15 May 2022

Movie Review: Morbius (2022)

"How far are we allowed to fix something that's broken?"

Sampai saat ini karakter dari Marvel Comics sudah dibuatkan 63 buah film, tersebar memang di mana Marvel Studios yang kita kenal dengan MCU baru memproduksi film mereka di tahun 2008 lewat ‘Iron Man’. Sedangkan 22 tahun sebelumnya ada ‘Howard the Duck’, film pertama dari Marvel Comics publications dan di dua dekade itu ada beberapa studio yang mencoba, salah satunya Columbia Pictures yang pernah membuat lima film Spider-Man sebelum akhirnya “berbagi” dengan Marvel Studio sejak tahun 2017. Mereka juga mencoba membuat “dunia” mereka sendiri, yakni Sony's Spider-Man Universe dan ini adalah film ketiga. Tapi bukankah archenemies Spider-Man hanya tiga: Doctor Octopus, the Green Goblin, dan Venom? ‘Morbius’: Sony without Marvel is nothing but a speck of dust?


Seorang physician bernama Michael Morbius (Jared Leto) sejak kecil telah menderita suatu penyakit yang langka, penyakit kelainan darah yang mematikan dan terus ia coba temukan obatnya. Morbius terus melakukan penelitian karena ingin menjalani kehidupannya secara normal bersama sahabatnya sejak kecil, Milo (Matt Smith) yang juga menderita penyakit serupa. Setelah bertahun-tahun tanpa hasil, ada harapan muncul, berawal dari rekannya Martine Bancroft (Adria Arjona) yang menangkap kelelawar dalam jumlah banyak di Kosta Rika, Morbius mencoba menyatukan gen kelelawar dengan miliknya.

Menggantungkan harapan pada gen kelelawar ternyata merupakan sebuah blunder besar, self-experiment yang penuh resiko itu menghasilkan konsekuensi berbahaya ketika aksi illegal tersebut justru membuat Morbius mendapat kekuatan yang tidak terduga. Kemampuan layaknya manusia super perlahan semakin sulit untuk Morbius kendalikan, membuatnya secara konsisten merasa haus dan juga menginginkan darah manusia. Milo yang tidak tahu dampak negatif dari “obat” itu menginginkan serum buatan Morbius tersebut tadi, yang celakanya justru mengubahnya berproses menjadi vampire.

Kesuksesan yang dicetak oleh ‘Spider-Man: No Way Home’ secara komersial jelas menunjukkan bagaimana banyak penonton sudah lama haus dan merindukan film-film superhero setelah dibelenggu oleh corona pandemic. Pencapaian box office di angka $1.893 billion memang tidak mampu disamai oleh ‘The Batman’ tapi dari segi kualitas mereka berada di kelas yang sama. Adaptasi superhero comic memang telah jadi semacam trend yang semakin kuat posisinya kini, seperti banjir setiap tahunnya selalu ada entri baru di dalam list dan tentu saja merupakan hal positif, karena akan membuat persaingan menjadi lebih ketat dan semakin berwarna. Tidak heran niatan Sony lewat Columbia Pictures untuk menciptakan Sony's Spider-Man Universe adalah something to cherish sebenarnya, tapi memang tidak ada yang langsung sempurna di percobaan pertama.


Apakah itu berarti ‘Venom’ buruk? Tidak, tapi jelas banyak kekurangan di sana yang berhasil diperbaiki oleh film keduanya tahun lalu. Meskipun sampai saat ini masih belum juga melibatkan karakter utamanya, Spider-Man, tapi setidaknya angka yang berhasil dicatatkan di tangga box office tidak super buruk, kombinasi dua film itu sukses menghasilkan uang sebesar kurang lebih $1.3 billion. Ada beberapa faktor yang ikut berperan di sana, salah satunya adalah pesona Tom Hardy dan juga banter antara dirinya dengan karakter Venom. Ada energi yang oke disalurkan kepada para penonton sehingga tidak hanya mereka yang tahu bahwa Venom adalah musuh dari Spider-Man saja yang senang, tapi juga para penonton yang lebih umum. Oke, kenapa memulai review ini dengan hal-hal di atas tadi.

Karena di sanalah letak kegagalan ‘Morbius’. Sebagai superhero film seharusnya jadi sedikit lebih mudah bagi film ini untuk mencuri atensi besar, meskipun dia memang bukan archenemies Spider-Man tapi dengan dijual sebagai bagian dari “kelompok” baru para anti-hero jelas sebenarnya sudah ada plus satu di sana. Tapi Sony gagal di sana, antusiasme penonton terhadap film-film superhero tidak berhasil mereka raih. Penyebabnya berasal dari konsep ‘Morbius’ itu sendiri, prospek yang tidak tampak menarik sehingga tidak ada excitement yang kuat, penonton dari awal sudah skeptis duluan. Subjektif memang dan jika berbicara cara ia dibuka maka ‘Morbius’ tidak terasa terlalu buruk, Daniel Espinosa berhasil mendorong highlight horror dengan atmosfir yang cukup oke, melihat kembali awal "persahabatan" Michael dan Milo.


Yang menjadi masalah adalah apa yang terjadi setelahnya. Ketika karakter vampire anti-hero pada akhirnya menjadi si penghisap darah semua berubah secara cepat menjadi panggung berisikan terror, di sana ada kesan berani dari para petinggi Sony menaruh percaya pada karakter yang tidak mainstream itu, mungkin niatannya agar terasa segar dan mengejutkan seperti Deadpool. Tapi sayangnya pola yang coba digunakan di sini ternyata sama dengan yang digunakan di ‘Venom’, dua karakter membentuk persahabatan, unpredictable abilities menjadi sulit dikendalikan, semua kemudian bergerak di dalam predictable plot. Kita punya vampire di sini tapi “logic” di balik transformasinya lemah, padahal itu bisa menjadi sumber “wow factor” bagi narasi yang bergerak super generic, celakanya tanpa point yang kuat dan penting.

Dua film ‘Venom’ sangat terbantu dari hal itu, meski serupa polanya yakni dari new powers, kisah cinta, hingga penyelamatan tapi setidaknya energi kreatif exist di sana, hiruk-pikuk antara Eddie Brock dan Venom lebih dari cukup untuk sekedar membuat penonton terjaga. ‘Morbius’ tidak punya itu, tidak mampu menyalurkan energi dari karakter dan konflik kepada penonton, dan semakin kacau karena hal tersebut juga terjadi di action sequences. Lompatan dari karakter memang terasa liar, tabrakan ada di banyak bagian dan beberapa hadir dengan super slow motion, tapi tidak ada punch yang kuat dan memikat di sana. Dan anehnya lagi element ini seperti daur ulang dari template yang sudah pernah dipakai oleh, lagi dan lagi, 'Venom'. CGI juga demikian, uninspired sama seperti karakter utama yang terasa pucat dan terkunci di tengah.


Jared Leto tidak punya kebebasan bergerak seperti yang didapat Tom Hardy, alhasil di sini ia konsisten terasa pucat without any trace of the madness. Konsep dua orang "sahabat" tiba-tiba menjadi musuh sebenarnya juga bisa menghasilkan emosi yang oke tapi not really palpable sehingga efek pertarungan itu terasa sangat tipis. Matt Smith lebih baik kinerjanya di sini ketimbang Jared Leto yang tampak “membosankan” itu, dampak dari kegagalan Daniel Espinosa dan tim penulis membuat cerita jadi terasa menarik, the title character bahkan tidak punya pondasi yang terasa kuat dan mapan sejak awal. Tidak heran jika semakin jauh narasi berjalan posisi cerita juga semakin terdegradasi ke posisi belakang, dan dengan absennya karakter yang punya pesona oke membuat ‘Morbius’ becomes a stage for two ugly monsters to beat each other up.

Overall, ‘Morbius’ adalah film yang tidak memuaskan. Perjalanan ke dalam dunia superhero bersama genre horor jelas sesuatu yang menarik dan segar, tapi hal itu gagal dimanfaatkan oleh film ini. Script terasa sangat generic, staging seperti sulit menemukan cara yang menarik, plot terasa clumsy dengan uninspired CGI ditambah para aktor yang kinerja aktingnya terasa “pucat”, film ini mengkonfirmasi fakta bahwa salah satu hal terbaik yang Sony lakukan sejauh ini selain membuat dua buah film Venom adalah meminjamkan Spider-Man kepada Disney. Tanpa Marvel mereka masih kesulitan, tapi masih awal dan ada kesempatan untuk memperbaiki. Semoga saja ada perubahan positif dan film-film SSU mereka tidak lagi seperti ini, an ultimately pretty boring flick, it's a cynical and desperate search for new sources of income. So far Sony tanpa Marvel hanyalah butiran debu. 





1 comment :

  1. "I went from dying to feeling more alive than ever."

    ReplyDelete