12 October 2016

Review: The Birth of a Nation (2016)


"We’ll fight."

Ketidakadilan berbau rasisme yang pernah (dan mungkin saja masih) diterima oleh kaum kulit hitam di USA sana merupakan salah satu isu yang mungkin masih membutuhkan waktu lama untuk tidak lagi terasa menarik atau terasa basi diperbincangkan. I don’t think black people tidak berada di level yang sama dengan ras lainnya, look at Obama, namun masih banyak dari mereka yang memiliki severe inferiority complex yang membuat isu rasisme tersebut tetap menjadi komoditas perbincangan yang hangat. Menjadi jawara di 2016 Sundance Film Festival ‘The Birth of a Nation’ mencoba berbicara tentang isu yang belum basi tadi, dari racist dan juga humanity lewat sebuah aksi pemberontakan. It's 2016's The Butler.

Ketika ia masih kecil seorang budak bernama Nat Turner (Nate Parker) telah diprediksi akan menjadi seorang pemimpin. Diajari membaca dan mempelajari kitab suci Nat mendapat perlakuan positif dari majikannya Samuel Turner (Armie Hammer) yang membawanya berkeliling negara sebagai pengkhotbah. Tujuan Samuel adalah menggunakan Nat untuk mendapatkan budak-budak baru tapi hal itu tidak mudah setelah Nat mulai menyaksikan perlakuan yang diterima orang kulit hitam. Nat Turner memutuskan untuk membentuk sebuah usaha pemberontakan.  


Jika kamu lihat sinopsis di atas tadi maka perasaan familiar mungkin akan terbersit di pikiran kamu, dan faktanya memang masalah kulit hitam, tertindas, dan pemberontakan semacam itu selalu menjadi materi cerita yang empuk di industri perfilman Hollywood setiap tahunnya. Membosankan? Tentu saja tidak tapi dengan sulit untuk menemukan sesuatu yang sangat baru dari film tipe seperti ini, yang saya cari dari mereka adalah seberapa jauh mereka dapat membuat aksi heroism yang kerap jadi jualan utama meninggalkan kesan yang mendalam. Dramatisasi dari kisah nyata dari tahun 1831 tentang pemberontakan yang berlangsung selama 48 jam ini di mulai dengan sangat meyakinkan, di awal Nate Parker cukup oke ketika mencoba menyusun atau membentuk karakter dan juga masalah di dalam cerita. The Birth of a Nation tidak langsung panas di awal, fokusnya lebih pada menunjukkan siapa itu Nat Turner, dari koneksinya dengan kaum kulit putih, kemampuannya berkhotbah, dan karismanya sebagai pemimpin.  


Itu bagian terbaik dari The Birth of a Nation sebelum akhirnya jatuh ke dalam lubang yang sering menangkap kombinasi history dan war movies lainnya: routine, klise, dan miskin punch. Kehidupan Nat sendiri sebenarnya menarik dan itu belum menghitung masalah terkait istrinya, Cherry (Aja Naomi King), tapi sebagai pahlawan dia tidak mendapat support yang kuat dari cerita hingga akhir. Ketika telah selesai memperkenalkan masalah dan juga karakter Nate Parker ternyata tidak langsung beralih ke stage yang penonton nantikan, di sini kamu akan bertemu dengan fase calm before the storm, bagian di mana The Birth of a Nation mulai terasa goyah. Cara film ini membangun cerita tidak dengan gerak cepat, Nate Parker seperti mencoba memberi penonton banyak waktu untuk “merasakan” apa yang Nat rasakan. Cerita menjadi terasa repetitif tapi sayangnya excitement di dalam cerita perlahan juga menurun. 


Sebagai film tentang usaha menegakkan keadilan yang dipenuhi dengan berbagai tindakan kejam The Birth of a Nation tidak buruk namun juga tidak selalu terasa menarik. Pada satu point dramatisasi yang Nate Parker tampilkan berhasil menampilkan isu yang dia bawa dengan baik tapi di point lainnya mereka juga sempat terasa tumpul. The Birth of a Nation bermain cukup straightforward dalam menggambarkan pesan yang ia bawa tapi dipoles oleh Nate Parker dengan permainan tarik dan ulur. Power ketika menarik dan mengulur itu yang tidak merata, penonton cukup berhasil dibawa masuk ke dalam cerita dan seolah berada di tengah-tengah perjuangan yang Nat Turner lakukan, tapi kemampuannya memprovokasi penonton dengan isu yang ia bawa tidak konsisten, tidak begitu oke ketika merangsang penonton untuk terus merasakan kesan horror yang tersimpan di dalam cerita dan karakter. 


Judulnya memang mengandung kesan patriotisme tapi elemen awakening di The Birth of a Nation tidak begitu besar. Ini tentang eksploitasi terhadap orang kulit hitam yang kemudian disusul dengan usaha pembalasan yang berhasil menciptakan kesan adil, meskipun karakter utama merupakan seorang pengkhotbah tapi di tangan Nate Parker ini tidak mencoba menghujani penonton dengan isu yang berusaha tampak anggun, lebih terasa seperti crowd-pleaser tanpa kesan pretentious yang berlebihan. Seandainya Nate Parker dapat menjaga daya tarik karakter dan cerita ketika bermain-main di antara dua bagian tadi mungkin The Birth of a Nation akan terasa lebih menarik karena di situ kelemahan film ini. The Birth of a Nation seperti tidak mencoba untuk mendorong aksi Nat dan kelompoknya agar dapat menghancurkan dinding yang mengurung isu tentang keadilan dan penindasan itu, dan hasilnya ketika ia berakhir tidak ada aksi heroism yang terasa sangat memikat. 


Di debut penyutradaraannya ini Nate Parker menunjukkan ia memiliki visi yang oke, menampilkan permainan tarik dan ulur di dalam cerita bersama penonton yang konsisten terasa menarik namun sayangnya tidak dengan excitement. Di balik pendekatan yang memang tidak fresh isu ketidakadilan yang The Birth of a Nation bawa sebenarnya memiliki spirit dan energi yang baik, tapi sayangnya film ini tidak punya shock yang mampu membuat harrowing drama itu meninggalkan kesan yang kuat, once again ini konsisten terasa menarik namun perlahan mulai terasa routine, klise, dan miskin punch. Segmented.












0 komentar :

Post a Comment