terasa memikat. Amusing and touching, ini adalah sebuah
sajian anti-hate satire yang
menyenangkan meskipun minim kejutan dari seorang Taika Waititi.
One day you'll make time. You'll think of nothing else. You'll meet someone, and spend your days, dreaming of the moments you can hold them in your arms again. That's love. :)
ReplyDelete