07 January 2019

Movie Review: Leave No Trace (2018)


“I don't have the same problem you have.”

Sebagai seorang anak sudah menjadi tanggung jawab kita untuk membuat Orangtua bahagia, tapi apakah itu harus dengan membatasi kesempatan kita untuk bahagia dengan pilihan kita sendiri? Di sisi lain, Orangtua tentu ingin agar sang anak tumbuh dengan baik di bawah bimbingan mereka, tapi apakah itu dapat menjadi alasan untuk bersikap egois dan membatasi anak untuk menentukan pilihannya sendiri? Simple case tadi menjadi selimut manis dari berbagai isu lain dalam kisah tentang “rediscover” ini. Leave No Trace: a subtle dan soulful drama about human, humanity, and humanism.

Seorang veteran pada Perang Irak dan kini menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD), pria bernama Will (Ben Foster) memilih untuk tinggal di dalam public park di kota Portland, Oregon. Segala sesuatu yang ia butuhkan sehari-hari ada di sebuah area kecil yang menjadi tempat tinggalnya bersama anak perempuannya, Tom (Thomasin McKenzie). Berusia 13 tahun sejak kecil Tom menjadikan sang ayah sebagai “ensiklopedia” utamanya, dari cara memasak hingga melarikan diri dari polisi.

Celakanya suatu ketika muncul masalah yang kemudian membawa Will dan Tom masuk ke dalam society yang selama ini mereka coba hindari. Hadir pria bernama Mr. Walters (Jeff Kober) yang mencoba membantu Will dan juga Tom, namun sayangnya upaya tersebut dianggap “berlebihan” oleh Will. Seolah alam terus memanggil Will untuk kembali pulang, tapi ternyata tidak sepenuhnya berhasil pada Tom yang mulai menemukan banyak hal menarik di sekitarnya. Ikatan kasih sayang antara Will dan Tom diuji.


‘Leave No Trace’ berhasil menarik perhatian sejak momen pertama, membawa penonton menyaksikan relationship di antara dua karakter utama yang tampak sangat kompak dalam menjalani aktifitas sehari-hari mereka bersama. Dengan sangat cepat penonton dapat melihat dan juga merasakan bahwa terdapat ikatan yang kuat dan juga intim di antara Tom dan juga ayahnya, hidup bersama di dalam sebuah hutan terpencil mereka tidak hanya tampak bahagia namun juga puas dalam menjalani rutinitas mereka. Sutradara Debra Granik (Winter's Bone) memberikan kesempatan yang cukup untuk penonton mengamati kehidupan yang sehari-hari yang terisolasi itu.

Dan itu adalah sebuah pondasi yang sangat kuat untuk menopang apa yang kemudian selanjutnya hadir. Sama seperti dua karakter utama, cerita yang ditulis Debra Granik bersama Anne Rosellini berdasarkan novel My Abandonment karya Peter Rock ini tidak mencoba bercerita secara eksplisit, aktifitas Will dan Tom seolah dibiarkan mengalir dengan tenang. Perlahan mulai muncul pertanyaan, apa yang film ini hendak sampaikan? Kehidupan menyendiri untuk menjauhi segala macam stress di dunia masa kini? Atau mereka adalah buronan yang sedang kabur dan menjadi target polisi? Penonton dibawa semakin merasa asyik mengamati subjek cerita sembari bertanya-tanya, dan kemudian muncul masalah.


Sama seperti di Winter's Bone, di sini Debra Granik kembali menunjukkan sensitifitasnya dalam bercerita. Timing pada transisi antar bagian terasa sangat halus namun sangat efektif pula, ia sukses menampilkan sebuah cerita yang tampak seolah tidak memiliki “masalah” namun justru mengandung berbagai banyak “masalah” yang menarik. Dan celakanya mereka semua tidak terasa complicated, hanya kumpulan pertanyaan sederhana tentang kehidupan yang ditampilkan secara implisit namun punya power kuat untuk menusuk tajam ke dalam emosi penontonnya. Put it simple, ini adalah kisah tentang proses penemuan kembali, sebuah proses rediscover.

Rediscover dapat dikatakan sebagai selimut utama dari cerita, karena dibalik itu tersimpan berbagai “masalah” atau bahkan tragedi lain yang menarik. Tapi Debra Granik tidak gegabah, dia tidak mengeksploitasi secara berlebihan, yang ia hadirkan justru sebuah eksplorasi yang tampil tenang. Berbagai isu yang menarik tersebut tampil layaknya sebuah potongan puzzle, masing-masing mengandung detail yang terasa sederhana namun cantik, hadir dalam sebuah perputaran yang episodic dan menciptakan sebuah “echo” yang kumulatif. Hasilnya, sebuah kisah tentang human, humanity, dan humanisme dengan gaung yang sangat besar dan kencang.


Karakter Will yang dipenuhi rasa ragu merupakan salah satu kunci penting ‘Leave No Trace’, dari society dan komunitas yang dipenuhi orang asing muncul kesempatan, namun rasa takut dan tidak siap untuk berubah justru menghasilkan tragedi. Simple memang namun itu salah satu values menarik yang Granik hadirkan di sini, dari rasa takut hingga rasa bersalah dan juga malu, ini adalah kisah tentang karakter yang terluka dan mencoba untuk “mengatasi” dunia. Sebuah presentasi yang subtle and soulful, berbagai isu seperti tadi terus membuat narasi terasa aktif menghadirkan emosi yang manis, terus terasa intim bersama atmosfir cerita yang terasa sejuk dan juga renyah.

Pencapaian Debra Granik pada ‘Leave No Trace’ juga tidak lepas dari kinerja acting dari dua pemeran utamanya, Ben Foster dan Thomasin McKenzie. Will dan Tom ibarat sebuah tim, masing-masing memiliki isu yang menarik namun mereka sangat bersinar ketika bersama, karena terdapat simbiosis mutualisme di antara mereka. Ben Foster sukses membuat Will sebagai subjek dengan psikologis yang menarik, pria yang merasa uncomfortable namun malu untuk melepaskan pride and his selfishness. McKenzie membuat Tom menjadi wanita muda yang jatuh cinta dengan adulthood dan “new world”, sosok baik hati yang dipenuhi rasa ingin tahu. Chemistry di antara keduanya sangat manis dengan berbagai “gesekan” yang terasa sangat oke.


Overall, ‘Leave No Trace’ adalah film yang sangat memuaskan. Seorang anak yang self-determined dan mencoba mendobrak “pagar” yang selama ini membatasinya, orang tua yang prideful dan dipenuhi rasa takut, sederhananya ‘Leave No Trace’ seperti itu. Namun jika digali lebih dalam terdapat sebuah extraordinary story dengan detail dan echo yang sangat manis di setiap kepingan puzzle. The mood, the story, the characters, ini merupakan sebuah moving drama tentang rediscover yang well-acted, well-written, and well-presented, membawa penonton menyaksikan sebuah petualangan sederhana yang subtle dan soulful tentang human, humanity, dan humanism. Masterful. Segmented. 










0 komentar :

Post a Comment