30 November 2014

Review: Serena (2014)


“Our love began the day we meet, nothing that happen before even exist.”

Serena ibarat seperti orang yang sedang olahraga tapi hingga ia selesai tidak mengeluarkan keringat sedikitpun, atau mungkin pasangan yang sedang bercinta tapi tidak menghasilkan sedikitpun suara. Tujuan yang ingin ia raih memang tercapai, tapi tidak ada sensasi yang benar-benar besar yang tertinggal bagi penontonnya, dan itu mengecewakan karena Serena sebenarnya punya tiga senjata yang sangat kuat untuk dapat menjadi drama yang memikat, Susanne Bier, Bradley Cooper, dan and maybe Hollywood's , America’s, and everbody’s newest sweetheart, Jennifer Lawrence.

Pria bernama George Pemberton (Bradley Cooper) punya ambisi untuk memperluas bisnis kayu miliknya di Smoky Mountains yang terletak di daerah North Carolina, bahkan ia yakin dapat bergerak lebih jauh hingga ke Brazil. Segala hal ia lakukan, termasuk tindakan kotor seperti hal-hal palsu termasuk membayar politisi untuk memuluskan rencananya tadi. Upaya itu semakin terang ketika George bertemu dengan Serena (Jennifer Lawrence), wanita yang ia nikahi bukan hanya untuk menjadi pendamping di kehidupan sehari-hari, tapi juga sebagia mitra bisnis. Celakanya gairah berbeda merusak rencana George tadi. 



Film ini seharusnya menjadi bagian dari Awards Season, karena dari segi materi yang ia miliki Serena punya syarat umum untuk ikut bertarung di berbagai ajang penghargaan. Serena punya Susanne Bier di bangku sutradara, wanita yang mungkin masih terdengar asing bagi banyak penonton tapi faktanya telah mengantarkan dua film (After the Wedding, In a Better World) yang ia tangani ikut serta di ajang Oscar, dan salah satunya meraih posisi tertinggi. Yang kedua adalah Jennifer Lawrence dan Bradley Cooper, kolaborasi ketiga mereka setelah Silver Linings Playbook dan American Hustle. Tapi dari Darren Aronofsky dan Angelina Jolie, waktu rilis yang seolah penuh misteri, Serena ternyata merupakan sebuah drama yang hampir mati.



Benar, mati, dan kesalahan utamanya ada pada cerita serta editing, keduanya terasa kasar. Cerita seharusnya menampilkan kisah romance dengan bantuan unsur bisnis ternyata tidak punya banyak konflik yang menarik, terasa sangat tipis malah, kisah cintanya kurang mencengkeram dan sangat miskin emosi, sulit untuk menaruh simpati pada dua karakter utama, sikap egois yang mereka tampilkan tidak punya semangat yang menarik, bahkan gairah dari interaksi intim yang mereka sajikan juga terasa sangat datar.  George dan Serena seperti dua karakter tanpa nyawa, seperti boneka yang hanya memiliki tugas menyelesaikan cerita tanpa perlu membuat penonton merasakan apa yang mereka rasakan, dan itu mengecewakan karena ia membuat dua sosok bertalenta seperti Bradley Cooper dan Jennifer Lawrence terbuang percuma.



Tidak hanya itu, alur yang dimiliki Serena juga terasa sulit untuk dinikmati, mondar-mandir masalah bisnis juga seperti hilang di tengah hutan yang menjadi latarnya itu. Cerita sering terputus-putus sehingga berbagai masalah miliknya yang seharusnya perlahan terbangun lebih jauh tidak pernah menunjukkan peningkatan yang kuat, bahkan lama kelamaan motivasi dari karakter seperti hilang tanpa arah. Tidak salah jika kamu menyebut ini seperti sebuah siksaan selama 100 menit, karena dengan kegagalan memanfaatkan materi yang ia punya Serena juga tidak jarang mencoba memaksakan apa yang gagal ia raih, seperti gambar-gambar close-up yang terasa hambar, menciptakan ketegangan yang terasa kasar dan akhirnya jatuh menjadi palsu, meskipun setting latar sering berhasil menghidupkan suasana terlebih dengan sinematografi yang tidak buruk.



Mungkin ini adalah contoh dari kekuatan sebuah production company termasuk distributor dalam kesuksesan sebuah film, karena filming Serena ternyata dilakukan dua tahun yang lalu, diantara Silver Linings Playbook dan American Hustle, namun ternyata harus mendekam begitu lama didalam gudang. Awalnya saya bertanya-tanya mengapa mereka berani melakukan hal tersebut karena mereka punya aktor dan aktris yang mudah di jual, namun ketika selesai menyaksikan film ini pertanyaan tadi terjawab dengan sangat mudah, karena Serena tidak punya pendekatan yang kuat dalam menggambarkan apa yang ingin ia sampaikan, miskin energi, miskin pesona, drama yang hampir saja mati, hidup segan, tapi mati tak mau.








1 comment :