14 May 2022

Movie Review: Fantastic Beasts: The Secrets of Dumbledore (2022)

“There’s nothing you can do to stop me.”

Harry Potter dan teman-temannya memang telah mengakhiri petualangan mereka sekitar satu dekade yang lalu di media film, tapi jelas petualangan itu membekas di hati para penonton dan tentu saja penggemarnya. Tidak heran banyak pihak yang menginginkan lebih, berharap agar dibuatkan kelanjutan. Potensi besar tersebut tentu saja tertangkap radar milik Warner Bros., tidak heran selang dua tahun dari rilis film ‘Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2’ proyek the Fantastic Beasts film series pun digaungkan, jadi bagian ‘The Wizarding World’ dan mencoba memperluas dunia sihir yang telah dimulai oleh Harry Potter dan juga teman-temannya. Film pertama, appealing start. Film kedua, low-stakes entertainment. Film ketiga? ‘Fantastic Beasts: The Secrets of Dumbledore’: sometimes imaginative, often struggles to juggle.


Setelah pertunjukan dramatisnya di Paris' Pere Lachaise Cemetery, penyihir Gellert Grindelwald (Mads Mikkelsen) mulai memiliki banyak pengikut, dan berusaha untuk dapat memimpin Wizarding World Order. Salah satu rencananya adalah membuang keluar para Muggles dari the Wizarding world. Rencana jahat Grindelwald tersebut diketahui oleh Albus Dumbledore (Jude Law) tapi blood pact menghalanginya untuk mengambil tindakan pada mantan temannya itu. Dumbledore menyusun rencana lain dan ia kembali meminta bantuan dari mantan muridnya, Newt Scamander (Eddie Redmayne), yang baru saja mengalami sebuah insiden aneh saat hendak menangkap hewan yang sangat langka.

Scamander kemudian mengumpulkan tim, saudaranya Theseus (Callum Turner), asistennya Bunty (Victoria Yeates), guru sihir Lally Hicks (Jessica Williams), his ally Yusuf Kama (William Nadylam) dan tentu saja, Jacob Kowalski (Dan Fogler). Mereka mengemban tugas dari Dumbledore salah satunya untuk pergi ke Berlin yang sedang memanas menjelang pemilihan ketua baru komunitas penyihir internasional. Namun misi untuk menggagalkan rencana Grindelwald tidak hanya menempatkan mereka berurusan langsung dengan musuh utama, tapi juga mantan pacar Jacob, Queenie Goldstein (Alison Sudol) dan juga seorang "disturbed man”, Credence Barebone (Ezra Miller), sosok yang punya koneksi dengan Albus.

Menyandang status sebagai prequel bagi ‘Harry Potter’ saga jelas mudah bagi film pertama Fantastic Beasts dibanjiri dengan optimisme tinggi, mencoba meneruskan kembali nyawa dari Wizarding World franchise yang sebenarnya belum tertidur lama yakni lima tahun sebelum ia rilis kala itu. Kisahnya sendiri di design menjadi lima buah film dan tidak main-main, J. K. Rowling yang akan menggarap naskah filmnya! Tapi celakanya series yang rencananya akan muncul tiap dua tahun sekali itu justru seperti sesak nafas karena dirundung berbagai masalah, film kedua bahkan secara finansial berada di bawah ‘Harry Potter and the Prisoner of Azkaban’ sebagai film dengan Box office gross terendah di Wizarding World. Fantastic Beasts pun seperti terkena kutukan ilmu hitam: dari Corona, Johnny Depp, hingga J.K. Rowling.


Terkait apa yang terjadi pada dua nama terakhir tadi kamu bisa telusuri di Google, namun jelas dampaknya sangat besar terutama pada rencana besar yang telah dibuat di awal, salah satunya rencana rilis tiap dua tahun tadi. Beberapa perubahan coba dilakukan, Mads Mikkelsen ditunjuk memerankan Gellert Grindelwald sedangkan Steve Kloves direkrut sebagai co-writer, sosok yang terlibat di tujuh dari delapan buah film Harry Potter. Ada upaya untuk “menyelamatkan” series ini meski di bulan April kemarin masalah kembali muncul ketika Ezra Miller berulah di Hawaii, but at least "Fantastic Beasts 3: Secrets of Dumbledore" is finally here. Dan jika mengingat gejolaki masalah yang harus dihadapi hasilapa yang dipresentasikan oleh Sutradara David Yates dan tim di sini tergolong oke.

Sebenarnya ada holes di bagian awal, momen saat Albus Dumbledore tampak seperti tersiksa batinnya, dia terlibat dalam sebuah rencana besar tapi justru "bingung" karena sosok Grindelwald. Yes, some kind of love affair yang untungnya berhasil menjauh dari posisi spotlight di babak selanjutnya, meskipun memang impact dari bagian pembuka itu cukup besar pada emosi film ini, karena fokusnya tertuju pada Albus Dumbledore, pria yang punya rasa percaya diri tinggi namun di sini memberi penonton akses untuk menelisik sisi rentan dan gejolak batinnya, sesuatu yang baru dari sosok Kepala Sekolah Hogwarts itu. Dan sebagai Harry Potter fans hal tersebut membuat film ini jadi menarik untuk saya, kembali ke the Wizarding World sebagai adult dan melihat Albus Dumbledore dari sisi yang berbeda.


Termasuk bertemu dunia magis yang lebih gelap di mana Gellert Grindelwald sedang berusaha untuk merebut kekuasaan, dari pure blood hingga alegori tentang world domination. Tapi menariknya meskipun fokus tertuju pada sosok Dumbledore namun mesin penggerak utama film ini tetaplah Newt Scamander, yang berhasil menghibur dengan that his famous suitcase serta sokongan dari Bowtruckle Pickett dan Niffler Teddy. Dan sama seperti film-film the Wizarding World sebelumnya, sangat mudah untuk kagum dengan sajian visual, terasa solid dan imajinatif dengan detail yang terasa impresif. Menyenangkan, meskipun mudah pula untuk sadar bahwa visual itu adalah upaya distraksi dari cerita yang, well, less impressive, punya banyak ide dan alur cerita tapi sayang tonally inconsistent. Script kelebihan beban.

Yang saya paling sayangkan adalah dengan total durasi 142 menit beberapa storyline tidak mendapat ruang untuk dieksplorasi dan terasa sia-sia eksistensinya. Salah satu hal magis dari film-film “Harry Potter” adalah meskipun tetaplah keajaiban sihir jadi jualan utama tapi ada eksplorasi lebih dalam terhadap individual conflicts karakter, hal tersebut absen di sini padahal ada cukup banyak ruang untuk bersinar. Menaruh karakter Newt Scamander kedalam sebuah misi layaknya film-film pencurian bukan sesuatu yang salah, sedangkan Dumbledore dan Grindelwald secara perlahan getting closer menuju konfrontasi utama mereka, tapi yang kurang adalah emosi yang ikut terlibat di dalamnya. Padahal sudah dipentaskan secara mengesankan tapi mengapa semuanya justru terasa toothless, lack of depth, dan diselesaikan tergesa-gesa.


Memang ada beberapa momen yang berhasil membuat saya merinding, mengingat targetnya juga para die-hard fans maka “pengenalan” pada konflik dan karakter yang tidak terlalu detail di awal juga terasa lumrah, begitupula dengan fan service, bukan masalah besar. Yang jadi masalah itu too many storylines, boomerang karena sulit untuk dikemas menjadi satu kesatuan yang padat. Di sini bahkan timbul pertanyaan, “What about Credence?” David Yates dan tim mencoba mencoba menyatukan banyak hal di sini, sayangnya itu kurang berhasil terlebih di bagian akhir ketika narasi seperti dipaksa berlari karena tiap konflik dan karakter harus "tiba" di satu destinasi. Alhasil, jalan singkat diambil, semuanya berterbangan secara liar dan menciptakan sebuah enchanting chaos.

Ya, ini kekacauan yang mempesona, plot tergolong oke tapi terasa hectic, punya banyak adegan sihir yang imajinatif dan mengesankan tapi narasi lebih sering terasa kesulitan menata konten yang cukup banyak itu. Saya juga kurang suka dengan cara film ini diakhiri karena cukup banyak plot yang terbuka, dan mengingat Warner Bros. mengatakan lampu hijau bagi dua film terakhir tergantung angka yang dihasilkan oleh film ini secara komersial dan critical maka potensi petualangan itu berhenti di sini sangatlah besar. Tidak masalah sebenarnya rescue mission yang coba digunakan sebagai salah satu jalan, begitupula dengan kekacauan politik yang sedang terjadi di dunia sihir, tapi andai saja script tidak bumpy mungkin film ini bisa mendapatkan sebuah konklusi yang layak, semacam small finale dengan duel yang lebih kuat.


Semoga saja film keempat tidak batal diproduksi sehingga setting yang sudah coba dikembangkan di sini dapat diselesaikan lebih baik lagi, tentu saja dengan adanya perbaikan terutama sektor script. Bagian yang kualitasnya layak untuk diulangi lagi di film keempat selain visual adalah kinerja para ensemble cast, di sini menjadi satu kekuatan tersendiri dan berhasil mengunci atensi. Eddie Redmayne berhasil menjadi pilot ditemani Dan Fogler yang sesekali sukses mencuri perhatian, sedangkan Jude Law kembali tampil baik sebagai Albus Dumbledore. Paling standout tentu saja Mads Mikkelsen, memberi pesona baru yang kuat dan menarik bagi Gellert Grindelwald. Bagaimana dengan Ezra Miller? Credence Barebone alias Aurelius Dumbledore punya momen untuk beraksi, but that’s it, tidak lebih.

Overall, ‘Fantastic Beasts: The Secrets of Dumbledore’ adalah film yang cukup memuaskan. Meski dilanda berbagai masalah film ketiga Fantastic Beasts cukup oke dalam membawa penonton masuk lebih jauh ke dalam dunia para penyihir, mampu menghindari kekurangan pendahulunya dan menyajikan magical adventures dengan visual dan moments of magic yang imajinatif, serta ditunjang kinerja cast yang oke dan mumpuni. Tapi script terasa bumpy dan “miskin sihir”, berambisi besar tapi kurang ditata, rushed di bagian akhir meski berakhir dengan emosi yang tidak buruk. Dua film terakhir yang telah direncanakan kini mengundang tanda tanya, mampukah mereka menyelesaikan petualangan ini dengan punch yang lebih kuat dan memikat jika kesempatan itu hadir.





1 comment :

  1. "Things that seem unimaginable today will seem inevitable tomorrow."

    ReplyDelete