30 January 2022

Movie Review: Flee (2021)

“What does home mean to you?”

Film ini berpotensi menciptakan rekor di ajang Academy Awards edisi ke 94, karena sejauh ini masih masuk di dalam bursa kandidat film terbaik di tiga kategori, yakni dokumenter, film internasional, dan animasi. Sebuah kombinasi yang unik memang jika pada akhirnya film ini berhasil meraih nominasi di tiga kategori tersebut secara bersamaan, film internasional berupa dokumenter tidak asing lagi karena tahun lalu ‘Collective’ dan dua tahun lalu ada ‘Honeyland’, namun kombinasi ketiganya peluang terbaik untuk terjadi terakhir kali dimiliki oleh ‘Waltz with Bashir’ tahun 2008 yang lalu. Peluang itu dimiliki film ini. 'Flee (Flugt)': a bold, italic, and underlined optimistic story.


Amin Nawabi kini menetap di Denmark, seorang pria yang cenderung introvert tapi pada akhirnya bersedia menceritakan kisah hidupnya yang kelam kepada sahabat karibnya, sosok yang dulu melihat Amin ketika duduk seorang diri di dalam kereta. Cerita itu dikemas dalam bentuk sebuah wawancara dan fokus utamanya perjuangan Amin sejak pertama kali ia memaksa keluar dari Afghanistan. Amin dulunya gemar memakai dress miliki saudara perempuannya, di tahun 1984 sembari mendengarkan lagu ia dengan riang gembira berkeliling kota Kabul. Namun suatu ketika sosok yang sangat mengagumi Ibunya itu harus kehilangan sang Ayah yang dijemput paksa oleh beberapa orang ketika Afghan mujahideen mulai menguasai negara tersebut.

Pria yang kini telah hidup bahagia dengan Kasper di Denmark itu bersama Ibu dan ketiga saudaranya lantas memilih untuk melarikan diri dari Afghanistan. Merekapun tiba di Moscow satu tahun setelah komunisme runtuh, dan berkat bantuan saudara tertuanya yang bernama Abbas mereka akhirnya bertahan sambil menunggu kabar lanjutan dari Abbas. Namun tahun berganti tahun yang mereka dapat lakukan hanya menunggu di dalam apartement karena ada resiko yang besar dan berbahaya jika melakukan interaksi sosial dengan lingkungan sekitar mereka di luar. Tidak ingin terlalu lama hidup dalam ketidakpastian, Amin dan keluarga mencoba untuk kabur dari Moscow dan menuju tempat tinggal Abbas di Swedia.

First of all, perwakilan negara Denmark di kategori Best International Feature Film di ajang 94th Academy Awards ini merupakan sebuah film yang tidak mudah. Kamu mungkin akan memberi ekspektasi yang cenderung soft mengingat ini merupakan sebuah film animasi tapi percayalah hal itu kurang tepat. Saya dulu juga menaruh ekspektasi yang serupa pada ‘Waltz with Bashir’ namun betapa terkejutnya saya saat Ari Folman mengeksplorasi isu dan pesan yang hendak disampaikan meski memang disajikan lewat visual yang memesona. Belajar dari pengalaman itulah saya menolak untuk menaruh ekspektasi serupa pada film yang naskahnya ditulis oleh Sutradara Jonas Poher Rasmussen bersama dengan narasumber utama, Amin Nawabi, sehingga tidak heran ketika berbagai kejutan itu muncul saya tidak terguncang.


‘Flee’ bukan untuk mereka yang berpikiran sempit apalagi tertutup melainkan bagi mereka yang senang ketika sudut pandang terhadap sesuatu coba distimulasi. Tidak ada yang berlebihan sebenarnya di sini tapi jelas konflik utama yakni seorang pria yang kabur dari negaranya Afghanistan dan menjadi pengungsi ke Denmark adalah sesuatu yang potensial untuk terasa sensitif bagi beberapa kalangan, belum lagi jika ikut menghintung beberapa kejutan setelahnya. Menariknya Jonas Poher Rasmussen care tapi tidak terbebani akan itu, ia fokus menempatkan kisah menyedihkan yang dialami Amin untuk secara bertahap menarik simpati, empati, dan emosi penonton semakin jauh. Jelas ada sikap hati-hati di sana namun narasi konsisten terasa lincah saat bertutur terutama pada eksposisi, gradually getting more and more attractive.

Kombinasi itu yang membuat ‘Flee’ konsisten tampil layaknya sebuah curahan hati yang terasa intim, sejak awal ada terms and condition yang membuat cerita terasa rumit tapi blur, protagonist utama seperti dibentuk sebagai sosok misterius dalam bentuk karakter animasi. Beberapa akan merasa ganjil tapi proses interview dari dan kepada karakter animasi efektif menjaga kesan unik narasi yang sesekali diselipkan arsip rekaman peristiwa di dunia nyata. Style animasi yang digunakan Jonas Poher Rasmussen juga oke, mampu menjalankan tugas sebagai media lain cerita berbicara tapi di sisi lain tidak menciptakan kesan terlalu glossy sehingga terdapat kesan yang sedikit “mentah” pada visual, banyak membantu terbentuknya emosi dan juga dalam menciptakan kesan mengerikan di balik perjuangan Amin.


Tapi keunikan Flee tidak berhenti di sana, karena meskipun penonton tahu bahwa ini mengambil pusat pada sebuah wawancara tapi kesan “misterius” di dalam cerita juga tercipta. Sumbernya dari diri Amin sendiri, intensinya tergantung interpretasi tiap penonton tapi bagi saya hal tersebut justru digunakan Jonas Poher Rasmussen untuk menunjukkan kondisi bahwa tidak mudah bagi Amin untuk menyampaikan masa lalu kelamnya tersebut, perjuangannya di Afghanistan hingga harus melalui “penjara” di Rusia sebelum akhirnya dipaksa mengambil aksi berani. Belum lagi jika menghitung bagaimana sexual orientation dari seorang Amin yang sedikit berbeda, jelas rasa ragu untuk terbuka di sana merupakan sesuatu yang lazim dirasakan olehnya. Hal-hal tadi dikemas Jonas Poher Rasmussen bersama isu lain.

Yang paling mencolok tentu saja human trafficking dan corrupt systems yang pada akhirnya melukai kemanusiaan. Tidak ada penjabaran yang terlalu detail tapi untung saja Jonas Poher Rasmussen mampu menata tiap potongan konflik agar authentic sehingga penonton terus diikat, tidak diprovokasi terlalu jauh dan dalam tapi di sisi lain dapat merasakan sisi positif dari perjuangan Amin yang tergolong optimistic story itu. Jonas Poher Rasmussen juga piawai dalam membangun kejadian nyata itu agar tampak bold, italic, and underlined di tiap point pentingnya, sehingga keputusan untuk tidak mendramatisasi terlalu jauh tiap konflik dan isu tidak membuat hasil akhir film ini terasa ompong. Justru sebaliknya, realita sulit serta memilukan yang pernah Amin alami justru will leave you with vibrant zeal.


Semangat tentang perjuangan menemukan kehidupan yang lebih baik dari apa yang dijalani sekarang, bagaimana Amin yang merasakan luka dan mengalami trauma mendalam berhasil keluar dari masa kelam dan bertemu rumah yang lebih baik. ‘Flee’ juga berhasil mengingatkan penonton akan nilai moral tentang hak asasi manusia namun di balik itu keberhasilan Jonas Poher Rasmussen mengekspresikan semua itu dalam visual yang manis serta mengkombinasikan dan menyeimbangkan dengan nafas dokumenter akan menjadi hal paling memorable dari film ini. Pertanyaannya kini di kategori apa saja ‘Flee’ akan berhasil meraih nominasi nanti di 94th Academy Awards? Peluang terbesarnya tentu saja di kategori dokumenter dan di dua kategori tersisa masih ada peluang untuk terdepak meski berada di posisi papan atas. Tapi saya tidak akan terkejut jika tiga nominasi berhasil film ini raih.

Overall, Flee adalah film yang memuaskan. Sebuah kisah menyedihkan yang dialami oleh pengungsi dari Afghanistan berhasil dibentuk dan dikendalikan dengan baik oleh Jonas Poher Rasmussen menjadi sebuah presentasi unik yang memadukan animasi dengan dokumenter. Bermain low-key namun berhasil menghantarkan isu dan pesan dengan sangat baik, film ini punya sensitifitas yang manis dan berguna dalam meraih simpati, empati, dan emosi penonton lalu mempermainkannya dengan secara hati-hati namun lincah, gradually getting more and more attractive with a bit raw and mysterious looks, this authentic optimistic story about a home will leave you with vibrant zeal. Segmented.






1 comment :