11 June 2016

Review: Alice Through the Looking Glass (2016)


"I will help my friends, no matter what."

Di tahun 2010 Tim Burton menciptakan versinya dari kisah klasik karya Lewis Carroll yang telah berulang kali diadaptasi ke dalam bentuk hiburan visual, Alice in Wonderland, sebuah petualangan fantasi dengan presentasi visual dan kostum yang begitu memikat meskipun terasa "biasa" di bagian cerita. Menghasilkan lebih dari $1 Milyar yang sempat membawanya menempati peringkat kelima highest-grossing film of all time kehadiran sekuel bukan merupakan sebuah kejutan. Pertanyaannya kembali sama, apakah ini mampu mengulangi kesuksesan sembari memperbaiki minus yang dihasilkan oleh film pertamanya? Visually enchanting, Alice Through the Looking Glass is a needless sequel, a tasteless candy.

Ketika kembali ke London Alice Kingsleigh (Mia Wasikowska) mendapati bahwa mantan tunangannya telah mengendalikan properti keluarganya. Bingung dan marah, Alice kembali ke Underland melalui sebuah cermin. Alice mendapat berita bahwa kehidupan Mad Hatter (Johnny Depp) terancam “mati”, ia terus berkabung karena percaya bahwa keluarganya masih hidup. Princess Mirana (Anne Hathaway), The White Queen, menugaskan Alice menemui Time (Sacha Baron Cohen), raja pengendali waktu di Underland, untuk meminta izin menggunakan Chronosphere dan melakukan perjalan waktu. Tugas Alice ternyata tidak mudah, Iracebeth of Crims (Helena Bonham Carter), The Red Queen, juga menginginkan Chronosphere untuk melakukan rencana jahatnya. 



Tidak disutradarai oleh Tim Burton ternyata tidak membuat petualangan Alice berubah arah. Misi utama film ini ternyata masih sama seperti Alice in Wonderland, menciptakan petualangan fantasi penuh warna-warni yang sama gilanya, dan meskipun memakai template serupa dalam hal visual di tangan James Bobin Alice Through the Looking Glass sukses melaksanakan niatnya itu. Terasa lebih terang dengan kesan gelap yang sedikit berkurang, pemanfaatan visual di film ini terasa menarik sejak sinopsis yang standar itu hingga ketika ia berakhir dengan cara yang juga standar. Alice Through the Looking Glass punya estetika ala Tim Burton di sektor visual, seolah memaksa penonton terus berteman dengan gambar-gambar eye-popping, kostum yang mewah, production design dan sinematografi juga oke, dikemas over-the-top dan setia pada “aturan dasar” milik Tim Burton.



Satu paragraf tadi cukup untuk mewakili nilai positif film ini. Ya, hanya visual yang tampil oke di Alice Through the Looking Glass, sisanya kembali tampil sama seperti film pertama, terasa underwhelming. Alice in Wonderland (2010) bukan kemasan yang luar biasa, ada kekurangan yang ia tinggalkan namun sayangnya tidak coba diperbaiki oleh film ini. Alasan utama Alice Through the Looking Glass tidak mampu konsisten tampil memikat adalah cerita yang ia punya terasa cukup hambar, dan sumber masalahnya masih sama yaitu narasi. Tidak mengharapkan sesuatu yang benar-benar kompleks tapi setidaknya narasi harus mampu menciptakan dan menjaga rasa menarik dari masalah di dalam cerita. James Bobin kurang berhasil mengolah naskah yang ditulis oleh Linda Woolverton, masih membangun narasi dengan cara konvensional untuk membentuk sebuah fantasi berkilau yang juga mencoba membawa berbagai isu substantif yang akhirnya terbengkalai tanpa penjelasan.



Alice Through the Looking Glass terus terasa goyah karena ia mencoba melanjutkan dan mengeksploitasi dasar rapuh dari film pertama dan tidak mampu memperbaikinya. Seandainya Alice Through the Looking Glass punya narasi yang lebih kohesif ia akan dengan mudah berakhir di level yang lebih baik. Mengapa? Karena jika berpadu dengan baik alur cerita akan mengikat penonton sehingga mereka konsisten tertarik untuk mengamati lebih lanjut karakter dan masalah di dalam cerita seperti kemerdekaan dan emansipasi. Koneksi yang baik antara karakter, cerita, dan penonton tidak dimiliki film ini sehingga penonton perlahan kehilangan rasa peduli pada karakter dan cerita. Terasa aneh ketika ada momen di mana rasa simpati pada karakter antagonis lebih besar ketimbang karakter protagonist, melengkapi minus utama di mana konflik tidak menampilkan sebuah konsekuensi yang menarik.



Hal serupa terjadi pada kinerja cast, mereka kurang menarik. Terasa menyedihkan bakat seperti Mia Wasikowska harus tenggelam di dalam hiruk pikuk CGI di sekelilingnya. Mia Wasikowska mampu menampilkan sisi berani Alice tapi pesonanya tidak maksimal dan terus terdegradasi. Itu juga dialami oleh pemeran pendukung seperti Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, dan Sacha Baron Cohen, masing-masing punya momen tapi pesona karakter mereka tidak begitu kuat walaupun beberapa humor berhasil mereka sampaikan dengan cukup oke. Oh, Johnny Depp? Karakter The Mad Hatter yang sedang dalam kondisi berduka membuat Depp seperti terbatasi keleluasaannya. Ia berulang kali berusaha menampilkan ekspresi sedih dan pengharapan tapi kurang berhasil tersampaikan karena terbentur kesan eksentrik dan antic yang ia miliki.



Dengan fantasi sebagai jualan utama usaha Alice Through the Looking Glass untuk menciptakan dunia fantasi yang imajinatif patut diapresiasi terutama sektor visual yang kembali tampil memikat dengan segala eksekusi over-the-top yang mewah dan eye-popping. Namun sayangnya semua kemilau dari visual tadi membuat Alice Through the Looking Glass terasa berat sebelah, visual oke namun cerita tidak oke, hal yang salah di mana keduanya harus berkombinasi dengan baik untuk menciptakan sebuah fantasi yang menarik. Akibat kombinasi visual bersama cerita dan narasi yang kurang kuat film ini terasa underwhelming, Alice Through the Looking Glass berakhir sebagai petualangan fantasi yang kaku dan tasteless. Kualitas visual worth the price of admission, tapi waktu? For me, nope. Segmented.
                                                                                                                                                                  















Thanks to rory pinem

3 comments :

  1. Waduh film favoritku trnyata krg mantap ya.
    Sya suka reviewnya, update trus tiap bulan. Mantap.

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Review ini ditulis oleh riringina --> http://bit.ly/2beoaG1 :)

      Delete