30 November 2014

Review: Pride (2014)


"Every woman is a lesbian at heart!"

Seperti judul yang ia miliki, Pride bisa jadi merupakan salah satu kebanggaan dari dunia perfilman British di tahun ini. Bagaimana tidak ketika ia memiliki banyak warna yang berhasil dicampur atau disatukan dengan baik, ia punya drama yang terasa hangat tapi juga tetap berhasil membuat masalah yang ia punya terasa serius, ia juga punya komedi lucu yang mampu membuat penonton tertawa dalam kadar yang pas, dan mereka bersatu didalam narasi yang berjalan dengan cepat dan meriah, kombinasi style dan substance yang manis.

Tahun 1984, Perdana Menteri Inggris kala itu Margaret Thatcher menaruh rasa curiga pada aksi para penambang yang ia anggap menjadi ancaman anti-kapitalis dan anti-demokrasi. Namun dibalik itu ternyata juga ada sebuah isu lain yang tidak kalah hangatnya, hak-hak terhadap kaum gay dan lesbian. Hal tersebut yang menjadi asal mula usaha dari seorang anak muda bernama Mark (Ben Schnetzer) untuk membentuk kampanye LGSM (Lesbians and Gays Support the Miners) dengan mengajak para penambang untuk bersatu dalam upaya menuntut hak mereka. Tapi semuanya tidak mudah, dari penolakan hingga respon campur aduk ketika mereka mencoba bergabung dengan sebuah kota di Wales.



Film yang berdasarkan dari kisah nyata di tahun 1984 ini seperti sebuah inspirational sessions yang santai tapi serius, kalau di Indonesia ibarat sedang menyaksikan Mario Teguh berbicara di atas panggung, ia punya banyak point cerdas tapi disampaikan dengan cara yang menyenangkan, jadi tidak terkesan seperti sedang berkhotbah atau menggurui. Pride tampil seperti itu ditangan Matthew Warchus, cerita yang ditulis oleh Stephen Beresford seperti bergerak tanpa pernah melepaskan pijakan pada pedal gas secara total, ada momen-momen tenang dan halus yang mencoba membuat isu sosial utama itu mendekati hati nurani kita, terasa sedikit gelap dan intens, tapi ia tidak pernah berlama-lama disana, langsung disambung dengan elemen lain yang juga tidak kalah menariknya, seperti contohnya gesekan antara konsep kuno dan modern yang berlandaskan hak asasi manusia sebagai materi utamanya.



Itu juga yang membuat Pride terasa mengejutkan karena diawal saya sempat merasa pesimis ini akan mampu saya nikmati terlebih ketika mengetahui kombinasi isu yang ia punya. Ternyata mereka tidak sangat kental, dalam artian isu-isu tadi mampu meraih atensi kita dan membuat kita memikirkan mereka, tapi cara ia disampaikan tidak jatuh menjadi terlalu serius bagi, pelajaran menarik seperti contohnya tentang kegigihan, kebersamaan, mereka selalu disampaikan dengan cara yang menghibur. Ada dampaknya memang karena akhirnya tidak semua dari terasa terlalu kuat, mungkin terasa kurang merata, tapi dengan berbagai kemeriahan yang mereka sajikan sulit untuk merasakan dampak yang begitu berarti dari hal tadi, banyak pertunjukan yang berhasil tampil menarik dan efektif untuk menjauhkan perhatian kita dari hal tadi.



Bisa dibilang Matthew Warchus beruntung memiliki banyak aktor yang mampu menjadikan karakter mereka terasa menarik, ada belasan karakter yang baik itu secara individu maupun tim berhasil memancarkan sinar mereka, dan itu juga berkat kepiawaian Matthew Warchus mengatur komposisi diantara mereka. Saya suka cara Matthew Warchus menyatukan banyak cerita yang ia punya, sederhana tapi tidak ada yang terbuang percuma, ada saja kontribusi kecil yang mereka berikan pada narasi. Itu juga menjadi penyebab banyak karakter yang terasa menarik, seperti Bill Nighy yang memberikan kinerja meyakinkan, sama halnya dengan Imelda Staunton dengan ledakan-ledakan yang ia berikan. Yang mengejutkan adalah Ben Schnetzer, sosok pemimpin dari karakternya berhasil ia tampilkan dengan meyakinkan.



Bermain-main diantara drama dan komedi memang akhirnya menjadikan Pride tidak punya satu dari dua bagian itu yang benar-benar kuat sendirian, karena mereka kuat secara bersama-sama, dan menjadi sumber dari segala kesenangan yang ia miliki. Pride terasa hangat, ia juga cerdas, geraknya terasa meriah, kisah persahabatan yang ia bawa juga dapat membuat penonton menitikkan air mata, tapi ia juga mampu membuat kamu tertawa. Sorry St. Vincent, it’s more funny than you.








0 komentar :

Post a Comment