31 July 2014

Movie Review: Under the Skin (2014)


Film-film seperti Under the Skin sebenarnya masuk kedalam kategori “not to miss”, mengapa, alasannya sederhana, karena ia seperti udara di pegunungan yang akan memberikan sensasi segar dan menyejukkan bagi penonton yang selama ini hidup di gegap gempita perkotaan. Ada pengalaman berbeda yang coba ia tawarkan tapi tentu saja dengan resiko yang berasal pula dari dua opsi, hit or miss. Under the Skin, an ambiguous and calm hypnotic adventure with beautiful alien.

Ada sebuah bunyi aneh yang seolah menandakan bahwa sesuatu yang mengerikan telah tiba di bumi, dan tidak lama kemudian seorang pria dengan tampilan pembalap membawa wanita dalam kondisi tak sadarkan diri di bahunya. Wanita itu ia masukkan kedalam sebuah mobil van berwarna putih yang ternyata punya kondisi yang sama putihnya dibagian dalam. Tubuh wanita itu memang terdiam, tapi matanya masih dapat menyaksikan ketika seorang wanita lainnya yang sedang dalam kondisi telanjang mulai melepas dan mencuri satu persatu pakaian miliknya.

Setelah selesai bertransformasi wanita (Scarlett Johansson) itu mulai masuk ke area publik, mulai mencari-cari barang yang di matanya terasa aneh di pusat perbelanjaan, kemudian berkeliling kota di Skotlandia tempat ia terdampar itu dengan mengendarai mobil van putih tadi. Celakanya apa yang ia lakukan ternyata juga sama anehnya, mengemudi secara perlahan untuk secara selektif mulai mencari dan merayu para pria lajang, membawa mereka kedalam sebuah ruangan aneh yang berbahaya. Namun seiring berjalannya waktu wanita tersebut mulai merasakan sesuatu yang aneh datang mengganggunya.


Untuk bagian pembuka saya cukup setuju dengan apa yang telah di bahas sebelumnya pada review pertama Under the Skin di rorypnm, seperti disebutkan diawal tadi bagaimana ketika kita diajak untuk tersesat, terjebak mungkin bahasa lebih halusnya, dalam sebuah petualangan yang tidak pernah berhenti menawarkan pertanyaan dengan hasil sebuah rasa bingung di otak penontonnya. Ini tenang, dan rasa tenang yang secara stabil tersaji itu pula yang menjadikan cerita yang Jonathan Glazer tulis bersama Walter Campbell ini seperti tersenyum licik kepada penontonnya sembari melemparkan satu pertanyaan besar di balik kesan multi tafsir lain yang menemani, “apa pendapat kamu tentang ini?”

Yap, Under the Skin bukan sebuah film yang akan menuntun penontonnya melainkan sebuah hiburan dimana kita sebagai penonton diberikan tema luas untuk kemudian dilepas secara bebas, bergerak liar bersama interpretasi masing-masing dalam memberikan respon kepada masalah yang dilemparkan cerita. Eksperimental, penuh kesan random, anda akan merasa seolah menjadi pada korban, bersedia dibawa terombang-ambing dan berkeliaran bersama seorang alien cantik yang bahkan tidak memiliki nama itu, dipaksa untuk bersabar tapi secara konsisten tetap di jejali dengan berbagai misteri yang ambigu. Apakah buruk? Tidak, karena pada awalnya misi Jonathan Glazer untuk mengajak penonton mengamati dunia para manusia masih tampil dengan sangat kuat.

Bukan hanya terkejut, tapi dengan rasa yang ternyata cukup jauh dari kesan mainstream penonton yang ekspektasi awalnya tidak klik mungkin akan mulai merasakan kegelisahan dibalik aksi berlama-lama yang diterapkan Under the Skin. Sedikit annoying memang, meskipun misteri itu berhasil di jaga tertutup dengan rapat dan terus mengundang rasa penasaran, ditemani visual dengan eksekusi yang berani, score yang imo menjadi daya tarik terbesar, ketika anda telah dapat makna utama yang ia coba bawa ketidakjelasan dipenuhi setting samar itu mulai kehilangan sengatan miliknya, kesepian yang menemani rasa bingung perlahan mulai menggerus kuantitas dan kualitas dari sensasi yang dimiliki cerita.


Ibarat sebuah film horror, anda diberikan jump scare berkualitas di bagian awal, membuat anda siaga dan kemudian menunggu apa yang akan hadir selanjutnya, namun pada akhirnya setelah itu anda hanya mendapatkan hiburan dengan alur yang tenang tanpa kejutan. Ini yang menjadi masalah pada Under the Skin, bukan sebuah degradasi skala besar tentu saja tapi perkembangan karakter yang telah di set sebagai fokus utama itu tidak lagi memperoleh sokongan dari materi yang menarik. Sama, berputar, berkelok-kelok, mondar-mandir dengan rasa yang sama, yang tercipta akhirnya hanya aksi menunggu pada jawaban dari pertanyaan yang telah ia ciptakan diawal dengan tingkat kenikmatan yang sedikit lebih rendah.

Sama seperti sikap ambigu yang ia tawarkan saya juga sedikit bingung dalam menggambarkan apakah ini memuaskan atau tidak. Ada hal-hal yang memberikan impresi sangat besar, dari cara topik utama dibentuk dengan berani dengan sedikit kesan mengulur waktu namun tetap berada dalam koridor yang tepat, hingga kesan abstrak dan random yang juga tampil sama beraninya dan mampu memberikan sensasi yang menarik diawal. Tapi disisi lain tidak boleh dipungkiri pula bahwa dibalik ambisi besar dalam bentuk sederhana itu misi yang Jonathan Glazer bawa tidak menciptakan sebuah hasil yang berada dalam skala masif, tidak ada kalimat “wah, gila,” dibagian akhir, hanya “oh, begitu.”


Overall, Under the Skin adalah film yang cukup memuaskan. Di buka dengan sangat impresif, studi karakter yang menawarkan pertanyaan terkait humanisme ini mulai terasa kurang berkembang sehingga sebuah hasil besar di bagian akhir tidak mampu dicapai. Ada keindahan visual dengan cita rasa stylish yang menemani ketenangan dan kesunyian cerita, ada score yang tidak pernah gagal membuat penontonnya tersenyum puas, ada pula Scarlett Johansson dengan mata, wajah, dan tubuh yang dipenuhi misteri, namun aksi pengulangan menjadikan ini perlahan berubah menjadi sebuah serial killer biasa dan tidak meninggalkan kesan yang kuat sebagai film eksperimental yang konsisten “menyenangkan.”







0 komentar :

Post a Comment