Sebenarnya sebelum internet menjadi salah satu bagian penting dari umat manusia di
jaman dahulu umat manusia itu sendiri sudah mengenal yang namanya pergaulan
bebas. Namun perkembangan jaman yang disertai dengan berbagai kemudahannya itu
telah membawa hal tersebut naik beberapa level lebih tinggi. Sama halnya dengan
salah satu dampak dari pergaulan bebas, yaitu aborsi, aksi "membuang"
janin yang kini tampaknya bukan lagi menjadi sesuatu yang “menakutkan” untuk
dilakukan meskipun masih dipandang taboo.
‘Never Rarely Sometimes Always’ : an immersive drama.
Wanita
muda bernama Autumn Callahan (Sidney
Flanigan) suatu ketika dihadapkan pada sebuah masalah. Autumn melakukan cek
kesehatan dan ia dinyatakan telah hamil dengan usia kehamilan yaitu sepuluh
minggu. Berasal dari keluarga yang tidak begitu harmonis di mana ia kerap
menjadi bahan candaan kasar dari ayahnya, Autumn kemudian memutuskan untuk
tidak memberitahu tentang kehamilannya kepada keluarganya.
Satu
hal yang pasti, Autumn telah berniat untuk menggugurkan kandungannya tersebut.
Setelah mencoba cara yang kasar Autumn memutuskan untuk berangkat dari Pennsylvania menuju New York City dengan ditemani sepupunya
yang bernama Skylar (Talia Ryder)
untuk melaksanakan niatnya tersebut tadi. New York menjadi pilihan karena di
sana ia tidak membutuhkan persetujuan orang tua untuk menggugurkan kandungan.
Tentu
saja aksi aborsi masih menjadi sesuatu yang taboo
hingga saat ini, tidak peduli telah seberapa besar dan pesat dunia berkembang di
mata banyak orang image dari aksi aborsi
masih tetap identik sebagai sesuatu yang salah untuk dilakukan. Di film ini
sutradara dan screenwriter Eliza Hittman
mencoba membawa penonton menyaksikan proses rencana aborsi yang dilakukan oleh
seorang wanita muda, mengeskplorasi isu tersebut secara efektif tanpa mengikutsertakan
berbagai embel-embel yang rumit seperti politik hingga agama. Cerita tidak
mengandung banyak argumen untuk mendramatisasi upaya Autumn, yang ada hanya
krisis kehamilan dari wanita muda yang belum siap menjadi seorang ibu.
Hal
terakhir tadi menarik, alasan dari mengapa Autumn membuat keputusannya
tersebut. Pada awalnya memang terasa sulit untuk memahami Autumn, seorang
wanita yang introvert membuat ia berkepribadian
tertutup, bahkan reaksinya juga tidak memiliki range yang lebar atau luas. Quiet,
sedari awal Eliza Hittman membuat
semuanya tampak tenang bahkan ketika karakter utama berhadapan dengan berbagai
aspek prosedurial. Namun ada satu momen di mana penonton mulai merasakan rasa
putus asa yang sedang dialami oleh Autumn, dari sana empati terhadap situasinya
tersebut berubah drastis menjadi besar karena memang di sisi lain krisis
kehamilan itu sendiri dikemas oleh Eliza Hittman untuk terasa sangat real.
Sifat
introvert karakter utama sebenarnya
merupakan senjata utama Eliza Hittman, dengan cerdik ia membuat penonton masuk
ke dalam kehidupan Autumn, mengamati dan menyelidikinya, terutama emosi. Dari
sana ketenangan itu membentuk kondisi berat yang sedang Autumn lalui, Eliza
Hittman kemas agar tetap terasa personal tanpa
menghadirkan ekposisi yang terlalu jauh. Di satu sisi keputusan tersebut memang
tidak membuat latar belakang masalah menjadi kuat namun tidak masalah karena
bukan itu yang yang menjadi sorotan utama. Ini adalah tentang bagaimana gejolak
hati dan emosi Autumn, wanita yang belum siap dan belum mau menerima kehadiran
dari janin di dalam hidupnya, ia menciptakan batasan dan ingin penonton
menghargai itu.
Hasilnya
bagus karena berdampak pula pada “image”
dari upaya aborsi itu sendiri. Ya, aborsi merupakan sesuatu yang taboo namun kondisi Autumn yang “tersiksa”
itu justru menghasilkan sebuah perdebatan menarik tentang isu aborsi itu
sendiri. Eliza Hittman letakkan gesekan itu dengan cara yang sangat elegan, didn’t want to judge dan mengumbar aspek
yang mengerikan dari aborsi ia justru menghadirkan sebuah investigasi kecil
tentang mengapa aborsi merupakan sesuatu yang taboo. Ada ekplorasi yang kompleks tapi tidak berlebihan di sini
melalui krisis dan perspektif Autumn, ia mengajak penonton untuk “menghormati”
emosi Autumn dan memahami keadaannya tanpa menuntun mereka ke dalam
stigmatisasi negatif.
Ya,
Eliza Hittman menempatkan aborsi di
posisi terdepan tapi ia membentengi isu tersebut dengan cara menolak untuk
berargumen secara berlebihan. Untuk menemani proses aborsi ia justru
menggunakan karakter Skylar untuk menghadirkan kisah tentang persahabatan. ‘Never Rarely Sometimes Always’ punya
sedikit warna road trip dan itu juga
dibentuk dengan baik oleh Hittman sama seperti ketika ia berurusan dengan
hal-hal atau detail kecil lainnya. Saya juga suka cara implisit yang digunakan
di sini, dari menyetel tali bra hingga bagaimana di satu adegan interview dengan close up shots kamera menangkap berbagai emosi yang dialami oleh
Autumn, dari rasa putus asa hingga rasa takut, mereka dikemas sederhana namun
terasa sangat tajam dan intens.
Sejak
awal hingga akhir Eliza Hittman fokus memainkan emosi secara subtle namun
tajam, dan itu tidak hanya tercipta berkat elemen teknis seperti cinematography serta bagaimana film editing bekerja, namun juga berkat
kinerja akting. Kita punya dua karakter yang mendominasi layar hingga akhir.
Yang pertama tentu Autumn, ia diperankan dengan baik oleh debutan Sidney Flanigan, pesona wanita yang
tenang, teguh namun naif ia tampilkan dengan baik, menyuntikkan energi dalam
kapasitas yang oke pada setiap emosi yang dimiliki Autumn. Di sampingnya ada Talia Ryder, juga merupakan debutan yang
menjadikan Skylar sebagai sosok yang mengagumkan, ia mengerti kondisi Autumn
dalam diam dan rela berkorban untuk membantunya menyelesaikan niatnya tersebut.
Overall, ‘Never Rarely Sometimes
Always´adalah film yang sangat memuaskan. Apa yang Eliza Hittman lakukan di sini
mengingatkan saya pada apa yang Debra
Granik lakukan di ‘Leave No Trace’,
mengangkat isu menarik yang dikemas dengan fokus kuat, melindunginya dengan cara
yang manis seperti tidak menghadirkan ekplorasi dan eksploitasi yang
berlebihan, namun dengan kesederhanaan itu hadir sebuah moving drama yang terasa subtle
and soulful, sebuah extraordinary
story yang mengalir lembut di mana emosi penonton bermain bersama empati
mereka. Such a beautiful and immersive drama. Segmented.
"Your mother wants me to tell you, how great you are."
ReplyDelete