05 September 2020

Movie Review: Ema (2019)


“You are a human condom. You'll never give me a son. A real son.”

Cara setiap orang dalam mengejar mimpi dan ambisi yang mereka miliki pasti akan berbeda-beda, ada yang dengan sabar menunggu karena mereka percaya semua telah disiapkan oleh Sang Pencipta, namun tentu juga ada manusia-manusia yang justru memilih untuk “mendorong” dirinya agar mereka dapat lebih cepat meraih mimpi dan ambisi tersebut. Dan untuk yang terakhir tadi tidak jarang kerap menghadirkan masalah lainnya jika tidak mampu ditata dan dikendalikan dengan baik. Karakter utama kita di film ini, Ema, punya mimpi dan ambisi, untuk meraihnya ia melakukan opsi yang kedua, ia “dorong” semuanya dan menghasilkan situasi gila. ‘Ema’ : when sex and emotion biting each other.

Wanita muda bernama Ema (Mariana Di Girolamo) merupakan seorang penari di dalam sebuah sanggar, ia giat berlatih mempersiapkan penampilan yang di berada di bawah asuhan Sutradara bernama Gaston (Gael García Bernal). Ema dan Gaston dulunya adalah sepasang suami istri, namun kini mereka telah bercerai. Tapi ternyata perceraian tersebut menyisakan masalah yang masih terus menggelayuti pikiran dan emosi Ema.

Gaston dan Ema tidak berhasil memperoleh anak dari pernikahan mereka dahulu sehingga mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak laki-laki. Tapi karena mereka bercerai maka anak tersebut terpaksa “dikembalikan” oleh Gaston dan Ema ke panti asuhan. Ema merasa bersalah atas keputusan tersebut dan ia mencoba untuk mencari solusi lain bagi mantan anak mereka tersebut, terlebih dengan fakta bahwa anak tersebut memiliki gangguan kontrol impuls, pyromania.
Jika saya harus memilih satu kata untuk menjabarkan film ‘Ema’ maka kata tersebut adalah hypnotic. Ya walaupun sebenarnya kata itu bukan merupakan sesuatu yang baru dari sebuah film karya Pablo Larraín, contohnya film ‘Jackie’ di mana ia sukses membentuk kisah tragis yang dialami oleh Jackie Kennedy menjadi sebuah sajian biografi yang tidak biasa dan terasa sangat sangat unik. Pablo Larraín (No, The Club, Neruda, Jackie) kembali sukses menghadirkan hal serupa di sini, perjuangan seorang wanita yang punya mimpi dan ambisi itu ia gunakan untuk menghadirkan sebuah pertarungan antara nafsu dan emosi yang sukses menghipnotis penontonnya. Sejak awal hingga akhir.

Cerita yang ditulis oleh Guillermo Calderón dan Alejandro Moreno itu tidak mencoba menciptakan sebuah kerumitan yang terasa gelap dan berat. Karakter utama kita, yaitu Ema, merupakan sosok yang sedang dihantui perasaan galau dan rasa bersalah yang sangat besar, satu dari perasaan bersalah atas keputusan yang dirinya  dan suaminya untuk “membuang” kembali anak yang dahulu mereka adopsi, sedangkan di sisi lain Ema juga harus bertarung dengan nafsunya, hal yang perlahan mulai menggiringnya ke arah destruktif. Ada emosi yang bermain dengan baik di dua bagian tersebut, dan saya suka dengan cara yang digunakan oleh duet Screenwriter dalam menciptakan dasar bagi arena bermain untuk Ema beserta “kekacauan” yang ada di dalam dirinya. 
Dan arena tersebut Pablo Larraín gunakan untuk menunjukkan perjuangan yang dilakukan oleh Ema, tentu saja dengan signature miliknya. Kisah yang dilalui oleh Ema bisa saja dibentuk bergerak dalam grafik yang lurus dan berjalan dari negatif menuju positif, tapi di sini grafik yang digunakan justru bergerak naik-turun serta secara konstan berpindah antara negatif dan positif. Wanita berambut pirang itu dibentuk oleh Pablo Larraín untuk menjadi representasi bagaimana ketika nafsu dan emosi bertemu lalu kemudian saling sikut. Dan mungkin saling “menyakiti”. Di dalam pikirannya Ema punya sebuah rasa penyesalan sikapnya kepada anak kecil bernama Polo (Cristián Suárez), tapi di sisi lain ia layaknya seekor hyena dengan tatapan tajam yang seolah selalu ingin “memangsa” orang-orang di sekitarnya.

Menariknya sikap yang aneh dan unik dari seorang Ema tersebut membuat dirinya memiliki pesona yang terasa kuat. Penonton dengan cepat ia raih dan ikat atensinya untuk mengikuti perjuangannya itu, mengamati kegelisahan yang harus ia kalahkan sembari juga merasakan luapan emosi yang ia lakukan lewat berbagai cara. Anarkis, mayoritas dari luapan emosi Ema terasa anarkis, namun di sisi lain kita punya menari sebagai penyeimbang yang manis. Dan hal terakhir itu digunakan oleh Pablo Larraín sebagai media berekspresi bagi seorang Ema yang mampu membuat dirinya terasa “hidup” di dalam cerita. Reggaeton dance yang ia dan teman-temannya lakukan itu mungkin akan terasa aneh, tapi di balik gerak sederhana mereka justru berhasil menghipnotis penontonnya.
Dan di sana trik yang diterapkan oleh Pablo Larraín bekerja. Fokus cerita dikunci pada gejolak di dalam diri Ema yang sepintas mungkin akan terkesan stagnan, tidak ada progress penuh gesekan menarik. Tapi jika diamati lebih jauh perpindahan antara negatif dan positif dalam grafik naik-turun yang terasa hypnotic tersebut justru merupakan sebuah proses dari rencana yang dibangun oleh Ema. Tidak heran jika pada akhirnya kejutan besar di bagian akhir cerita itu terasa seperti ledakan yang super besar, seolah menjadi pembuktian dari seorang Ema yang ia tunjukkan dengan cara yang simple tapi menghasilkan punch yang luar biasa kuat. Aneh memang dan terasa sedikit gila, namun saya rasa begitulah cara hidup bekerja sekarang, pushing a bit harder untuk mendapatkan kebahagiaan.

Ketika momen di bagian akhir itu muncul untuk mengejutkan penontonnya, saya merasakan sesuatu yang ganjil ketika melihat senyuman Ema itu. Ekspresi wajahnya serta tatapan mata yang ia tunjukkan seperti berkata “gotcha” ke arah penonton, dan itu tidak salah karena saya juga sudah terdiam ketika lima karakter yang seolah “terpaksa” memiliki koneksi satu sama lain itu bertemu. Dan dari momen tersebut saya berulang kali berkata dalam hati “Pablo Larraín, kamu gila” karena memang ia telah berhasil “menghipnotis” saya dengan cara yang unik dan menyenangkan. Tidak hanya tatanan visual yang mumpuni dengan cinematography yang cantik dan juga editing dan score yang manis, tapi juga karena keberhasilannya menyembunyikan substance yang terasa kuat di balik presentasi yang stylish itu.
Sepanjang film Pablo Larraín tidak mau mengendorkan porsi yang ia siapkan agar kisah Ema ini terasa stylish, dari tarian hingga momen hening ia bentuk agar mereka menciptakan kombinasi yang mampu menjaga cerita terus bergerak dinamis, dan tentu saja tetap menghipnotis penonton. Reggaeton dance adalah pengejawantahan dari cerita, sederhana dan terkesan terstruktur tapi punya kesan dan pesona liar yang menyenangkan, berputar di gerakan yang sama tapi merupakan sebuah proses membangun emosi yang perlahan mencapai puncaknya. Begitu cara cerdik yang digunakan oleh Pablo Larraín, dan ia juga beruntung memiliki Mariana Di Girólamo yang sukses membuat Ema sebagai unlikeable character yang terasa charming.
Overall, ‘Ema’ adalah film yang sangat memuaskan. Karakter utama yang kuat dan menarik merupakan hal wajib dari film Pablo Larraín, dan Ema menjadi anggota baru di dalam kelompok tersebut. Dan sisanya adalah Pablo Larraín menampilkan pendekatan unik yang menjadi ciri khas miliknya, kali ini menggunakan pertarungan antara nafsu dan emosi di dalam diri seorang wanita muda dengan menggunakan musik serta dance sebagai jalan utama. Sejak awal telah berhasil menghipnotis penontonnya lalu kemudian bergerak liar dan dinamis, ‘Ema’ merupakan salah satu hiburan paling memorable yang saya tonton di tahun ini. Dan ya, ini menjalankan tugasnya menjadi film Pablo Larraín: unique, memorable, and segmented.













1 comment :

  1. “I'm not interested in sex. I'm interested in emotion.” :)

    ReplyDelete