02 November 2021

Movie Review: Candyman (2021)

“Say his name. I dare you.”

Upaya “membangkitkan kembali” film horror yang telah tertidur pulas cukup lama kerap kali mendapat tanggapan yang seimbang, antara yang setuju dan tidak setuju, apalagi jika upaya tersebut ingin memindahkan sosok yang telah berhasil menjadi ikonik di masa lalu untuk tampil dalam bentuk yang lebih klik dengan era modern atau sekedar penyegaran. Tidak semua gagal, David Gordon Green's Halloween misal, Fede Álvarez's Evil Dead juga tidak buruk, tapi jelas butuh usaha ekstra terlebih dari segi artistik dan pesona. ‘Candyman’ pertama kali muncul tahun 1992 dan di beberapa kalangan dianggap sebagai film horor klasik kontemporer. Film ini mencoba menjadi direct sequel. ‘Candyman’: a creepily staged rejuvenation.


Para penghuni perumahan Cabrini-Green telah akrab dengan legenda urban tentang seorang pria bernama Daniel Robitaille, si pembunuh dengan hook di tangan kanan dan dikenal sebagai Candyman. Mereka percaya bahwa Candyman akan muncul jika orang mengulangi namanya sebanyak lima kali di depan cermin. Arwah dari pelukis yang dibunuh secara tragis pada tahun 1890 setelah menikahi seorang wanita kulit putih dari keluarga kaya raya itu disinyalir kembali ke Cabrini-Green tahun 1990an ketika seorang pelajar menyebut namanya di depan cermin. Permukiman tersebut telah kosong dan dikelilingi apartemen mewah kota Chicago, namun suatu ketika memanggil pria bernama Anthony McCoy (Yahya Abdul-Mateen II).

Tinggal bersama kekasihnya, Brianna Cartwright (Teyonah Parris), yang merupakan pengelola galeri seni, Anthony adalah pelukis yang sedang butuh inspirasi dan dari cerita saudara Brianna, Troy (Nathan Stewart-Jarrett), Anthony mendengar legenda pelajar yang bernama Helen Lyle itu. Anthony kemudian mencoba mencari gambar terkait Candyman dan memutuskan kembali Cabrini-Green, tempat ia bertemu Billy (Colman Domingo). Pemilik laundry yang bernama lengkap William Burke itu berbagi cerita lebih jauh tentang kisah Candyman kepada Anthony ternyata menjadi pintu bagi si pelukis untuk bertemu fakta mengerikan dan masuk ke dalam bencana besar dalam hidupnya.

‘Candyman’ adalah film horror yang tidak mencoba menjejali penontonnya dengan terlalu banyak misteri dan juga red herring, sejak awal membawa kamu berkunjung ke Cabrini-Green dengan cepat langsung membentuk satu “legenda” tentang sosok misterius yang menjadi titular villain sumber paranoia yang akan dirasakan oleh para penonton. Latar belakang masalahnya sendiri tidak langsung terasa padat tapi jauh lebih dari cukup untuk membuatmu mengerti dan merasakan impact yang akan dihasilkan di tiap kemunculan sosok Candyman tersebut nantinya. Terutama pada metode “memanggil” sosok mistis itu, setiap kali Nia DaCosta menaruh kaca cermin maka rasa waspada penonton terhadap potensi kemunculan Candyman otomatis langsung meloncat tinggi.


Satu hal lain yang saya suka adalah koneksi antara past and present dalam bentuk penelitian wanita muda, white grad student bernama Helen Lyle yang menggunakan urban legends itu sebagai materi thesis miliknya. Hasil research Helen jadi semacam jembatan dan pintu masuk yang manis bagi karakter utama kita di present day, yakni Anthony untuk membangun “koneksi” dengan sosok bernama Candyman tadi. Lebah tentu menjadi alat lain yang menunjang hal tersebut namun jelas terdapat kekuatan mistis yang bisa kamu lihat perlahan mulai masuk dan menguasai tubuh Anthony. Berangkat dari rasa kesalnya terhadap respon serta penilaian negatif oleh para kritik dan juga rekan sejawat pada hasil karyanya yang memang segmented itu, terbentuk sebuah misi pembuktian diri yang tidak terkendali di dalam diri Anthony.

Yang menarik meskipun tampak seperti sebuah misi sederhana saja tapi sebenarnya di balik itu ada isu racial yang ikut bermain di sana, seperti pembuktian dari kaum kulit hitam kepada white people yang tampak menyepelekan hasil karya mereka. Itu disajikan secara implisit oleh Nia DaCosta, baik itu dari materi serta eksposisi cerita tapi saya kesulitan untuk melepas isu tersebut agar tidak bermain di dalam pikiran saya. Menyenangkan rasanya melihat film-film seperti ini, mencoba berbicara terkait isu racial justice tanpa tampil seperti khotbah atau ceramah yang secara eksplisit menunjukkan kondisi mereka serta ajakan melakukan perubahan, serta perlawanan. Script yang DaCosta tulis bersama Jordan Peele dan Win Rosenfeld juga piawai dalam membangun energi perlawanan Anthony sebagai wakil dari black people di sini.


Langsung ditempatkan sebagai kelanjutan dari film pertama membuat pendekatan yang diterapkan oleh DaCosta terasa mudah untuk langsung klik dengan penonton yang belum menonton ‘Candyman’ yang pertama. Penonton tidak diminta untuk ikut mengulik lebih jauh sejarah masa lalu karakter Candyman, justru kamu diceritakan layaknya dongeng yang mudah dicerna. Menarik mengingat di sisi lain Nia DaCosta, dan saya rasa juga ada andil Jordan Peele di dalamnya, menggunakan film ini sebagai arena untuk menyentil berbagai isu seperti rasisme yang dilembagakan, perbudakan, hingga gentrifikasi. Memang akibat disajikan secara implisit membuat kejelasan isu tersebut tadi terasa kurang, begitupun dengan punch yang dihasilkan dan buat saya menjadi kelemahan film ini meski memang tampak seperti dikorbankan.

Socially critical elements eksis di dalam film ini tapi tidak didorong terlalu jauh agar tidak menjadi semacam political film, sebatas menjadi bumbu bagi dramaturgy yang coba ditampilkan oleh Nia DaCosta, dari permainan atmosfir cerita hingga tentu saja the bloody scenes. As a continuation film ini tampil sebagai metafora yang mencoba meremajakan dan memperkuat karakter Candyman, bukan sekedar revisiting saja tapi juga mengembangkan karakter yang sudah eksis. Dan hasilnya oke, Candyman sukses memperkenalkan kembali dirinya dengan cara yang menarik, bermain antara realita dan mimpi dalam staging arahan Nia DaCosta yang berhasil mengeksploitasi potensi dari karakter utamanya itu, berangkat dari posisi “terbuang” lalu kemudian menjadi simbol atau cerminan injustice yang mungkin masih eksis kini di USA sana.


Tapi yang terasa paling memorable dari film ini tentu bukan itu melainkan larangan menyebut nama Candyman sebanyak lima kali sambil melihat cermin. Elemen teknis seperti cinematography arahan John Guleserian menggunakan sudut sekecil apapun untuk membantu Nia DaCosta memainkan paranoia penonton terhadap kemunculan Candyman, dari terror di toilet hingga satu scene di mana kamera zooms away untuk menunjukkan seorang wanita bertemu ajalnya, dan tentu saja adegan di lift. Akting para aktor kontribusinya juga sama baiknya, terutama Yahya Abdul-Mateen II yang seolah memang jodoh dengan karakter Candyman, menampilkan seorang artist yang kehilangan arah lantas tenggelam dalam obsesi berbahaya with such a lovely authenticity.

Overall, ‘Candyman adalah film yang memuaskan. Merupakan kelanjutan dari film pertama di sini Nia DaCosta tidak hanya berhasil menggunakan urban legends yang membuat titular villain menjadi sumber paranoia penonton tiap kali melihat cermin itu untuk berbicara tentang racial justice saja, yang meskipun punya punch lemah namun efektif menyampaikan maksud dan tujuannya, tapi juga membentuk koneksi antara past and present yang kemudian dilebur dalam staging dengan dramaturgy oke untuk melakukan peremajaan terhadap karakter Candyman, disokong dengan kinerja akting memikat dari Yahya Abdul-Mateen II sukses memperkenalkan kembali serta memperkuat dengan sentuhan modern terhadap sosok yang akan muncul jika kamu panggil lima kali sambil menghadap kaca cermin. Tell everyone, don’t say his name.








1 comment :

  1. “The legend is if you say his name five times while looking in the mirror, he appears in the reflection and kills you.”

    ReplyDelete