10 July 2021

Movie Review: Pixie (2020)

“Welcome to unfair.”

Dalam hal membuat sajian cerita tentang “hal buruk yang berubah menjadi semakin buruk” maka tanah Britania Raya memiliki ciri khas dan pesona unik tersendiri. Plus jika sajian tersebut ditampilkan dalam bentuk sebuah comedy thriller, maka potensi untuk munculnya berbagai macam elemen seperti crime, action, dan mystery sangat besar. Hal tersebut ditampilkan oleh film ini, sebuah aksi balas dendam yang tampil dengan memadukan berbagai elemen tadi dengan “meminjam” formula yang kerap digunakan oleh the Coen brothers dan Quentin Tarantino. ‘Pixie’ : simple, charming, and underdeveloped comedy thriller.


Wanita muda bernama Pixie (Olivia Cooke) mengunjungi makam mendiang ibunya, dan sebelum melangkah pergi Pixie meletakkan sebuah peluru logam di atas makam sang Ibu. Di sisi lain dua orang bernama Fergus (Fra Fee) dan Colin (Rory Fleck Byrne) sedang melarikan diri menggunakan mobil setelah melakukan aksi perampokan di sebuah gereja. Tujuan akhir mereka tidak jelas namun di saat bersamaan di bandara Pixie telah menunggu dan siap untuk terbang ke San Fransisco. Pixie menantikan kedatangan dua pria tersebut yang celakanya mengalami tragedi.

Bukti dari tragedi tadi langsung “dibersihkan” oleh Mickey (Turlough Convery) dan Dermot O'Brien (Colm Meaney), keluarga Pixie. Sedangkan Pixie yang merasa kesal karena gagal terbang ke San Fransisco kemudian memutuskan untuk singgah ke sebuah bar. Di sana ada dua orang pria muda, Frank (Ben Hardy) dan Harland (Daryl McCormack) yang kemudian bertaruh untuk datang ke rumah Pixie. Celakanya Frank dan Harland tidak sadar bahwa “kejutan” berupa MDMA yang memiliki nilai lebih dari satu juta euro itu menjadikan mereka target untuk dibunuh.

It’s all about charm to be honest. Dan ini banyak mengingatkan saya pada pesona dua film terakhir Sutradara Barnaby Thompson, St Trinian's di tahun 2007 dan 2009, termasuk kelebihan dan kekurangannya juga. Saya suka cara cerita dibangun di awal dengan mengandalkan vibe dark comedy yang kental, script yang ditulis oleh Preston Thompson tidak mencoba berlama-lama dalam menjabarkan sumber utama masalah dan justru membuat penonton dengan mudah mengerti, bahwa ini kisah tentang anak muda yang hadir di waktu yang salah serta di tempat yang salah. Penggunaan adegan brutal yang eksplisit juga dengan cepat membangun tone cerita.


Tapi sampai di bagian itu kamu akan dibuat bertanya-tanya ingin menjadi apa film ini sebenarnya? Aksi brutal ditampilkan frontal tapi di sisi lain eksis kesan misterius dari sosok Pixie bersama berbagai selipan humor yang tampil efektif membuat para penontonnya tersenyum. Ada kesan nakal di narasi, Barnaby Thompson dan anaknya membuat pengisahan itu tidak terasa terlalu serius tapi terus memoles rebellious charm yang mengundang rasa penasaran penontonnya. Saya juga suka dengan kesan sedikit mentah yang dimiliki konflik dan karakter sehingga narasi punya greget yang oke dan mampu menutupi kesan familiar miliknya yang sudah eksis sejak awal.

Ya, ‘Pixie’ bukanlah sebuah sajian yang segar jika menilik materi cerita dan karakter miliknya, script akan langsung membuatmu teringat pada the Coen brothers dan Quentin Tarantino, menekan dengan kuat kesan vintage lewat cinematography dari John de Borman yang cantik itu untuk sembari terus memutar berbagai elemen cerita dari komedi, misteri, crime, dan thriller secara bergantian. Alhasil tidak ada di antara mereka yang terasa kuat, mereka punya kesempatan dan tampil dengan baik namun ketika dilihat sebagai satu kesatuan mereka tidak saling melengkapi. Justru eksekusi Barnaby Thompson membuat saya semakin kagum dengan Coen dan Tarantino.


Barnaby Thompson kurang berhasil menata agar narasi berisikan beberapa twist itu dapat terus tumbuh sebagai satu kesatuan yang kuat sehingga menghasilkan punch yang kuat pula di momen akhir, momen yang secara konsep terasa sangat potensial untuk membuat penontonnya terkejut. Yang terjadi sebaliknya, kesan formulaic di awal itu terus hidup hingga akhir dan terperangkap di dalam pengembangan cerita yang membuat terasa diulur-ulur dan kurang berkembang. Di sini kekecewaan saya karena setelah bagian pembuka saya berharap tone dan vibe yang diusung itu dapat membawa saya bertemu berbagai aksi gila lainnya.

Well, aksi gila itu memang ada dan pengemasannya juga tidak terasa buruk tapi tidak punya charm yang kuat. Bahkan untuk adegan di dalam gereja itu, terasa too normal karena akar masalahnya tidak dikembangkan sehingga isu pembalasan dendam itu terasa kurang nendang. Termasuk crime and heist masterminds yang mengandalkan sosok Pixie, mereka terus bergulir tapi tidak terasa mencolok, seandainya bagian ini ditempatkan dan dipoles lebih baik lagi sebagai fokus utama mungkin hasilnya akan jauh lebih baik lagi. Karena sejak awal Pixie sudah punya charm yang oke, parasnya manis dan charming tapi tidak dengan akal dan juga hatinya.


Hal terakhir tadi juga terasa mengejutkan buat saya mengingat judul filmnya sendiri telah menggunakan nama karakter utamanya, tapi ekposisi tidak menempatkannya sebagai spotlight. Olivia Cooke tampil baik sebagai Pixie dan membuat karakternya itu terasa eksentrik, tapi di beberapa bagian ia kerap disalip oleh Frank dan Harland yang berperan sebagai side kick, diperankan dengan baik pula oleh Ben Hardy serta Daryl McCormack. Yang terasa memorable justru kinerja akting Turlough Convery, membuat Mickey sebagai antagonis yang ganjil tapi sayang perannya kecil, seperti Alec Baldwin dan Colm Meaney yang ternyata punya porsi tampil terbatas.

Overall, ‘Pixie’ adalah film yang cukup memuaskan. Barnaby Thompson serta script yang digarap Preston Thompson sebenarnya telah berhasil meletakkan dengan baik latar belakang masalah dari cerita tapi sayangnya ekposisi dan progress dari narasi terasa kurang berkembang dan tertata. Mereka berhasil membuat karakter konsisten terasa mempesona hingga akhir tapi hal tersebut tidak cukup untuk membuat cerita yang menawarkan beberapa twist itu untuk konsisten bertumbuh menjadi semakin menarik. Tidak heran jika ada kesan “kosong” di bagian ending karena meskipun terasa charming tapi overall ini adalah kisah yang sangat mudah untuk dilupakan, kecuali cinematography dan score yang oke itu.









1 comment :