11 March 2020

Movie Review: Teman Tapi Menikah 2 (2020)


“Ingat, tangan kalau pegal itu dipijat, bukan dipotong!”

Memang tidak sempurna namun ketika ia hadir dua tahun lalu ‘Teman Tapi Menikah’ berhasil meninggalkan kesan yang cukup mendalam terkait kisah cinta yang berawal dari pertemanan dan berakhir di pelaminan. Film keduanya kali ini mencoba membawa kisah cinta itu maju satu langkah, mencoba menelisik apa yang akan dihadapi oleh setiap pasangan ketika mereka telah memilih untuk menjadi teman hidup selamanya. ‘Teman Tapi Menikah 2’ : sebuah lanjutan yang tepat sasaran.

Setelah menjalin kisah asmara yang berawal dari pertemanan serta setelah bersama berhasil menaklukkan berbagai rintangan, Ditto (Adipati Dolken) akhirnya memutuskan untuk melamar wanita yang sudah lama menjadi sahabatnya, Ayudia (Mawar Eva de Jongh). Telah lama saling mengenal satu sama lain sebagai sahabat dengan berbagai aksi konyol satu sama lain, awal dari pernikahan mereka yang terasa awkward itu perlahan tumbuh menjadi kisah cinta yang masih dipenuhi mimpi-mimpi mereka sejak dulu.

Dari yang sederhana hingga keinginan untuk berwisata ke luar negeri menghabiskan waktu bersama, Ditto dan Ayudia dihadapkan pada sebuah fakta bahwa mereka langsung diberi momongan. Kebahagian tersebut dengan cepat mengubah kehidupan Ditto dan Ayudia, dari pernikahan yang awalnya penuh energi jiwa muda yang penuh mimpi kini mereka harus mempersiapkan kehadiran calon anak mereka tersebut.
Sutradara Rako Prijanto sepertinya sadar akan dampak dari pergantian pemeran pada karakter Ayu, ia membawa penonton untuk mengenang kembali apa yang pernah terjadi di film pertama di mana rangkaian flashback tersebut telah diperankan oleh pemeran baru. Hal tersebut sebenarnya tidak mudah, sebagai penonton kita ingin agar jilid kedua ini mampu untuk meyakinkan bahwa perubahan yang terjadi tersebut tidak memberi dampak yang akan terasa mengganggu. Dan syukurnya hal tersebut yang menjadi hasil dari keputusan tadi. Dengan cepat dan dikemas secara cukup padat pondasi dari kisah Ditto dan Ayu versi “baru” itu terasa charming, chemistry di antara mereka terpancar dengan begitu mudahnya terutama pada banter antara sesama teman ketika masih di bangku sekolah.

Bagian pembuka tadi menjadi jangkar yang cukup kuat untuk menopang kualitas dari pesona yang kemudian hadir selanjutnya. Penonton langsung dibawa masuk ke dalam kehidupan pernikahan antara Ditto dan Ayu, itu sebuah keputusan yang tepat setelah mengetahui bahwa ternyata ada isu yang lebih kompleks telah menunggu di babak selanjutnya. Yang menarik untuk disorot pada babak awal adalah bagaimana situasi “cringe” yang dialami oleh Ditto dan Ayudia di awal pernikahan mereka, terasa natural dengan tik-tok yang terasa oke. Lalu dari sana screenplay yang ditulis oleh Johanna Wattimena mulai mengembangkan isu yang sedikit lebih rumit tadi untuk masuk ke pusat cerita, hadir dengan pergeseran yang cukup oke.
Kehadiran “Si Mas” ternyata menjadi titik awal gejolak emosi yang dialami oleh Ditto dan Ayudia, ditangkap dengan baik oleh Rako Prijanto dalam kombinasi yang seimbang antara sudut pandang pria maupun sudut pandang wanita. Gesekan di antara dua sudut pandang itu merupakan salah satu elemen yang berhasil menyelamatkan daya tarik dari cerita. Konflik yang sedikit lebih rumit tadi dapat jatuh menjadi sebuah perputaran masalah penuh perdebatan yang repetitif, tapi di sini mampu dieksplorasi dan diekploitasi oleh Rako Prijanto dengan baik. Ya, walaupun harus diakui ada satu atau dua bagian yang terasa kurang compact namun tidak bersifat merusak.

Dua menjadi satu merupakan salah satu dari sekian banyak arti sebuah pernikahan, sebuah jalinan asmara itu disebut orang destinasi akhir sebuah kisah percintaan yang harus dilengkapi dengan berbagai hal penting, salah satunya adalah komitmen. Point itu yang coba terus didorong oleh film ini, tentu saja dengan cara yang serius tapi santai dengan ditemani berbagai hal-hal lucu yang sukses mengundang senyum hingga tawa. Ambil contoh pernyataan sederhana dari teman Ditto, bahwa untuk menyembuhkan tangan yang sedang sakit caranya adalah dengan dipijit hingga sembuh, bukan dipotong. Itu sederhana namun terasa sangat menohok serta mewakili fakta bahwa pernikahan = not easy.
Itu mengapa ‘Teman Tapi Menikah 2’ dapat dikatakan berhasil menjadi sebuah “alarm” bagi pasangan muda yang hendak menikah, menyaksikan dua karakter utama yang penuh dengan youthful energy dan mimpi-mimpi indah mereka itu secara cepat kemudian “dipaksa” untuk berurusan dengan sesuatu yang jauh lebih serius, terkejut, bingung, dan merasa kesulitan, teamwork harus di posisi terdepan. Berbagai isu tentang pernikahan tersebut berhasil dipresentasikan dengan baik dan tepat sasaran, tidak terasa terlalu dipaksa ketika berputar-putar di dalam kehidupan Ditto dan Ayudia, mereka konsisten terasa menarik sehingga membuat berbagai kelemahan di bagian lain seperti, ya, dapat dimaafkan, seperti alur dan momentum dari pergerakan cerita yang sedikit terasa jumpy.

Ditunjang sinematografi dengan beberapa gambar yang oke dan berpadu apik bersama pemilihan warna, selain berhasil membentuk script yang oke dari Johanna Wattimena sutradara Rako Prijanto juga sukses membentuk dua karakter utamanya. Akting dari Adipati Dolken terasa lebih natural di sini, perawakan tengil Ditto terasa lebih hidup dan tidak terasa kaku. Hal tersebut juga terbantu oleh Mawar Eva de Jongh yang tampil memikat sebagai Ayudia. Tugas besar yang ia emban dilaksanakan dengan sangat baik oleh Mawar, dengan paras cantiknya menjadikan Ayudia sebagai calon ibu muda yang manja dan menggemaskan namun juga sangat sensitif. Chemistry yang terbangun di antara Adipati dan Mawar juga oke, banter yang ekspresif dan natural.
Overall, ‘Teman Tapi Menikah 2’ adalah film yang memuaskan. Jilid kedua ini sukses membawa kisah Ditto dan Ayudia untuk berkembang dan naik ke level selanjutnya dari segi cerita. Konflik yang lebih dewasa dikemas secara serius namun tanpa kehilangan pesona santai yang menjadi daya tarik pendahulunya, dalam kuantitas dan kualitas yang oke ‘Teman Tapi Menikah 2’ berhasil mempresentasikan suka dan duka dari sebuah pernikahan, dan tentu saja arti dari sebuah pernikahan itu sendiri. Well done.











0 komentar :

Post a Comment