06 October 2021

Movie Review: Mother (2020)

“They're my kids. I can do whatever I want!”

Menjadi orangtua tentu tidak lantas membuatmu harus menjadi berjiwa tua, banyak bahkan sekarang kita lihat pasangan suami istri yang justru tetap mampu menjaga penampilan agar terlihat muda meski telah memiliki anak. Tapi ada tanggung jawab yang berbeda ketika kamu menyandang status sebagai orangtua, salah satunya tentu saja menaruh anak sebagai prioritas utama, sosok paling penting di antara berbagai macam hal atau urusan penting lainnya, termasuk emosi dan ego. Seperti judulnya lampu sorot film ini mengarah pada Ibu muda yang belum mampu ”bertanggung jawab" sebagai orangtua. ‘Mother’ : a story about minion and his despicable mother.


Anak laki-laki bernama Shuhei (Sho Gunji) tampak melangkah pelan dengan sebuah ransel di punggungnya, ia lalu dihampiri seorang wanita yang menggunakan sepeda dan meneriakkan nama Shuhei dengan penuh semangat. Wanita itu bernama Akiko (Masami Nagasawa), menyapa dan lalu membersihkan luka di lutut Shuhei sembari berkata bahwa ia baru saja meninggalkan pekerjaannya saat ini. Mereka berdua lalu bersama pulang ke rumah, Akiko menggunakan sepeda sedangkan Shuhei mengejar dengan cara berlari di belakangnya. Akiko adalah ibu dari Shuhei, dan mereka hidup dengan keadaan finansial yang sangat sulit, celakanya Akiko sangat bergantung pada Shuhei jika berurusan dengan uang dan kebutuhan di rumah mereka.

Shuhei bahkan menjadi alat andalan Akiko untuk meminta pinjaman uang kepada orangtuanya Masako Misumi (Hana Kino) dan saudara perempuannya Kaede (Kaho Tsuchimura), strategi yang perlahan tidak lagi berfungsi karena mereka tahu bahwa uang tersebut akan digunakan Akiko secara tidak tepat, salah satunya berjudi. Hal tersebut membuat Akiko tidak ragu “menerima” jika ada pria yang datang padanya, salah satunya adalah Ryo Kawata (Sadao Abe) yang ternyata tidak membuat hidup Akiko semakin mudah. Ada anak perempuan bernama Fuyuka (Halo Asada) dalam hubungan itu, beban baru bagi Shuhei meskipun tidak seberat menangani sang Ibu yang perlahan semakin kesulitan mengendalikan emosi dan ego miliknya.

Film memang dibuka oleh sosok anak laki-laki bernama Shuhei tapi yang langsung mencuri perhatian adalah Akiko Misumi, melihat ia tanpa rasa ragu menjilat luka di lutut Shuhei seperti mencoba menunjukkan bagaimana Akiko sangat menyayangi anaknya itu. Tone ceria tercipta tapi tidak lama kemudian langsung berganti menjadi gloomy, Sutradara Tatsushi Omori membawa penonton langsung melihat pula sisi lain dari kehidupan Akiko dan Shuhei yang kesulitan secara finansial, permasalahan yang lantas menjadi pusat berputar serta berkembangnya cerita. Tidak ada upaya mengulur waktu di bagian awal, dalam waktu kurang lebih 12 menit saja penonton sudah dapat melihat bagaimana “kacaunya” kehidupan Shuhei.


Ya, yang hidupnya kacau di sini adalah Shuhei, dia harus tumbuh di bawah asuhan seorang Ibu yang saking kuatnya jiwa muda yang ia punya sampai memperlakukan sang anak seperti asisten pribadi, seorang anak yang bahkan masih belum berusia remaja namun sudah lebih hafal dengan stok air minum dan mie instan di rumah mereka ketimbang sang Ibu yang meninggalkanya enam hari tanpa kabar. Sosok Ibu yang bahkan mengajarkannya berbohong untuk menipu orang yang selama ini telah membantu mereka, memeras demi mendapatkan uang. Belum cukup beban bagi Shuhei muncul karakter bernama Ryo Kawata yang saya yakin tingkah lakunya itu mampu membuat banyak penonton ingin memaki dirinya.

Kehidupan Shuhei yang “rusak” itu benar-benar dipoles secara bertahap dan juga perlahan oleh Tatsushi Omori, script yang ditulis bersama Takehiko Minato memberi cukup banyak ruang agar berbagai macam hal menyakitkan silih berganti datang mengganggu emosi Shuhei, yang sejak ia kecil hingga remaja digambarkan sebagai seorang anak yang sangat sabar meskipun ia dianggap beban oleh Ryo. Pertanyaan kemudian muncul dari sikap Shuhei tersebut, mengapa ia memilih bertahan hidup di bawah asuhan Akiko yang secara implisit justru memperlakukan Shuhei layaknya peliharaan, memberi batasan bagi Shuhei sehingga membuat anaknya itu bahkan tidak tahu ingin menjadi apa karena tidak memiliki mimpi.


Karena fokus Shuhei adalah menuruti perintah sang Ibu. Cara Akiko memperlakukan Shuhei ketika ia masih kecil jelas menjadi clue bagaimana kualitas mental dan emosi yang ia punya, tapi Sutradara Tatsushi Omori tidak mencoba untuk menempatkan Akiko pada posisi “sakit” namun justru mengarahkan opini penonton bahwa sikap Akiko karena ia memang tidak siap menghadapi konflik yang akan muncul dari cara dia menjalani hidupnya. Ternyata itu hadir ketika Shuhei telah dinilai siap untuk menangani tantangan yang lebih berat lagi, hadirnya saudara tiri serta fakta bahwa sang Ibu terguncang kejiwaannya dan menjalani hidup layaknya zombie. Amarah penonton terus dibakar dengan baik oleh Tatsushi Omori.

Saya emosi dengan sikap Akiko namun di sisi lain juga dapat memahami mengapa Shuhei memilih untuk bertahan menjalani kehidupan yang seperti gali lubang dan tutup lubang itu, pinjam uang sampai tidak dipercayai lagi oleh keluarga besar serta harus selalu siap untuk berpindah tempat tinggal jika debt collector tiba. Apa alasan Shuhei tidak pergi dari cara hidup manipulatif milik Akiko jelas ditampilkan dengan manis di bagian penutup, sebuah konklusi yang membungkus derita Shuhei selama ini dengan menggunakan isu kasih sayang Ibu kepada anak, begitupula sebaliknya. Terkadang kita lupa bahwa tidak hanya orangtua yang memiliki tanggungjawab pada anak mereka namun akan juga wajib “mengasuh” ketika orangtua mereka berada dalam kondisi “tidak mampu.”


Memang ada beberapa bagian yang dapat diperpendek durasinya meski di sisi lain upaya Tatsushi Omori untuk menampilkan eksplotasi emosi di bagian tersebut juga tidak buruk, mungkin dapat membuat cerita jadi lebih compact. Walaupun tidak ada satu menitpun di film ini saya kehilangan fokus dan rasa tertarik pada perjuangan hidup Shuhei dan Akiko, mereka subjek dengan isu yang menarik diamati apalagi dengan kinerja akting mumpuni para aktor. Berperan sebagai Ibu yang beranggapan bahwa she can raise her own child however she see fit, performa akting dari Masami Nagasawa sangat baik, begitupun Daiken Okudaira yang menampilkan gejolak emosi Shuhei secara tepat guna. Sadao Abe, Kaho, dan Sho Gunji juga menjalankan tugas mereka dengan baik serta berhasil mencuri perhatian di beberapa momen.

Overall, ‘Mother’ adalah film yang memuaskan. Menariknya sepanjang film tidak ada kesan ekploitasi yang berlebihan dari Sutradara Tatsushi Omori terhadap pesan dan isu yang ia sodorkan kehadapan penonton, yang ada justru sebuah penggambaran tentang kasih sayang antara Ibu kepada anak dan juga sebaliknya lewat presentasi yang membawa penonton menyaksikan seorang anak terjebak di dalam kehidupan keji yang serba sulit akibat ketidakmampuan orangtuanya yang toxic mengendalikan emosi dan ego miliknya. Lembut dan tidak terkesan terburu-buru, ‘Mother’ berhasil menjadi sebuah penggambaran manis terkait tanggungjawab yang eksis di dalam sebuah hubungan keluarga, baik itu orangtua kepada anak mereka begitupula sang anak kepada orangtuanya. Mantan istri ada, mantan suami ada, tapi tidak ada yang namanya mantan Ayah, mantan anak, apalagi mantan Ibu. Such a tender psychological drama.






1 comment :

  1. “I can raise him however I want. I'm his mother, after all. I gave birth to him. He's my flesh and blood. I gave him all the love a boy could ask for.”

    ReplyDelete