11 December 2016

Review: Jackie (2016)


"People like to believe in fairy tales."

Ketika Perang Dingin periode terakhir sedang berlangsung pada bulan November tahun 1963 publik dunia dikejutkan oleh sebuah berita yang datang dari salah satu negara superpower yaitu Amerika Serikat. Presiden mereka yang telah menjabat sejak Januari 1961, John F. Kennedy, tewas dibunuh dengan cara ditembak ketika sedang menjalani iring-iringan presiden di negara bagian Texas. Tidak hanya policy saja yang mendiang JFK tinggalkan kala itu namun juga “legacy”, salah satunya tentu diterima oleh sang istri, Jacqueline Lee "Jackie" Kennedy Onassis. It’s a hypnotizing psychodrama. Congratulation Mrs. Portman.

Pasca insiden pembunuhan terhadap suaminya yang juga Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy (Caspar Phillipson), pada tanggal 22 November 1963 di Dallas, Texas, Jacqueline Kennedy (Natalie Portman) tidak hanya harus berhadapan dengan situasi duka yang menyakitkan dalam lingkup personal saja namun ia juga harus menghadapi berbagai hal yang “ditinggalkan” oleh mendiang suaminya tersebut. Jackie berusaha untuk membawa “memori” yang ditinggalkan oleh mendiang suaminya ke dalam jalur yang tepat.  


Kenapa sinopsis di atas itu terasa terlalu simple? Bukan, bukan karena film ini tidak punya banyak hal menarik untuk diceritakan tapi karena pada dasarnya seperti itulah garis besar dari apa yang Pablo Larraín coba tampilkan di film ini. Kisah pembunuhan terhadap JFK dapat dikatakan merupakan sebuah “well-known story” sehingga pertanyaan terbesar terhadap ‘Jackie’ adalah apa yang ingin film ini lakukan dengan menggunakan insiden tersebut? Bersama dengan scriptwriter Noah Oppenheim di film berbahasa Inggris pertamanya ini Pablo Larraín mencoba menampilkan dampak dari peristiwa tersebut terhadap istri JFK, yakni Jackie. Fokusnya di adjust, spotlight tidak diletakkan pada insiden pembunuhan tapi berpusat pada seorang wanita dan perjuangannya melewati “cobaan” tersebut. Yang menarik adalah personal struggle yang Jackie tunjukkan justru berhasil menambah rasa pedih dari insiden pembunuhan JFK. 


Dari persiapan acara pemakaman hingga responsibility yang dimiliki mendiang suaminya itu, ‘Jackie’ mencoba untuk membawa penonton melihat “worst nightmare” yang mungkin dapat Jackie temukan sepanjang hidupnya. Tidak hanya paranoia saja yang mendominasi pikiran Jackie tapi juga berbagai hal lain seperti terkait politik, konspirasi, dan tentu para enemies. ‘Jackie’ adalah tentang Jackie’s shock, momen di mana dia bertarung melawan rasa sedih dan juga rasa bingung, dari ketika ia masih tampil dengan pink suit yang telah dinodai oleh darah itu hingga hal simple tapi impactful ketika memberikan pertanyaan kepada seorang supir. Eksekusinya memang terasa tersirat tapi terdapat sebuah proses di dalam cerita di mana Larraín (No, The Club) dan Oppenheim (The Maze Runner, Allegiant) terus mencoba membangun grief yang Jackie punya semakin dan semakin tinggi. 


Hal tersebut terasa semakin memikat karena itu tidak hadir lewat berbagai ledakan yang ekplisit melainkan lewat ekspresi tenang namun penuh gejolak emosi yang menunjukkan bahwa Jackie seperti ingin untuk ikut pergi dari dunia bersama suaminya. Larraín memang tidak menjadikan insiden pembunuhan itu terus mencuri perhatian tapi dengan sangat baik dia memoles “luka” yang terjadi akibat insiden tersebut pada diri Jackie. “Setelah kematian suaminya lalu bagaimana status dan nasib Jackie?” pertanyaan itu yang coba ia lempar ke penonton di sini lewat berbagai lapisan yang saling membantu untuk membuat Jackie seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Uniknya ‘Jackie’ tidak fokus tampil sebagai sebuah biografi dari seorang mantan First Lady, unsur dramatic justru terasa sangat kental dengan staging yang oke terutama cara Larraín menampilkan tiga momen di dalam kehidupan Jackie untuk saling membantu satu sama lain. 


Ini juga jadi kunci dari keberhasilan ‘Jackie’ menjadi sebuah psychological drama yang menawan, sebuah penggambaran pada buntut atau akibat dari insiden pembunuhan terhadap JFK namun dari sudut pandang Jackie di tiga momen. Momen pertama adalah interview, momen kedua adalah sebuah tur di dalam White House, sementara momen ketiga adalah momen di antara Kennedy's assassination dan pemakamannya. Tiga momen tadi seperti lapisan yang saling menambal satu sama lain untuk membuat situasi yang telah kompleks menjadi terasa semakin kompleks atau rumit. Penderitaan pribadi yang dialami oleh Jackie itu tidak hanya terasa intens saja tapi juga unnerving, kesan eerie begitu kental terutama dengan ditemani score yang simple tapi terasa epic dan menciptakan suasana unsettling, hal yang juga dilakukan dengan baik oleh unsur teknis lainnya seperti cinematography. 


Tapi bintang utamanya di sini adalah Natalie Portman. Pablo Larrain membuat sebuah ruang yang sangat lega untuk mengeksplorasi kesedihan yang Jackie rasakan dan itu dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Portman. Awalnya memang tidak langsung klik tapi sejak awal Portman telah memancarkan persona Jackie sebagai salah satu wanita terpopuler kala itu terutama pada status penting yang ia punya sebagai istri seorang Presiden. Oh, her face, ya her face, ekspresi wajah dan mata yang Portman hadirkan di sini seperti sebuah paket yang lengkap, dari amarah, rasa sakit, rasa bingung, rasa takut, hingga rasa cintanya terhadap JFK, dia membuat Jackie sebagai sosok yang vulnerable tapi di sisi lain juga berusaha mencoba untuk tampak tegar, delivers one of the best performance of her career. Pemeran pendukung lainnya seperti Peter Sarsgaard, Greta Gerwig, dan Billy Crudup juga menampilkan performa akting yang oke. 


Penonton tahu apa yang terjadi pada 22 November 1963 tapi lewat ‘Jackie’ kita belajar pada apa yang terjadi ketika horrific tragedy itu menimpa USA. Seperti wanita yang tersambar petir di siang hari yang cerah begitulah Jackie di sini, memang belum tentu sepenuhnya akurat dengan fakta sesungguhnya namun ‘Jackie’ digunakan dengan baik oleh Pablo Larrain untuk menyajikan sebuah intimate portrait dengan banyak rasa di dalam cerita, sebuah complicated legacy di dalam moving and intense drama. Dari script, flashbacks, bagian teknis dengan rasa experimental, hingga tentu saja performa akting yang menawan dari Natalie Portman, ‘Jackie’ berhasil menggambarkan messy condition dari insiden pembunuhan JFK, sebuah aftermath berisikan despair and sadness dengan perjuangan seorang wanita bernama Jackie sebagai pusatnya. Segmented.











4 comments :

  1. Kalau dibandingkan dgn Emma di La La Land bagusan mana nih kak riringina?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mereka ibarat apple & orange imo, beda warna tapi sama-sama enak. For now my pick: Portman. For now. :)

      Delete
  2. portman ya kak....;) klo natalie portman, amy adam, emma stone, issabell hupert, annete benning kak gina pilih yg mna? kak ngk sabar nunggu review passanger 21 desember nanti.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belum nonton 20th Century Women tapi for now: Portman, Huppert - Stone, lalu Amy. Top 5: plus Chastain, Ruth Negga (Loving) di posisi selanjutnya. :)

      Delete