21 January 2018

Movie Review: Sweet 20 (2017)


"Lenggang mengorak menarik hati serentak, hey-hey siapa dia..."

Nenek rempong 70 tahun menjadi gadis 20 tahun dan bikin semua cowok dari yang muda, yang mapan, bahkan duda tua jatuh cinta padanya? Wait, hal tersebut sepertinya terasa tidak asing bagi penonton bioskop di Indonesia. Miss Granny, film asal Korea Selatan yang pernah menyambangi bioskop Indonesia pada tahun 2014 itu kini hadir dalam versi Indonesia. Menyandang status sebagai sebuah film remake atau adaptasi tidak serta merta menandakan film tersebut memiliki pekerjaan yang mudah, tidak hanya sekedar hadir dan mengingatkan penonton pada akar yang ia punya saja namun harus pula mampu menjadi sebuah kemasan “baru” yang terasa segar dan exciting. Sweet 20: an electrify ride from start to finish.

Ketika hari raya Idul Fitri tiba, keluarga Aditya (Lukman Sardi) melakukan acara sungkeman kepada Fatmawati (Niniek L Karim), Ibunda dari Aditya yang kini tinggal menetap bersama anak tunggalnya tersebut. Kehadiran Fatmawati di dalam keluarga Aditya sendiri telah lama menciptakan suasana kurang nyaman, sikap Fatmawati yang cerewet dan eksentrik justru kerap menciptakan rasa jengkel hingga kesal baik itu dari sang menantu, Salma (Cut Mini), cucu perempuannya, Luna (Alexa Key), hingga cucu kesayangannya Juna (Kevin Julio). Berawal dari sebuah kejadian yang menimpa istrinya, Aditya suatu ketika mulai goyah terhadap saran dari Luna untuk memasukkan Fatmawati ke dalam panti jompo.

Tanpa diketahui oleh anak dan cucunya Fatmawati mendengar rencana tersebut. Merasa kecewa ia justru mampir ke sebuah studio foto dan meminta untuk difoto secantik mungkin agar dapat digunakan untuk pemakamannya kelak. Celakanya yang terjadi justru sangat jauh berbeda, melangkah keluar studio Fatma justru berubah menjadi 50 tahun lebih muda, menjadi gadis muda berparas cantik berusia 20 tahun. Mengubah namanya menjadi Mieke (Tatjana Saphira) serta menyewa sebuah kamar kost di rumah sahabatnya Hamzah (Slamet Rahardjo), Mieke mencoba memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melakukan semua mimpinya yang selama ini belum terwujud, kesempatan yang tidak hanya memberinya rasa bahagia namun juga dilema.


Sama seperti film-film dengan kondisi serupa, menyandang status sebagai sebuah film remake atau adaptasi tidak serta merta menandakan ‘Sweet 20’ memiliki tugas atau pekerjaan yang mudah. Dari segi pondasi sinopsis cerita mungkin iya, namun di sisi lain terdapat pula pekerjaan yang tidak kalah menantang untuk dilakukan, tugas agar dapat menciptakan sebuah kemasan yang tidak hanya sekedar copy and paste belaka dari film yang menjadi akarnya. Tidak ada kewajiban untuk frontal tampil beda namun ‘Sweet 20’ harus dan wajib untuk mampu menampilkan kembali kisah tentang nenek tua berjiwa muda yang “masuk” ke dalam tubuh muda ini kedalam bentuk penyajian yang terasa segar dan exciting, terlebih mengingat popularitas yang Miss Grannyraih di Indonesia.

Menariknya tugas yang tidak mudah itu seperti tidak menjadi semacam “beban” bagi tim produksi, dari sutradara, screenwriter, hingga para aktor dan aktris serta tim di elemen teknis. Mereka seperti bersatu padu di dalam satu mindset yang sama, yaitu menciptakan sebuah drama komedi romantic dengan unsur musikal yang sejak awal hingga akhir terus menebar kesan eksentrik yang menarik. Secara garis besar alur utama cerita masih berpegang teguh pada akarnya, Miss Granny, namun dengan berbagai sentuhan modifikasi terutama pada unsur culture and taste dari point besar hingga detail yang berukuran lebih kecil ‘Sweet 20’ sukses menjadi “another Miss Granny” yang tidak sekedar hadir dan hanya mengingatkan penonton pada film Miss Granny


First of all, script yang ditulis ulang oleh Upi (My Stupid Boss) memiliki andil penting dalam kesuksesan petualangan Fatma ketika bermain-main dengan tawa serta emosi para penontonnya. Cara Upi menciptakan kembali cerita ke dalam “rasa” Indonesia terasa manis terutama pada tiga bagian penting. Upi berhasil menciptakan ruang bermain yang terasa menarik agar kesan liar, eksentrik, cadas, apapun itu nama sejenisnya dapat tampil dan terasa mengikat di dalam cerita, kemudian ia juga berhasil memberikan cerita sebuah jangkar yang solid ketika menyoroti berbagai isu yang seperti keluarga hingga yang klise seperti cinta, dan yang terakhir menciptakan alur cerita yang terasa energik dan dinamis namun tetap terasa padat. Tiga hal tadi Upi rangkai atau susun dengan baik sehingga petualangan Fatma kembali ke masa mudanya itu tidak hanya sekedar aksi bergembira belaka saja namun juga memiliki makna menarik seperti berbagai isu seperti respect kepada orang tua dan juga menghargai kehidupan sukses mencapai sasarannya.

Sama seperti yang dahulu dilakukan oleh akarnya ‘Sweet 20’ juga berhasil menyentil penonton terhadap berbagai life lessons yang ditampilkan secara tepat guna dan juga menyenangkan. Tanpa terkesan mencoba menggurui namun justru tampul “nakal” ‘Sweet 20’ berhasil menyentuh berbagai isu tentang kehidupan dengan cara yang menawan, mempermainkan emosi penonton lewat kisah hidup Fatma tanpa kehilangan kesan cadas yang ia punya. Memang terdapat sedikit kesan kasar ketika terjadi perpindahan tone ketika cerita mencoba tampil sedikit lebih kelam namun hal tersebut tidak terasa mengganggu. Itu juga disebabkan sedari awal Upi tidak memberikan kesempatan yang terlalu besar bagi element yang lebih kelam itu untuk mencuri banyak waktu, mereka berhasil menjadi inti cerita yang bersinar namun hanya pada kesempatan yang diberikan. 


Alhasil meskipun bertemu dengan momen yang mencoba menyentuh emosi namun penonton tidak terjebak untuk terlalu larut di dalamnya, terasa heartwarming layaknya musik smooth jazz namun setelah itu kembali bergeser ke bagian yang lebih cadas seperti musik rock. Dari gelap dan terang, lucu dan serius, kombinasi tersebut dibentuk dengan baik oleh Ody C Harahap (Kapan Kawin?), ia sukses menjaga irama dan perpindahan di antara dua bagian tersebut dengan baik. Awalnya memang terasa tidak terlalu smooth namun perlahan berbagai shifts yang terjadi terasa semakin halus, bersama dengan elemen teknis seperti tata rias dan busana serta bagian design retro yang terasa oke di mata, berbagai “bom” yang hadir baik itu pada unsur drama maupun humor yang mengundang gelak tawa terasa padat dengan kesan “menyengat” yang mengasyikkan. Dan semua itu menjadi lengkap ketika diselimuti dengan soundtrack berisikan lagu pop klasik Indonesia yang klik dengan baik ke dalam alur cerita.

Lagu-lagu seperti Payung Fantasi, Selayang Pandang, Layu Sebelum Berkembang, dan Bing tidak hanya sebatas menjadi pelengkap, bersama dengan Meraih Asa mereka juga menjadi pesona terbesar yang dimiliki oleh ‘Sweet 20’, lagu lawas yang diaransemen ulang dengan perpaduan retro dan modern yang manis, sama seperti penampilan manis dari Tatjana Saphira sebagai bintang utama. Mieke adalah perpaduan antara retro dan modern, namun ketimbang menjadi konflik keduanya berhasil dilebur oleh Tatjana menjadi satu kesatuan yang mantap. Setiap momen yang Mieke punya berhasil dieksekusi dengan baik oleh Tatjana, dari ketika ia berusaha tampil “muda” hingga ketika ia mencoba mengingatkan kita bahwa Mieke adalah Fatma, Tatjana memegang kendali utama cerita dengan pesona dan energi yang terasa adiktif. Pemeran lain juga berhasil membentuk sebuah tim yang solid, dari Niniek L Karim yang membentuk pondasi di awal, Slamet Rahardjo dan Kevin Julio sebagai “pendamping”, Morgan Oey (Alan) sebagai sumber dilemma, hingga Lukman Sardi dan Cut Mini sebagai pelengkap bagi karakter Fatma. 


Overall, ‘Sweet 20’ adalah film yang memuaskan. Dari yang menggunakan cara serius seperti tentang keluarga hingga cara yang konyol seperti penggunaan sinetron, ‘Sweet 20’ hadir tidak hanya sebatas mengingatkan penontonnya pada akarnya, yaitu Miss Granny, namun juga berhasil menjadi sebuah kemasan “baru” yang terasa segar dan exciting. Dari tawa hingga mungkin saja air mata, ‘Sweet 20’ berhasil menjadi sebuah sajian tentang keluarga, youth, mimpi, hingga cinta yang terasa “cadas” bersama balutan soundtracks yang terasa catchy itu serta penampilan memikat dari ensemble cast, especially Tatjana Saphira. Hectic but also heartfelt, easily one of my favorite Indonesian films in 21st century, ‘Sweet 20’ is an electrify ride from start to finish.











0 komentar :

Post a Comment