07 March 2017

Movie Review: Logan (2017)


"You, who the hell are you?"

First of all kita sepertinya harus mengucapkan terima kasih kepada Deadpool karena berkat kesuksesan yang ia capai tahun lalu film superhero dengan R-rating kini tampak menjanjikan dan menarik. Mass appeal tentu akan memperoleh "dampak" signifikan namun di sisi lain hal tersebut juga membuat filmmakers semakin “bebas bernafas” dalam menyajikan para superhero. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab mengapa film yang (mungkin) akan menjadi akhir dari era salah satu karakter paling ikonik di Marvel Universe’s ini seperti menjadi sebuah angin segar bagi film-film superhero yang kini terasa semakin generic. Logan: the ultimate Wolverine film with lovely heat and heart.

Dahulu pernah dikenal sebagai mutant superhero bernama Wolverine kini kehidupan James "Logan" Howlett (Hugh Jackman) justru berada pada kondisi yang terasa kontras dengan masa lalunya tersebut. Kemampuan Logan untuk menyembuhkan diri kini telah surut dan hal tersebut membuatnya secara konsisten merasakan rasa sakit di tubuhnya. Keseharian Logan kini berisikan pekerjaan sebagai chauffeur, membeli obat, lalu menyeberang ke Meksiko menuju sebuah kompleks tempat ia menyembunyikan Professor Xavier (Patrick Stewart). Dibantu oleh Caliban (Stephen Merchant) Logan kini merawat Professor Xavier yang menderita penyakit psikis kronis.

Rutinitas tersebut suatu ketika terganggu dengan kemunculan seorang gadis muda bernama Laura (Dafne Keen). Berawal dari sebuah permintaan menuju sebuah tempat bernama Eden di North Dakota kemudian Logan mendapati sebuah fakta mengejutkan yang berasal dari Laura, remaja perempuan yang pendiam namun buas hasil sebuah eksperimen. Logan mencoba untuk memenuhi permintaan tadi namun celakanya perjalanan mereka menuju tempat bernama Eden tersebut tidak mudah, mereka menjadi target dari Donald Pierce (Boyd Holbrook) dan pasukannya. Donald Pierce bekerja untuk Dr. Zander Rice (Richard E. Grant), seorang scientist yang memiliki sebuah rencana besar dengan mutants sebagai pusatnya.  


Jika dilakukan perbandingan dengan trend dari film-film superhero pada beberapa tahun terakhir maka ‘Logan’ dapat dikategorikan sebagai film superhero yang tidak “tampak” seperti film superhero. Mutant mayhem tentu saja masih menjadi pusat di dalam cerita, penonton dapat rasakan itu bahkan dalam kuantitas yang besar serta kualitas yang kuat, namun di sisi lain sutradara James Mangold justru mencoba menggunakan sedikit pendekatan a la western movie pada kisah yang disebut oleh Jackman sebagai his #OneLastTime sebagai Wolverine. Tidak seperti film superhero yang fokus utamanya mencoba tampak funny di sini cerita justru dipenuhi dengan drama yang mencoba menyoroti kondisi “rentan” yang dihadapi oleh Logan. Dari tragedy hingga regret dan juga loss, mereka dibentuk dengan baik oleh James Mangold untuk menjadi sebuah kesatuan yang seperti membawa superhero genre menuju level yang lebih tinggi lagi.

‘Logan’ memang tidak memiliki segala hingar bingar usaha menyelamatkan bumi seperti film-film superhero pada umumnya namun dengan menaruh fokus pada sisi personal karakter kesan “super” yang film ini tinggalkan justru terasa jauh lebih memorable. Mencoba tidak terbebani pada usaha agar tampak kental seperti sebuah film blockbuster di sini James Mangold berhasil membawa penonton “mengapresiasi” Wolverine sebagai superhero serta memberikan penghormatan yang layak ia peroleh. Basically ini merupakan kisah yang berisikan berbagai kesedihan, tidak hanya dari kondisi yang dimiliki Logan saja bahkan Professor Xavier yang tampak berwibawa itu di sini tampil seperti seorang psycho yang gila. Itu salah satu contoh dari usaha untuk tampak a bit loose and crazy yang Mangold lakukan di sini, mereka berhasil bekerja dengan baik namun tetap pula disertai dengan dignity yang pernah mereka tampilkan sebelum menghadapi kesulitan di tahun 2029 itu. 


Perpaduan antara light and dark yang terasa mumpuni merupakan alasan mengapa ‘Logan’ berhasil tampil mempesona dan menjadi salah satu film superhero yang memorable. Bersama dengan Scott Frank dan juga Michael Green di sini Mangold berhasil menghadirkan script yang, well, terasa crispy, mereka terasa padat and punchy di dalam namun di sisi lain tetap terasa gurih di bagian luar. Kita tahu fokus utama cerita terdapat pada gejolak emosi dan kondisi rapuh yang sedang dihadapi Logan namun screenplay tidak mencoba untuk menusuk terlalu dalam sehingga menciptakan drama dengan konten yang terasa burdensome. Cerita terdiri dari berbagai isu yang tentu saja tergolong serius namun energi yang terasa kumulatif secara perlahan itu digunakan  oleh Mangold secara “playful” ketika bercerita, push and pull untuk kemudian menghadirkan strikes dengan punch yang terasa kuat.

Logan’ terasa seperti sebuah modern western dengan alur cerita layaknya rollercoaster, dinamika track terasa dominan stabil namun terdapat beberapa titik dengan tingkat “kecuraman” besar yang sukses menggedor adrenalin. Bagian dari “calm before the storm” di dalam cerita berhasil dikemas secara padat begitupula dengan bagian “calm after the storm” yang mampu mempertahankan irama dan momentum yang dimiliki cerita. Momen terungkapnya fakta yang dimiliki oleh Laura dengan balutan action sequence itu terasa sangat memikat, hal serupa juga kembali Mangold tampilkan ketika berurusan dengan prosesi “melepas” yang bertumpu pada emosi. Staging yang terasa mature dari Mangold membuat hal-hal dengan dua tones yang berbeda seperti tadi berhasil klik satu sama lain di dalam cerita, tetap terasa casual meskipun memiliki berbagai ekploitasi baik itu terkait emosi maupun ketika berurusan elemen yang lebih agresif, contohnya action. 


“Keleluasaan” yang ia miliki dengan status R-rating membuat ‘Logan’ leluasa menampilkan berbagai adegan action yang mungkin akan sulit kita temukan pada film-film superhero. Yang Mangold lakukan di sini terasa seperti composed version dari apa yang dilakukan oleh ‘Deadpool’ tahun lalu, terasa agresif dan juga excessive namun dikemas secara lebih elegant dengan impact yang lebih kuat terhadap elemen lain di sampingnya, yaitu drama. It’s beautifully shot too, meskipun tidak memiliki pertarungan dengan status “megah” namun punch yang dihasilkan elemen action terasa mencolok. Elemen action merupakan titik dengan tingkat “kecuraman” besar tadi, bersama dengan score dari Marco Beltrami berhasil menghadirkan “kegembiraan” menyaksikan superhero menghabisi lawan-lawannya namun secara mengejutkan tidak membuat segala macam drama tentang struggle yang dihadapi oleh Logan sebelumnya jadi terasa redup.

And last but not least tentu saja kontribusi dari kinerja akting. Terdapat tiga karakter penting di film ini dan mereka diperankan dengan sangat baik oleh masing-masing pemeran. Hugh Jackman memberikan performa akting yang sangat impresif sebagai pria yang sedang berhadapan dengan berbagai rintangan, kadar emosi yang ia suntikkan pada Logan terasa pas tanpa mengurangi kualitas pesona ganas dan beringas yang dimiliki oleh Wolverine ketika beraksi menghajar para musuhnya. Di samping Jackman adalah Patrick Stewart yang membuat Professor X sebagai “kunci” yang menarik bagi cerita serta Dafne Keen yang berhasil membuat Laura menjadi remaja dingin dan misterius, like Eleven from Stranger Things. Yang terasa kurang di sektor ini adalah kualitas dari karakter antagonis meskipun mereka dapat dikatakan sukses menjadi bad guy yang efektif. Mereka melawan para mutan, so, yeah, okay. 

Overall,Logan’ adalah film yang memuaskan. Status sebagai R-rating merupakan kesempatan yang langka bagi film-film superhero dan hal tersebut tidak disia-siakan oleh James Mangold, ia sukses menghadirkan sebuah medan perang berisikan konten yang terasa padat di setiap elemen pembentuknya. Dark, grim, tapi tetap terasa casual ‘Logan’ merupakan film superhero yang tidak “tampak” seperti film superhero, superhero mayhem masih menjadi pusat cerita yang diwarnai dengan swear and blood, namun di sekelilingnya eksis berbagai hal yang terasa real, dari emosi, konsekuensi, hingga gravity. Kata pertama yang saya ucapkan ketika selesai menonton film ini merupakan kata pertama yang Logan ucapkan di bagian pembuka, because yes, it’s an ultrabrandal and poetic superhero movie, it’s the ultimate Wolverine film with lovely heat and heart. Segmented.











5 comments :

  1. Tumben2nan nih review Film superhero

    ReplyDelete
  2. Bang Rory, mbak ringringina, dkk.. Kok sekarang jarang banget Update?

    ReplyDelete
  3. duh, saya masih bingung nih sama timelinenya..
    kok gak berhubungan sama yg film terbaru yah ?
    katanya ini film berkisah pada beberapa tahun setelah days of future past..
    duh bingung deh..

    ReplyDelete
  4. Please review Baby Driver !!!

    ReplyDelete