09 July 2021

Movie Review: Fear Street Part One: 1994 (2021)

“Dead people are trying to kill us.”

Tidak butuh waktu lama, mungkin sekitar tiga menit dari bumper atau intro Netflix di awal, film ini langsung menciptakan kesan ganjil yang menarik, permainan warna dengan menggunakan teknik cahaya serta dibantu beberapa “kejutan murah” yang sangat efektif menunjukkan kepada penonton bahwa terdapat sebuah bencana yang sedang mengintai karakter. Buku jatuh dari rak buku secara tiba-tiba, lantas muncul sekelibat sosok misterius di belakang karakter, itu awal dari sebuah sajian slasher ini yang menjadi menu pembuka bagi ‘the Fear Street Trilogy’. ‘Fear Street Part One: 1994’ : stranger things part one? (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Karyawati sebuah toko buku bernama Heather Watkins (Maya Hawke) tewas secara mengenaskan dan ia bukan satu-satunya korban di dalam aksi pembunuhan di mana pembunuhnya berhasil ditembak mati oleh Polisi Nick Goode (Ashley Zukerman). Itu menjadi awal mula Shadyside diberi label oleh media sebagai ibu kota pembunuhan Amerika Serikat, kota yang para anak mudanya memiliki rivalitas dengan tetangga mereka, Sunnyvale. Salah satunya Deena Johnson (Kiana Madeira), ia kecewa dengan kekasihnya Samantha "Sam" Fraser (Olivia Scott Welch) yang pindah ke Sunnyvale.

Tapi ternyata sebuah peristiwa membawa hubungan itu ke babak baru. Berawal dari sebuah kecelakaan Deena akhirnya dibuat percaya pada apa yang selama ini menjadi ketertarikan adiknya, Josh (Benjamin Flores Jr.), yakni isu bahwa kutukan Sarah Fier masih eksis di kota Shadyside. Deena diintai oleh sosok misterius berjubah hitam, begipula dengan Kate Schmidt (Julia Rehwald) dan Simon Kalivoda (Fred Hechinger), temannya. Mereka berlima mencoba mencari jawaban atas sosok-sosok misterius tersebut dengan menggunakan clue, visi Penyihir Sarah Fier yang terlihat oleh Sam.

Awalnya tampak normal, kamu akan ditempatkan pada sebuah opini bahwa tragedi itu merupakan aksi seorang pria muda yang merasa kecewa pada seorang wanita. Di bagian ini kita juga dibawa masuk ke dalam rivalitas antara dua sisi kota yang punya image berbeda, Shadyside dan Sunnyvale, antara si kaya dan si miskin sederhananya. Leigh Janiak bersama Kyle Killen dan Phil Graziadei meramu dengan baik konflik itu untuk menjadi batu loncatan dari bagian pembuka tadi, membuatmu berputar-putar bersama isi pikiran Deena yang sudah kadung larut di dalam rasa kesalnya terhadap Sam, sehingga Sunnyvale adalah dalang dari hal buruk yang terjadi di sekitarnya.


Di sisi lain narasi mulai mencoba membangun sebuah cerita yang katakanlah seperti sebuah dongeng rakyat tentang sesosok wanita bernama Sarah Fier, ia berulang kali digambarkan memiliki kekuatan mistis. Banyak penduduk muda Shadyside percaya bahwa Sarah Fier telah mengutuk kota mereka sebelum dieksekusi di tahun 1666, yang mana kisahnya akan menjadi bagian ketiga dari trilogi ini. So, kombinasi kedua hal tersebut di atas tadi kemudian ditata dengan baik oleh Sutradara Leigh Janiak dalam bentuk teen slasher yang terasa fun to follow.

Karakter punya karakterisasi yang oke, masing-masing dari mereka punya pesona yang menarik dan digunakan dengan baik oleh Leigh Janiak. Ambil contoh saat Sam dan Deena mencoba menggali drama di antara mereka pada satu momen, berikutnya hadir scene di mana Josh, Kate, dan Simon melanjutkan proses penelusuran latar belakang yang mungkin telah tercipta. Dan mereka tidak kewalahan. Ini menariknya ‘Fear Street Part One: 1994’ karena meskipun seolah menempatkan Deena dan Sam sebagai dua sumbu utama tapi kenyataannya lima orang remaja beranjak dewasa itu merupakan tim yang saling melengkapi satu sama lain sesuai porsi masing-masing.


Itu mengapa sejak babak pertama berakhir hingga garis finish vibe ‘Stranger Things’ tidak pernah padam dari narasi. Leigh Janiak sendiri merupakan Istri Ross Duffer, creator ‘Stranger Things’ dan mungkin ia banyak terinspirasi dari serial yang akan segera masuk ke season keempat itu. Homage terhadap 1990s terasa sangat kental di sini sedangkan cara Leigh Janiak menggoda penonton dengan jump scare terasa efektif, sometimes scary dengan perpaduan humor di dalam ekposisi yang dibangun secara perlahan itu. Kombinasi tersebut menghasilkan energi yang terasa menarik untuk diikuti terlepas dari script yang sebenarnya tidak tampil total sejak awal.

Menjadi film pembuka dari sebuah trilogi merupakan peran utama ‘Fear Street Part One: 1994’ sehingga tidak heran tugasnya tampak seperti membuka jalan bagi kisah lain yang akan hadir di bagian selanjutnya. ‘Fear Street Part One: 1994’ membangun pondasi di sini, sebuah kisah horor yang telah eksis dan masih belum hilang sejak lebih dari tiga abad yang lalu itu. Meskipun narasi menuntunmu menemukan solusi terkait permasalahan tersebut tapi fokus tidak mengarah ke sana, justru ke sosok Sarah Fier yang merupakan dalang utamanya, ada kesan horror yang tumbuh secara perlahan, terasa kuat meskipun di sini ia diwakili oleh manusia yang telah ia rasuki.


Hal tersebut membuat misi yang dilakukan lima orang remaja beranjak dewasa itu berhasil menjadi “ride” dengan pace yang oke, fokusnya memperkenalkan sebuah cerita horor di sebuah kota yang mencoba “menerkam” mangsa barunya. Full finish atau tidak bukan fokus utama Leigh Janiak tidak heran ia dapat lebih leluasa dalam memainkan elemen teen di film ini. Serta tentu saja memberi ruang yang luas bagi para aktor untuk tampil baik dengan karakter mereka, seperti Kiana Madeira dan Olivia Scott Welch misalnya, begitupula dengan Fred Hechinger sebagai Simon. Yang mencuri perhatian saya ada dua, Julia Rehwald dan Benjamin Flores Jr., mereka bisa saja dimasukkan ke ‘Stranger Things’ dan langsung klik dengan mudah di sana.

Overall, ‘Fear Street Part One: 1994’ adalah film yang memuaskan. Permainan warna yang oke, atmosfir ganjil yang terasa konsisten, humor yang capable, serta berbagai “kejutan murah” yang efektif, semua berjalan dengan pace dan energi yang tertata dengan baik meskipun narasi kerap menampilkan perpindahan tone, Leigh Janiak berhasil menyajikan sebuah teen slasher yang terasa fun to follow, ditunjang dengan kinerja akting yang mumpuni berhasil mendorong sebuah “dongeng” horror kepada penontonnya yang tidak hanya sekedar menghibur mereka saja tapi juga membuat mereka menantikan apa yang terjadi di dua bagian selanjutnya dari trilogi ini.








1 comment :

  1. "She'll take your blood! She'll take your head. She'll follow you until you're dead!"

    ReplyDelete