06 April 2020

Movie Review: The Platform (El hoyo) (2019)


“Going down is suicide.”

Salah satu ketakutan terbesar dari umat manusia saat ini adalah bukan hanya sekedar “meledaknya” Perang Dunia Ketiga saja namun jauh lebih besar dari itu, kita seharusnya semakin takut bahwa akan tiba di satu titik ketika bumi dan Penciptanya sudah mulai tidak senang dengan perilaku umat manusia. Semua semakin keras, semua perlahan terasa semakin brutal, ajaran kasih yang diciptakan Sang Pencipta justru perlahan menjadi sulit untuk dipraktekkan oleh mayoritas umat manusia saat ini. Film ini menggambarkan hal itu dengan cara yang baik. The Platform (El hoyo) : a potent dystopian critics.

Seorang pria bernama Goreng (Iván Massagué) memilih untuk menjalani tantangan di dalam penjara buatan manusia, seorang kaum terpelajar yang memilih opsi tersebut untuk mendapatkan gelar akademisnya. Suatu ketika ia terbangun di sebuah ruangan dengan nomor 48 berukuran besar terukir di dinding. Ia bertemu dengan pria bernama Trimagasi (Zorion Eguileor) yang kemudian mempertanyakan keputusan Goreng memilih buku sebagai benda yang ia bawa ke dalam ruang tahanan. Trimagasi merupakan teman satu ruangan Goreng untuk satu bulan pertamanya.

Penjara buatan manusia tersebut menerapkan sistem yang unik dan brutal. Dalam satu ruangan hanya boleh diisi oleh dua tahanan, dan masing-masing dari mereka diberikan kesempatan untuk membawa sebuah benda ke dalam ruangan. Setiap harinya para tahanan akan diberi makan melalui sebuah podium (platform) di mana di sana mereka dapat memakan sepuasnya berbagai variasi makanan yang telah disediakan. Yang menjadi masalah adalah platform tersebut bergerak dari posisi tertinggi, yaitu ruangan nomor nol. Semakin ke bawah maka semakin sedikit makanan yang tersisa.
Pada dasarnya dari sinopsis di atas saja penonton sebenarnya sudah dapat mengerti apa isu utama yang ingin dibagi oleh film ini, di tangan sutradara Galder Gaztelu-Urrutia cerita yang ditulis oleh David Desola dan Pedro Rivero berhasil dikembangkan menjadi sebuah kritik tajam yang terasa padat terhadap isu tentang kondisi dunia saat ini. Karakter Goreng sendiri di sini mewakili manusia-manusia yang masih “sadar” akan kondisi kritis saat ini, meskipun di beberapa titik ia sempat goyah yang mengikuti arus yang salah namun Goreng tetap mampu mengontrol visinya terhadap sistem brutal tersebut. Kita juga punya Baharat (Emilio Buale Coka) dan Imoguiri (Antonia San Juan) yang juga merupakan contoh yang menarik.

Namun yang menjadi sorotan di sini adalah action yang dilakukan oleh karakter tersebut. Mereka kemudian dihadapkan pada sistem yang “memaksa” para tahanan untuk bertahan hidup dengan menerapkan pembagian keadilan yang tidak merata. Kita sudah sering mendengar kalimat bagaimana kini mereka yang kuat akan semakin mudah untuk bertahan hidup, sementara mereka yang lemah maka hidupnya akan berantakan. The Platform (El hoyo) mewakili dengan baik hal tersebut, eksplorasi dan ekploitasi terhadap sistem keadilan yang tidak seimbang serta bagaimana ajaran kasih itu tidak lagi menjadi bagian penting di otak serta hati para manusia.
Para tahanan di film ini merupakan para manusia, namun sistem memaksa mereka hidup layaknya para zombie yang masih memiliki nyawa. Well, bukankah perlahan dunia itu bergerak ke arah serupa, ke arah di mana mata fisik dan mata hati perlahan mulai merasa sulit untuk melihat sesuatu dengan jelas dan waras lalu kemudian membuat manusia jatuh ke dalam hasrat untuk sukses, or even untuk sekedar bertahan hidup. Hasilnya, saling sikut dan saling menjatuhkan, lalu kemudian toleransi mati. Ini tidak hanya sekedar tentang apa yang akan terjadi ketika ketidakadilan menjadi primadona di dalam kehidupan manusia, dalam hal ini sistem, namun ini juga penggambaran menarik tentang isi hati dari manusia itu sendiri.

Screenwriter David Desola dan Pedro Rivero menciptakan problema menarik yang kemudian dibentuk menjadi tajam oleh Galder Gaztelu-Urrutia. Isi hati dari manusia menjadi provokasi yang terus menerus hidup di dalam cerita, menyaksikan karakter tersiksa terutama mereka yang berada di level bawah. Mereka semua pada dasarnya diberi “kesempatan” namun apa yang kemudian mereka lakukan ketika kesempatan itu tiba? Mereka kemudian lupa rasa sakit ketika mereka masih belum diberi kesempatan. Isu sederhana itu diracik dengan baik di sini, bersama dengan orang-orang yang kemudian menjadi liar karena fokus mereka adalah untuk mempertahankan hidup dirinya sendiri, panik dan brutal sehingga solidaritas lalu dianggap suatu hal yang tidak pantas.
The Platform (El hoyo) mengandung anekdot yang bermuatan unsur politis, namun berbagai “penyimpangan” yang terkandung di dalam cerita berhasil menjadi sesuatu yang tidak bersifat menghakimi namun justru menjadi alarm terbaru terkait kekejaman dan kebiadaban dunia yang semakin menakjubkan sekarang ini. Semua dibungkus oleh Galder Gaztelu-Urrutia dengan visualisasi yang berani, penuh darah dengan ketegangan yang konsisten serta ekploitasi pada sisi tragis yang terasa oke dan meninggalkan punch yang memikat. Ia tidak membentuk ini untuk mencapai puncak yang luar biasa namun sebagai sebuah investigasi untuk introspeksi terhadap “sistem” yang kini mendominasi.

Pencapaian tersebut tidak lepas pula dari peran para pemeran yang menampilkan masing-masing karakter dengan baik. Setiap karakter memiliki peran yang menarik di sini, dari yang menjadi provokator hingga mereka yang menjadi pemrakarsa untuk “menyadarkan” para tahanan. Iván Massagué tampil baik sebagai Goreng, ada semacam gejolak yang menarik ketika ia mengetahui kejamnya sistem yang diterapkan, lalu upayanya untuk melakukan “perubahan” juga terasa oke dan berhasil menarik penonton untuk berada di sampingnya. Zorion Eguileor adalah pesona terbesar di sini, sebagai Trimagasi menjadi “dalang” yang baik mewakili kejamnya dunia saat ini.
Overall, The Platform (El hoyo) adalah film yang memuaskan. Seperti kita ketahui bersama beberapa minggu terakhir di berbagai belahan dunia sulit untuk menemukan beberapa produk kesehatan dan juga makanan serta kebutuhan sehari-hari di berbagai toko atau supermarket, banyak orang bertarung untuk sisa-sisa dari item tersebut, begitupula para penjual yang juga menerapkan ilmu ekonomi yaitu dengan menaikkan harga. Still ongoing dan The Platform (El hoyo) kemudian hadir di saat yang tepat, menjadi sebuah satire berisikan kritik yang tajam dan menarik tentang bagaimana sistem ketidakdilan yang kini banyak diterapkan, dan tentu saja bagaimana kerasnya dunia membuat manusia semakin lupa dengan kasih, lupa bahwa yang penting tidak hanya otak yang pintar, but also a genuine heart.






1 comment :

  1. "There are 3 kinds of people; the ones above, the ones below, and the ones who fall."

    ReplyDelete