“Going
down is suicide.”
Salah
satu ketakutan terbesar dari umat manusia saat ini adalah bukan hanya sekedar “meledaknya”
Perang Dunia Ketiga saja namun jauh lebih besar dari itu, kita seharusnya semakin
takut bahwa akan tiba di satu titik ketika bumi dan Penciptanya sudah mulai
tidak senang dengan perilaku umat manusia. Semua semakin keras, semua perlahan
terasa semakin brutal, ajaran kasih yang diciptakan Sang Pencipta justru perlahan
menjadi sulit untuk dipraktekkan oleh mayoritas umat manusia saat ini. Film ini
menggambarkan hal itu dengan cara yang baik. The Platform (El hoyo) : a potent dystopian critics.
Seorang
pria bernama Goreng (Iván Massagué)
memilih untuk menjalani tantangan di dalam penjara buatan manusia, seorang kaum
terpelajar yang memilih opsi tersebut untuk mendapatkan gelar akademisnya.
Suatu ketika ia terbangun di sebuah ruangan dengan nomor 48 berukuran besar
terukir di dinding. Ia bertemu dengan pria bernama Trimagasi (Zorion Eguileor) yang kemudian mempertanyakan keputusan
Goreng memilih buku sebagai benda yang ia bawa ke dalam ruang tahanan.
Trimagasi merupakan teman satu ruangan Goreng untuk satu bulan pertamanya.
Penjara
buatan manusia tersebut menerapkan sistem yang unik dan brutal. Dalam satu
ruangan hanya boleh diisi oleh dua tahanan, dan masing-masing dari mereka
diberikan kesempatan untuk membawa sebuah benda ke dalam ruangan. Setiap
harinya para tahanan akan diberi makan melalui sebuah podium (platform) di mana di sana mereka dapat
memakan sepuasnya berbagai variasi makanan yang telah disediakan. Yang menjadi
masalah adalah platform tersebut bergerak dari posisi tertinggi, yaitu ruangan
nomor nol. Semakin ke bawah maka semakin sedikit makanan yang tersisa.
Pada
dasarnya dari sinopsis di atas saja
penonton sebenarnya sudah dapat mengerti apa isu utama yang ingin dibagi oleh
film ini, di tangan sutradara Galder
Gaztelu-Urrutia cerita yang ditulis oleh David Desola dan Pedro Rivero
berhasil dikembangkan menjadi sebuah kritik tajam yang terasa padat terhadap
isu tentang kondisi dunia saat ini. Karakter Goreng sendiri di sini mewakili
manusia-manusia yang masih “sadar” akan kondisi kritis saat ini, meskipun di
beberapa titik ia sempat goyah yang mengikuti arus yang salah namun Goreng
tetap mampu mengontrol visinya terhadap sistem brutal tersebut. Kita juga punya
Baharat (Emilio Buale Coka) dan Imoguiri (Antonia San Juan) yang juga merupakan
contoh yang menarik.
Namun
yang menjadi sorotan di sini adalah action
yang dilakukan oleh karakter tersebut. Mereka kemudian dihadapkan pada
sistem yang “memaksa” para tahanan untuk bertahan hidup dengan menerapkan
pembagian keadilan yang tidak merata. Kita sudah sering mendengar kalimat bagaimana
kini mereka yang kuat akan semakin mudah untuk bertahan hidup, sementara mereka
yang lemah maka hidupnya akan berantakan. The
Platform (El hoyo) mewakili dengan baik hal tersebut, eksplorasi dan
ekploitasi terhadap sistem keadilan yang tidak seimbang serta bagaimana ajaran
kasih itu tidak lagi menjadi bagian penting di otak serta hati para manusia.
Para
tahanan di film ini merupakan para manusia, namun sistem memaksa mereka hidup
layaknya para zombie yang masih
memiliki nyawa. Well, bukankah
perlahan dunia itu bergerak ke arah serupa, ke arah di mana mata fisik dan mata
hati perlahan mulai merasa sulit untuk melihat sesuatu dengan jelas dan waras
lalu kemudian membuat manusia jatuh ke dalam hasrat untuk sukses, or even untuk sekedar bertahan hidup.
Hasilnya, saling sikut dan saling menjatuhkan, lalu kemudian toleransi mati.
Ini tidak hanya sekedar tentang apa yang akan terjadi ketika ketidakadilan
menjadi primadona di dalam kehidupan manusia, dalam hal ini sistem, namun ini
juga penggambaran menarik tentang isi hati dari manusia itu sendiri.
Screenwriter David Desola
dan Pedro Rivero menciptakan problema
menarik yang kemudian dibentuk menjadi tajam oleh Galder Gaztelu-Urrutia. Isi hati dari manusia menjadi provokasi
yang terus menerus hidup di dalam cerita, menyaksikan karakter tersiksa
terutama mereka yang berada di level bawah. Mereka semua pada dasarnya diberi
“kesempatan” namun apa yang kemudian mereka lakukan ketika kesempatan itu tiba?
Mereka kemudian lupa rasa sakit ketika mereka masih belum diberi kesempatan.
Isu sederhana itu diracik dengan baik di sini, bersama dengan orang-orang yang
kemudian menjadi liar karena fokus mereka adalah untuk mempertahankan hidup
dirinya sendiri, panik dan brutal sehingga solidaritas lalu dianggap suatu hal
yang tidak pantas.
The Platform (El hoyo)
mengandung anekdot yang bermuatan unsur politis, namun berbagai “penyimpangan”
yang terkandung di dalam cerita berhasil menjadi sesuatu yang tidak bersifat
menghakimi namun justru menjadi alarm
terbaru terkait kekejaman dan kebiadaban dunia yang semakin menakjubkan
sekarang ini. Semua dibungkus oleh Galder
Gaztelu-Urrutia dengan visualisasi yang berani, penuh darah dengan
ketegangan yang konsisten serta ekploitasi pada sisi tragis yang terasa oke dan
meninggalkan punch yang memikat. Ia
tidak membentuk ini untuk mencapai puncak yang luar biasa namun sebagai sebuah
investigasi untuk introspeksi terhadap “sistem” yang kini mendominasi.
Pencapaian
tersebut tidak lepas pula dari peran para pemeran yang menampilkan
masing-masing karakter dengan baik. Setiap karakter memiliki peran yang menarik
di sini, dari yang menjadi provokator hingga mereka yang menjadi pemrakarsa
untuk “menyadarkan” para tahanan. Iván
Massagué tampil baik sebagai Goreng, ada semacam gejolak yang menarik
ketika ia mengetahui kejamnya sistem yang diterapkan, lalu upayanya untuk
melakukan “perubahan” juga terasa oke dan berhasil menarik penonton untuk
berada di sampingnya. Zorion Eguileor
adalah pesona terbesar di sini, sebagai Trimagasi menjadi “dalang” yang baik mewakili
kejamnya dunia saat ini.
Overall, The Platform (El hoyo)
adalah film yang memuaskan. Seperti kita ketahui bersama beberapa minggu
terakhir di berbagai belahan dunia sulit untuk menemukan beberapa produk
kesehatan dan juga makanan serta kebutuhan sehari-hari di berbagai toko atau supermarket, banyak orang bertarung
untuk sisa-sisa dari item tersebut, begitupula para penjual yang juga
menerapkan ilmu ekonomi yaitu dengan menaikkan harga. Still ongoing dan The
Platform (El hoyo) kemudian hadir di saat yang tepat, menjadi sebuah satire berisikan kritik yang tajam dan
menarik tentang bagaimana sistem ketidakdilan yang kini banyak diterapkan, dan
tentu saja bagaimana kerasnya dunia membuat manusia semakin lupa dengan kasih,
lupa bahwa yang penting tidak hanya otak yang pintar, but also a genuine heart.
"There are 3 kinds of people; the ones above, the ones below, and the ones who fall."
ReplyDelete