24 March 2020

TV Series Review: The End of the F***ing World - Season 2


“Be the protagonist in your own story.”

Bagaimana jika seorang pria muda yang percaya bahwa dirinya seorang psikopat kemudian bertemu dengan seorang wanita muda berjiwa pemberontak yang memiliki bibit seorang psikopat, lalu mereka kini dikejar oleh seorang wanita yang ingin membalaskan dendam yang bersumber dari tragedi seorang psikopat yang hidupnya dihancurkan oleh pria dan wanita muda tadi? Perang psikopat? Di season pertamanya ‘The End of the F***ing World’ memberikan petualangan gila dan unik yang menyenangkan, dua hal yang kembali dieksploitasi di season kedua ini.

Petualangan mereka pada akhirnya berada di dalam sergapan pihak kepolisian dan kini James (Alex Lawther) dan Alyssa (Jessica Barden) telah menjalani kehidupan baru mereka. Masing-masing. Akibat insiden di tepi pantai itu James menerima peluru yang bersarang di tubuhnya, ia harus menjalani perawatan di mana ia mengalami kesulitan berjalan. Tidak hanya itu, sebuah tragedi menimpa ayah James sehingga membuat pria muda yang merasa dirinya seorang psikopat memutuskan untuk tinggal di dalam mobilnya.

Sementara Alyssa punya kehidupan yang sedikit lebih menarik. Berada di bawah pengawasan sang Ibu, Gwen (Christine Bottomley), kehidupan Alyssa tampak normal, dia bahkan menaruh rasa tertarik pada pria bernama Todd (Josh Dylan) dan mereka berencana akan menikah. Yang menjadi masalah adalah tanpa James dan Alyssa sadari aksi keji mereka terhadap Clive Koch (Jonathan Aris) dahulu ternyata menjadi sumber masalah baru yang membuat kehidupan mereka masih belum bisa jauh dari masalah, berasal dari wanita bernama Bonnie (Naomi Ackie) yang berniat membalaskan dendam.
Tahun 2017 yang lalu kisah tentang dua remaja beranjak dewasa yang mencoba keluar” dari kehidupan mereka untuk kemudian sejenak bersenang-senang itu sebenarnya sudah diakhiri dengan sebuah cliffhanger yang bagus, namun di sisi lain memang masih terbuka pintu yang sangat lebar untuk hadirnya kelanjutan kisah James dan Alysssa. Apa yang terjadi setelah insiden di tepi pantai itu? Bagaimana kondisi sepasang kekasih yang sama-sama memiliki semacam gangguan mental menjurus ke arah psikopat itu? Pertanyaan-pertanyaan tadi berhasil dijawab dengan baik di bagian pembuka season kedua ini, Lucy Forbes yang menyutradarai empat episode pertama berhasil menjabarkan kondisi dari dua karakter utama kita secara padat dan terasa ringkas. Yang terpenting pesona mereka tidak tertinggal di season pertama.
Namun hal yang menarik di bagian awal season kedua ini adalah cerita yang masih ditulis oleh Charlie Covell itu justru langsung membawa penonton untuk terlebih dahulu berkenalan dengan karakter baru. Namanya Bonnie, diperankan dengan sangat baik oleh Naomi Ackie, ia mendapat hampir satu buah episode untuk memperkenalkan dirinya, kesempatan yang ia gunakan dengan sangat baik. Karakter Bonnie sendiri tidak jauh berbeda dengan James dan Alyssa, dia tampak dingin namun pesona dari seorang wanita buas terus terpancar darinya. Bonnie pada dasarnya juga masuk ke dalam kategori yang sama dengan James dan juga Alyssa, para manusia muda mereka masih labil dan memiliki sisi “gila” yang jika dipupuk punya potensi berbahaya.
Pesona “menakutkan” dari karakter Bonnie tidak lepas dari alasan utama mengapa ia bisa masuk ke dalam kehidupan James dan Alyssa, yang di season kedua ini sebenarnya juga ingin berusaha untuk saling mengonfirmasi isi hati mereka masing-masing. Kemunculan Bonnie ke dalam cerita terasa halus, secara cerdik Charlie Covell menggunakan salah satu momen paling krusial di season pertama untuk mempertemukan penonton dengan satu lagi karakter psikopat di dalam cerita. Backstory yang digunakan terasa kuat dan punya power mengejutkan yang cantik, tidak heran ketika sepanjang season kedua ini meskipun mereka terus berjalan layaknya pasangan yang sedang "bulan madu" penonton dibuat cemas terhadap karakter James dan Alyssa.
‘The End of the F***ing World’ season kedua ini pada dasarnya merupakan kisah tentang bagaimana psikopat mencoba membunuh psikopat. Ya, sebuah perang (?) antar psikopat? Itu sebuah hack yang sangat bagus sekali dari Charlie Covell, membuat dua karakter lama berada di dalam proses untuk mengambil keputusan terhadap masa depan mereka namun di sisi lain muncul ancaman yang punya potensi merusak masa depan mereka. Presentasinya sendiri dikemas dengan tidak begitu berapi-api sebenarnya, berjalan perlahan dengan ritme yang terasa teratur diselimuti dengan atmosfir yang dingin penonton kembali menyaksikan bagaimana James dan Alyssa seperti selalu dinaungi dewi keberuntungan dengan sukses “lolos” dari berbagai marabahaya.
Aksi balas dendam yang dilakukan Bonnie berhasil mengatur irama cerita yang juga mampu menghadirkan eksplorasi terhadap karakter James dan Alyssa. Dua orang ini pada dasarnya masih terluka akibat kejadian di season pertama namun sangat jelas bagaimana Charlie Covell membuat mereka tampak lebih dewasa secara emosi. Masih dengan jiwa indie di pusat cerita kini James dan Alyssa berusaha untuk menahan sakit dari luka ketimbang berteriak meronta kesakitan, cerita juga menghadirkan kondisi di mana James dan Alyssa secara implisit menganalisa kondisi mereka saat ini akibat dari kejadian yang telah mereka lalui, dari emosi, konsekuensi hingga trauma.
Dampak dari setup tersebut adalah Bonnie pada akhirnya membuat penonton sadar betapa pentingnya fungsi dari kehadirannya di dalam cerita. Bonnie menjadi antagonis baru di dalam cerita, semi, tidak full frontal namun ia juga yang menjadi pintu masuk bagi jawaban yang selama ini James dan Alyssa cari. Mereka tidak lari, mereka tidak sembunyi, mereka justru menunjukkan kedewasaan untuk menghadapi masalah yang sudah tercipta. Itu adalah petualangan sederhana yang menyenangkan, ditemani dengan humor yang mantap membuat kelanjutan cerita ini tidak terasa dipaksakan namun justru menunjukkan kompleksitas dari para psikopat.
The End of the F***ing World’ season kedua ini terasa seperti memberi kesempatan kepada James, Alyssa, dan karakter lain untuk menginvestigasi arti dan esensi dari kehidupan mereka. Sepintas terkesan berat memang namun Lucy Forbes dan Destiny Ekaragha sukses menerjemahkan script dari Charlie Covell menjadi semacam proses refleksi yang thrilling namun tidak over-exploitation, dibantu dengan kinerja akting yang memikat terutama dari tiga pemeran utama, cinematography dan soundtrack yang cantik, serta editing yang terasa padat  ‘The End of the F***ing World’ season 2 berhasil menyajikan sebuah penutup yang sukses menyatukan pesona, energi dan sensitivity dari cerita di season pertama. Very well done.











1 comment :

  1. "Love makes you feel quite clear about what is right and what is wrong." :)

    ReplyDelete